US basketball

Wawancara Budi G. Sadikin: Bisnis bank harus adaptif terhadap inovasi teknologi digital

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Wawancara Budi G. Sadikin: Bisnis bank harus adaptif terhadap inovasi teknologi digital

ANTARA FOTO

Bagaimana CEO Bank Mandiri ini mengembangkan bank di era revolusi industri yang keempat?

JAKARTA, Indonesia — Budi Gunadi Sadikin mengakhiri masa jabatannya sebagai CEO Bank Mandiri, bank BUMN terbesar di Indonesia, hari ini, Senin, 21 Maret.

Pemerintah selaku pemegang 60 persen saham di Bank Mandiri menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) hari ini untuk menentukan susunan direksi yang baru termasuk mengganti posisi CEO. 

Budi G. Sadikin, kelahiran 1964, memegang posisi tertinggi di bank pelat merah itu sejak 2013. Ia masuk kategori dua periode sebagai direksi dan karena itu tidak bisa lagi diperpanjang. Sebelumnya, dia menjabat direktur bidang mikro dan ritel di Bank Mandiri. Karir Budi di perbankan cukup lengkap.

Dalam bulan-bulan terakhir masa jabatannya, Budi berkeliling mengunjungi cabang-cabang Bank Mandiri, dari ujung barat sampai ke ujung timur Indonesia, bertemu dengan karyawan di daerah. Ia mengunjungi 1.758 dari 2.400 cabang Bank Mandiri. 

Cerita dan foto perjalanan pamitan bankir lulusan Jurusan Fisika Nuklir Institut Teknologi Bandung itu bisa disimak di akun Twitter-nya @BudiGSadikin.  

Saya mewawancarai Budi di sebuah kedai roti bakar, pada Minggu sore, 20 Maret. Perbincangan berlangsung cukup lama, lebih dari dua jam. Budi nampak antusias ketika menceritakan bagaimana konsep yang diterapkan di Universitas Bank Mandiri yang baru didirikan.  

“Dari universitas ini, kami ingin lahir bankir-bankir terbaik yang bisa membawa perbankan Indonesia bersaing di dunia internasional.  Kalau bertemu sejumlah bankir misalnya, orang akan bisa membedakan, mana yang lulusan Universitas Bank Mandiri, dan tentunya, lulusan Bank Mandiri,” kata Budi.  

Konsep yang diterapkan memang learning by doing, bekerja langsung di Bank Mandiri.

Soal siapa penggantinya di posisi CEO Bank Mandiri, Budi menyimpan harapan agar pemegang saham mempertimbangkan orang dari dalam Bank Mandiri. Nama yang muncul dari kalangan internal Bank Mandiri saat ini adalah Direktur Treasury dan Market Pahala Nugraha Mansyuri, Direktur Korporasi Royke Tumilaar, dan Direktur Keuangan dan Strategi Kartiko Wirjoatmodjo.  

Dari luar ada Direktur Utama Bank Tabungan Negara Tbk Maryono, Wakil Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia Tbk Sunarso, dan mantan Direktur Utama PT BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya.

Untuk kelas bank BUMN dengan aset Rp 1.000 triliun, keputusan siapa di pucuk pimpinan memang datang langsung dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Senin sore, RUPS Bank Mandiri Tbk, akhirnya mengesahkan susunan direksi dan komisaris Bank Mandiri. Kartika Wirjoatmojo menjabat CEO menggantikan Budi. 

RUPS juga mengangkat Wimboh Santoso sebagai Komisaris Utama merangkap Komisaris Independen, menggantikan Darmin Nasution yang sejak Agustus 2015 diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Berikut petikan wawancara saya dengan Budi: 

Budi menyampaikan pemaparan kinerja triwulan IV-2015 di Jakarta, pada 23 Februari 2016. Foto oleh Sigid Kurniawan/Antara

Di mana posisi Bank Mandiri saat ini dalam industri perbankan?

