Indonesia

Eni Lestari, buruh migran pertama Indonesia yang berbicara di PBB

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Eni Lestari, buruh migran pertama Indonesia yang berbicara di PBB
Selama 3 menit, Eni akan berpidato mengenai aspirasi kaum buruh migran di hadapan ratusan pemimpin negara, termasuk Presiden Barack Obama

JAKARTA, Indonesia – Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi dimulai pada pekan ini. Namun, pada tahun ini, PBB akan secara khusus mengangkat isu mengenai pengungsi dan buruh migran.

Otoritas setempat kemudian memilih beberapa orang untuk berbicara mengenai kedua isu tersebut di Konferensi Tingkat Tinggi PBB. Satu di antaranya merupakan Eni Lestari, perempuan asal Kediri, Jawa Timur.

Eni merupakan pemimpin organisasi International Migrant’s Aliance (IMA) sebuah aliansi formal buruh migran yang dibentuk di Hong Kong pada tahun 2008 lalu. IMA beranggotakan 120 organisasi buruh migran dari 19 negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Lalu, bagaimana Eni bisa menjadi pembicara di forum bergengsi itu? Dia mengaku juga tidak menyangka bisa terpilih.

“Saya memasukan aplikasi mewakili IMA. Ada komite seleksi yang dibentuk PBB untuk menyeleksi sekitar 400 pelamar. Dari 400 pelamar itu, hanya diambil 30 nama,” tutur Eni kepada Rappler melalui telepon pada Minggu malam, 18 September.

Dari 30 nama itu, komite kemudian menciutkan kembali jumlahnya menjadi 9 orang saja. Kepastian Eni diundang sebagai pembicara, disampaikan melalui surat elektronik yang dikirim pada tanggal 25 Agustus lalu.

Eni mengatakan sudah berada di New York, Amerika Serikat sejak tanggal 15 September. Ada beberapa kegiatan terkait dengan tema buruh migran yang harus dia hadiri.

“Bahkan, pada Minggu sore, ada demonstrasi untuk membela hak kaum buruh migran yang digelar oleh IMA cabang AS. Mereka berjalan dari depan Times Square Garden hingga ke depan kantor pusat PBB,” kata dia.

Sementara, dalam sidang umum PBB yang digelar pada Senin, 19 September, Eni diberi waktu untuk berpidato selama 3 menit. Dia berbicara secara bergantian dengan dua aktivis asal Irak, Nadia Taha dan aktivis Suriah, Mohammed Badran.

Eni menyebut akan ada tiga poin besar yang dia sampaikan dalam pidatonya. Pertama, mengenai pengalamannya yang hingga saat ini masih menjadi buruh migran, aspirasi komunitasnya dan tantangan bagi PBB untuk bisa mencari solusi isu tersebut.

“Kami menginginkan agar ada pelayanan dan perlindungan dari pemerintah. Selama ini, kami menyelesaikan permasalahan ini seorang diri di dalam sistem yang tidak mengakui hak buruh migran. Ke mana pun kami pergi, tetap dianggap sebagai barang dagangan dan tenaga murah saja,” kata Eni menceritakan realita sebagai buruh migran.

Komunitasnya, ujar Eni, tidak ingin menerus dalam keadaan rentan dan berharap haknya diakui.

“Kami ingin ada perubahan yang signifikan,” ujarnya menambahkan.

Lalu, apa dia merasa optimistis PBB bisa memberikan solusi tersebut? Dia mengaku komunitasnya sangat antusias saat mengetahui dia akan berbicara di sesi pembukaan KTT PBB mengenai buruh migran dan pengungsi. Terlebih dia merupakan buruh migran yang paham betul bagaimana situasi di lapangan.

“Memang usai saya berbicara di forum PBB tidak lantas akan mengubah segalanya dalam waktu sekejap. PBB juga bukan forum yang secara otomatis dan langsung bisa mengikat anggotanya. Tetapi, untuk kali pertama ada mekanisme yang membahas pengungsi dan buruh migran,” kata dia.

Hal tersebut, Eni melanjutkan, yang membuat komunitas buruh migran memiliki harapan baru. Sebab, akhirnya isu ini dibahas di tingkat tertinggi dan tak lagi dipecahkan seorang diri.

Demi membantu orang tua

Eni