Kalau di Indonesia, bank dengan aset terbesar. Dari sisi pinjaman dana pihak ketiga dan permodalan, indikator utama perbankan, masih yang terbesar.  

Tahun 2020, MEA untuk sektor finansial akan dibuka, di mana secara regulasi perbankan akan sama di kawasan ini, posisi keuangan Bank Mandiri tentu jauh di bawah jika dibandingkan dengan bank utama di negara tetangga di ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, dan mungkin Thailand.

Njomplang-nya jauh. Bank dilihat bukan dari sisi aset, tapi dari permodalan, itu yang paling penting. Bisnis bank kalau mau tumbuh, modal harus ditambah. Modal kita sepersepuluh sampai seperlima dari bank besar di tiga negara itu.

Penambahan modal? Modal Bank Mandiri Rp 100 triliun. Jadi kalau kita mau mengejar ketinggalan 5 kali lipat sampai 10 kali lipat, kita harus tumbuh menjadi Rp 500 – 1.000 triliun. 

Kalau pemerintah punya 60 persen kepemilikan di Bank Mandiri, kira-kira dia mesti menyiapkan 60 persen kali Rp 500 sampai Rp 1.000 triliun, antara  Rp 300 – 600 triliun. Itu size yang harus disediakan. Besar sekali dan hampir tidak mungkin karena itu hampir lebih besar dari anggaran infrastruktur pemerintah dalam satu tahun.

Caranya? Beberapa cara bisa dilakukan. Pertama, dan ini fundamental, adalah profit-nya, dividennya jangan dibagikan. Kita kan memiliki kekuatan kemampuan generate profit di atas Rp 20 triliun dalam satu tahun. Kalau itu tidak dibagikan, atau seminimal mungkin lah, dalam 15-25 tahun bisa sampai ke sana.

Kedua, right issue dari market. Bank Mandiri kalau mau cari Rp 20-30 triliun gampang. Sekarang pemerintah punya kebijakan enggak mau kepemilikan turun dari 60 persen, tapi enggak bisa setor tambahan modal. Soalnya, kalau mempertahankan kepemilikan 60 persen, ya mesti setor, alternatifnya terdilusi. Enggak mau.

Ketiga, merger. Kejadian di seluruh dunia. JP Morgan Chase 10 kali merger, bukan suatu yang aneh. DBS Post Bank mungkin sudah 5 kali merger. Mandiri kan juga besar dari merger. Ini pembicaraan sangat teknis perbankan. Orang lebih suka bicara politik, termasuk posisi yang hilang kalau terjadi merger. Akibatnya 2020 bisa sulit bersaing.

Apa warisan penting yang Anda tinggalkan untuk Bank Mandiri?

Pertama, bank itu kalau di olahraga atletik, ibaratnya marathon, bukan sprint. Enggak ada itu istilah bank ini tahun ini tumbuh 60 persen. Kita mesti lihat selama beberapa tahun, 10 tahun terakhir tumbuh berapa. Sustainability dan stability bank itu penting, apalagi kalau banknya besar, karena sekali dia jatuh, ongkos ekonomi yang harus ditanggung negara tinggi. 

Setiap CEO bank yang bagus harus bisa memastikan egonya harus ditahan untuk jaga kesinambungan dengan CEO sebelum dia. Di Bank Mandiri, Pak Agus Martowardojo sejak 2005 sudah bikin rencana lima tahun, strategic corporate plan, semacam GBHN 2005-2009.  

Tahun 2010 Pak Agus terpilih lagi, bikin rencana untuk 2010-2014. Tahun 2011 Pak Agus diganti Pak Zulkifli Zaini, Pak Zul meneruskan corporate plan era Pak Agus.  

Tahun 2013 saya menggantikan Pak Zul, saya meneruskan corporate plan yang dibuat Pak Agus. Tanpa ego, supaya ada kesinambungan. Corporate plan ini dibuat bukan oleh Pak Agus sendirian, tapi oleh seluruh direksi Mandiri. Jadi kita di dalam punya pengertian yang sama bahwa kesinambungan penting. 

Tahun 2014 saya bikin plan untuk 2015-2020 bersama direksi. Saya sempat menjalankan satu tahun 2015 dan 2016. Ke depan, perlu dilanjutkan oleh pengganti saya.

Poinnya, masing-masing CEO bisa punya keunikan masing-masing, tapi harus punya kesadaran akan pentingnya kesinambungan. Kalau saya lihat semua bank-bank besar di AS, Eropa, Amerika Latin, kalau presentasi enggak pernah bilang untung saya tahun ini sekian.  Tapi, selama 20 tahun terakhir, pertumbuhan kami seperti ini. Dan saya lihat Bank Mandiri sejak 2005 sampai sekarang, ada krisis beberapa kali, 2008, krisis 2014, kita bertahan baik. Perlu ada terobosan, tetapi kesinambungan lebih penting untuk bank sebesar ini.

Budi G. Sadikin berfoto bersama karyawan Bank Mandiri. Foto dari Twitter/@SuryawanSori

Yang spesifik Anda dorong sejak menjadi CEO?

Apa yang baru di corporate plan terakhir? Kami siapkan beberapa hal, dan ini jadi perdebatan serius.

Kesatu, bahwa Mandiri akan masuk ke segmen ritel secara lebih serius. Ini jadi diskusi juga. Mengapa enggak mendirikan bank khusus? Mandiri fokus ke korporasi, mikro di BRI, konsumer di BNI? Kalau Bank Mandiri serius ke ritel bukankah melanggar khittah?

Semua bankir yang pernah alami krisis, makan asam garam, tentu paham, bahwa risiko tidak boleh terkonsentrasi, don’t  put your eggs in one basket. Cara paling baik dalam manajemen risiko, jangan biarkan risiko terkonsentrasi.  

Bank Mandiri jatuh tahun 1998, karena portfolio korporasi terlalu besar. Korporasi bagus kalau ekonomi naik, ekonomi turun, ikut jatuh. Tahun 2005, kejadian persis sama, masalah timbul karena bisnis korporasi.  

Pada 2013 kita jatuh juga karena kredit korporasi yang besar-besar, tapi karena portfolio ritel sudah besar, 50 persen dari portfolio Bank Mandiri, kami enggak rugi. Kalau dilihat dari 10 bank nasional yang bisa stay enggak turun kan BCA, Bank Mandiri, BRI. Lainnya turun, dalam tiga tahun terakhir ya, karena tidak diversifikasi portofolio. 

Itu alasan kesatu mengapa masuk ke ritel. Ritel dari sisi operating cost lebih tinggi, tapi dana lebih murah, dan marjin kredit lebih bagus, dibandingkan dengan korporasi.  

Kedua, masuk ke ritel, karena marjin lebih bagus, kasih kredit bunga lebih tinggi ketimbang korporasi.

Ketiga, bank ke depan butuh funding, pendanaan. Sekarang cashflow perbankan ketat. Orang tuh enggak banyak sadar, waktu krisis 1998, ada posisi loan to deposit ratio (LDR), perbandingan antara kredit dengan dana. Menunjukkan cashflow yang ada di sistem perbankan. Itu dulu sudah ketat 1997, 90 persen, itu sebabnya bank-bank jatuh saat itu.  

Lalu IMF kasih resep sama, buat SPV, buat BPPN, semua aset jelek dibuang ke sana, sisi liability disuntik equity, bisa recap bond, bisa take it easy, namanya beda-beda, tapi resepnya begitu.  

Akibatnya 1998 sampai sekarang LDR perbankan rendah, karena asetnya sudah dibuang. Banyak bankir muda enggak sadar bahwa kita tuh hidup dalam suasana likuiditas yang sangat berlebih. Sampai tahun 2013 akhir, begitu menyentuh LDR hampir 90 persen, saya sudah berpikir harus hati-hati.  

Saya sampaikan ke (Gubernur Bank Indonesia saat itu) Pak Darmin Nasution. Saya melihat ke depan, likuiditas akan menentukan apakah bank bisa bertahan atau tidak. Likuiditas ada di sisi ritel. Karena itu, yang untung besar saat ini Bank Mandiri, BCA, BRI. Bank Mandiri beruntung sudah melakukan itu sejak 2006. Kalau tidak, mohon maaf ya, saat ini bank besar di Singapura dan Malaysia sedang kesulitan likuiditas.

Alasan lain kenapa kita masuk ritel? Karena lembaga seperti Boston Consulting Group, McKenzie, Bank Dunia, IMF, semua bilang, di Indonesia akan ada 60 juta kelas menengah baru dari sekarang sampai 2030. Artinya 12 kali penduduk Singapura, 3 kali penduduk Malaysia, hampir sebesar Thailand.  

Ada 60 juta orang perlu listrik, katakanlah 1.000 watt, artinya butuh 60.000 MW. Kalau 60 juta bisa beli mobil, bisa beli mobil, berapa macet jalanan? Mereka juga butuh buka rekening di bank, butuh kredit mobil. Jadi sisi ritel itu huge opportunity, karena dilihat dari sisi pertumbuhan kelas menengah.

Ke depan, 60 juta kelas menengah baru, pasti akan sangat besar di sisi ritel. Diam-diam Bank Mandiri sudah jadi bank terbesar kedua di bisnis mikro, sesudah BRI. Cabang mikro Bank Mandiri 2.300. Tiap bulan ada dana Rp 6 triliun kami kucurkan, dibagi rata-rata Rp 25 juta di kredit mikro, jadi ada 30.000 nasabah baru di sisi mikro. Kita sudah menyusul Bank Danamon di 2013. Tapi kami tidak ingin menonjol soal ini. 

Ada potensi risiko mismatch pendanaan, antara sumber dana jangka pendek, dengan kebutuhan pendanaan jangka panjang seperti infrastruktur?

Ini menarik. Soal funding. Bangun infrastruktur itu butuh dana besar. Misalnya bangun listrik 35.000 MW, satu MW itu biayanya sekitar US$2 juta dolar. Jadi, butuh US$70 juta dolar, dengan kurs Rp 13.000 an per dolar, jadi sekitar Rp 910 triliun.  

Total dana di perbankan nasional Rp 4.800 triliun. Yang sudah jadi kredit Rp 4.400 triliun. Jadi sisanya Rp 400 triliun. Buat kebutuhan PLN saja tidak cukup, karena PLN butuh Rp 910 triliun.  

Kalau ada 1.000 km jalan tol, butuh Rp 100–300 miliar per km, jadi butuh Rp 100 triliun-300 triliun. Kalau mau bangun 25 pembangunan? Seperti pelabuhan Tanjung Priok itu sekitar Rp 25 triliun. Pelabuhan lain rata-rata Rp 5 triliun. Butuh Rp 125 triliun.  

Jadi, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur sebagaimana niat pemerintah itu, sangat besar. Uangnya dari mana?  Tidak mungkin hanya dari sistem perbankan nasional. Solusinya?

Mau meminjam? Bisa mengganggu neraca pembayaran. 

Jadi saran saya begini. Kesatu, Indonesia negara besar, 16 besar ekonomi di dunia, tapi uangnya mampir di Singapura, tidak masuk ke Indonesia. Perlu ada kebijakan pemerintah soal ini. 

Kedua, Indonesia dengan penduduk 240 jutaan, yang punya rekening bank baru 60 juta. Harus buat program seperti yang dulu pernah ada, Tabanas, Taska, sehingga uang itu masuk ke sistem perbankan, sehingga bisa dijadikan kredit.

Mengapa Anda mencanangkan Bank Mandiri menjadi “the best bank in ASEAN 2020”?  

Kesatu, itu untuk memotivasi teman-teman di Bank Mandiri, bahwa kompetisi terbuka pada 2020, jadi harus mulai sekarang. Untuk sektot finansial MEA dibuka 2020. Kita kan suka mepet persiapan. Supaya konsentrasi kita tidak hanya ke dalam, tapi kita harus memonitor kompetitor di luar, ada waktu lima tahun. Itu latar-belakang misi menjadi the best bank in ASEAN pada 2020.

Potensi keunggulan? 50 persen GDP ASEAN di Indonesia, 55 persen populasi di Indonesia. Kalau kita ingin jadi paling besar di ASEAN, harus jadi paling besar di Indonesia.  

Bank di Tiongkok otomatis besar, karena populasi mereka besar, sesederhana itu. Jangan sampai lengah, sehingga kita terlalu boros mengalokasikan modal ke luar negeri, padahal di dalam negeri belum kuat. Itu sebabnya saya katakan kepada anak-anak di Bank Mandiri, kita harus kuasai Indonesia.  

Bank Mandiri setiap tahun buka 100-300 cabang baru. Karena ASEAN is Indonesia. Kalau kalah di Indonesia, kalah di ASEAN. Kita di ASEAN pasang kaki, ikuti cara DBS dan Maybank, misalnya, saat kondisi ekonomi memungkinkan, beli saham bank. Tapi kita harus akumulasi modal.  

Di Forum Ekonomi Dunia tahun ini, dibahas tema Fourth Industrial Revolution, going digital. Anda jadi pembicara di salah satu sesi. Bagaimana penerapan di Bank Mandiri?

Sebelum WEF di Davos ambil tema itu, Bank Mandiri diam-diam sudah melakukan proses digitalisasi secara serius. Contohnya, kami membuat aplikasi dan menawarkan layanan e-Cash pada 2013. Itu kami lakukan karena pada awal 2012 saya datang ke sebuah acara di Hongkong, yang menampilkan wartawan Walter S. Mossberg (pernah menjadi kolumnis utama bidang IT di Wall Street Journal, red). Dia satu-satunya yang bisa mengundang Steve Jobs dan Bill Gates satu panel. Saya satu-satunya bankir di acara itu. Lainnya orang private equity, wartawan. 

Walt mengundang Jack Dorsey, pendiri dan bos Twitter untuk berbicara di acara itu. Dorsey cerita mainan barunya, Square Reader, alat yang bisa membaca kartu kredit yang dicolokin ke telepon pintar. Tapi yang saya heran, Square itu yang punya bank, Chase Payment Tech. Pendanaan untuk membuat aplikasi itu dari fund milik JP MorganChase. 

Saya diminta menemui Mike Davis, CTO JPMorganChase, saya temui di San Francisco 2012 di sana. Michael Davis sudah meninggal sekarang. Dia bilang ke saya, mereka punya anggaran IT besar sekali, miliaran dolar, kebijakan dari James Dimon (chairman, president dan CEO JPMorganChase, red).

Tapi orang IT mereka kerja lamban sekali dan mahal. Akhirnya Mike bicara ke James Dimon, dia mau buat private equity, dengan modal US$100 juta, setiap proyek yang diberikan ke IT, dikasih juga ke startup IT.  Yang dikerjakan startup terbukti 10 kali lebih murah, 10 kali lebih cepat, dan 10 kali lebih bagus.  

Setelah ketemu Mike Davis saya belajar ke Berkeley, lalu Bank Mandiri membuat startup pertama kali pada tahun 2012 dengan Agung Adiprasetyo Kompas. Kami memasukkan modal Rp 2 miliar, yang membuat aplikasi e-Cash untuk Bank Mandiri. Ini aplikasi seperti WhatsApp, untuk mengirimkan uang.  

Tahun 2013 jadi, belum dapat izin, kami melobi, baru dapat izin dari BI dan OJK 2014, mulai akhir kami jadikan platform untuk menyalurkan bantuan langsung tunai-nya Presiden Jokowi. Karena Pak Jokowi kan mengubah dari subsidi BBM ke subsidi langsung ke orang, yang menurut saya memang seharusnya begitu. Conditional cash transfer.

(Budi lantas memeragakan bagaimana cara kerja e-Cash. Bank bisa mengirim akses aplikasi ke nomor telepon nasabah, ketika nasabah download, maka otomatis dibuatkan rekening e-Cash di bank, dan bisa mencairkan dana dari rekening itu. Bisa digunakan secara simultan untuk transfer dana ke sejumlah nomor telepon.)

Selama 350 tahun perbankan Indonesia, sejak zaman Belanda masuk ke sini, baru 60 juta orang punya rekening bank. Paling berhasil di era Presiden Soeharto, karena dulu ada program Tabanas. Diwajibkan. Bagusnya apa, uang masuk ke sistem perbankan.  

Setelah itu tidak berkembang banyak. Jadi saya suka bercanda sama teman-teman bankir kalau kita punya 240 juta penduduk, supaya mereka semua punya rekening bank, harus menempuh proses 350 tahun kali empat. 1.400 tahun!

Padahal saya punya ini 2014, sekarang nasabah e-Cash 2,5 juta. Saya berharap 2020, Bank Mandiri sudah punya 50 juta nasabah, karena sekarang lebih banyak orang memiliki ponsel ketimbang rekening bank. Sekarang ini nasabah kami 16 juta, bertahun-tahun.  Dan semua transaksi perbankan bisa via ponsel kecuali tarik uang dan kirim uang.

Jadi, bisnis perbankan ini sebagaimana bisnis taksi dengan adanya Uber, toko CD dengan adanya i-Tunes, toko buku dengan Amazon.com, harus inovatif, adaptif terhadap fenomena distruptive economy. Ini kaitannya dengan Fourth Industrial Revolution.  

Bisa di-disintermediate. Sebagaimana perusahaan telco di-disintermediate Google, Facebook, dan lainnya. Daripada kita di-disintermediate orang lain, mendingan kita lakukan sekarang.  

Sekarang perusahaan startup pembuat aplikasi e-Cash yang kami dirikan, value-nya sudah menjadi Rp 100 miliar, dari modal Rp 2 miliar. Sudah ada yang mau membeli 30 persen dengan harga Rp 30 miliar. Kami ingin lebih sistematis, itu sebabnya awal tahun ini kami dirikan Mandiri Capital Indonesia, kami investasi US$50 juta dolar sebagai private equity. Jadi serius membuat aplikasi finansial.  Kalau bikin aplikasi seperti e-Cash, dikasih ke orang IT, bisa lebih mahal dan lama, bisa tiga tahun. Ini dibuat 6 bulan, modal Rp 2 miliar.

Presiden Jokowi meminta efisiensi BUMN, antara lain dengan membuat holding BUMN dalam sektor bisnis yang sama. Menurut Anda, bagaimana seharusnya holding BUMN diimplementasikan agar efisiensi tercapai?

Bank itu musuhnya nomor satu, capital. Mengapa konsolidasi perbankan terjadi, karena ada isu capital. Memang sebaiknya, struktur organisasi bank, ada di paling bawah dari struktur holding.  

Saya kasih contoh, misalnya Bank Mandiri bisa mencari dana di pasar sekitar Rp 30 triliun untuk menambah modal. Pemerintah punya kepemilikan 60 persen, sehingga kalau ingin mempertahankan kepemilikan 60 persen harus minta izin ke DPR untuk menambah modal juga. Berapa? Rp 18 triliun. Tidak ada duit. Dari mana? Kita bayangkan kalau Bank Mandiri dimiliki oleh Bahana Sekuritas, yang juga perusahaan terbuka di mana pemerintah juga punya saham 60 persen. Ketimbang pemerintah harus setor Rp 18 triliun untuk pertahankan kepemilikan 60 persen di Bank Mandiri, maka Bahana yang harus setor, tapi karena pemerintah cuma 60 persen di Bahana, jadinya pemerintah hanya perlu menyetor 60 persen dari Rp 18 triliun, yaitu 60 persen dari Rp 18 triliun, sekitar Rp 11,8 triliun.  

Pemerintah tetap punya 60 persen di Bahana, dan 60 persen di Bank Mandiri. Bayangkan kalau di atas Bahana dimiliki Danareksa.  Dimana Danareksa dimiliki pemerintah 60 persen, sisanya publik.  

Yang pemerintah harus setor untuk mempertahankan kepemilikan di Danareksa adalah 60 persen dari Rp 11,8 triliun, sekitar Rp 7 triliun lebih sedikit. Dengan skema itu, Danareksa, Bahana, dan Bank Mandiri tetap bisa tumbuh karena bisa menambah modal Rp 30 triliun.  

Dana yang disetor pemerintah tidak besar. Ini lumrah dilakukan di semua grup perusahaan besar di dunia. Karena bank itu paling haus modal, makanya ditaruh di paling bawah.  

Jadi saya setuju bahwa holding perlu dilakukan untuk BUMN perbankan. Kita harus memikirkan apa obyektif dari pembuatan holding itu dan bagaimana formatnya. Contoh yang saya sampaikan di atas adalah yang bisa dilakukan. Ini juga berlaku untuk holding BUMN.  

Apa tujuan?  Kalau mau efisiensi, tentu yang kita pangkas adalah di pos yang paling besar dalam struktur biaya.  

Topik hangat terkait bank BUMN, termasuk Bank Mandiri adalah pemanfaatan dana untuk tiga Bank BUMN dari China Development Bank, yang jatuhnya ke perusahaan swasta seperti Sinar Mas dan bukan untuk proyek infrastruktur. Bagaimana bisa?

(Catatan, 15 Maret 2016, rapat komisi keuangan di DPR mempertanyakan peruntukan pinjaman dari China Development Bank untuk perusahaan swasta.)

Begini, dana pinjaman itu harus ditempatkan, alias disalurkan sebagai kredit karena biayanya 3,5 persen. Kalau kita tempatkan di Nostro atau interbank, bunganya cuma 0,05 atau 0,1 persen. Negative spread-nya bisa 3,3 – 3,4 persen. Kalikan dengan US$1 miliar dolar, itu biaya yang harus kami tanggung Rp 400 miliaran. Mahal. Bank kan jual beli uang. 

Bank Mandiri punya kriteria dalam menyalurkan dana ke perusahaan, kalau sumber dana kami dananya dari luar.  

Kesatu, harus punya bisnis yang pemasukannya US dolar. Eksportir. Kalau tidak, bahaya currency mismatch.  

Kedua, harus institusi yang punya kemampuan cukup, tergambar dari rasio utangnya.  

Ketiga, punya rekam jejak baik di bank kami. Bank Mandiri memberikan tidak hanya ke Sinar Mas, tapi juga ke perusahaan yang memenuhi kriteria, termasuk kriteria kesepakatan pinjaman

Saya bisa menunjukkan loan agreement-nya, bahwa pinjaman dari CDB itu diperuntukkan untuk 3 jenis: industri, infrastruktur, dan untuk perusahaan Indonesia yang memiliki bisnis dengan perusahaan Tiongkok.  

Lihat di data itu kan, sejauh ini paling kecil dari Bank Mandiri. Dan Sinar Mas memang nasabah lama Bank Mandiri yang sejauh ini posisi keuangannya baik. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!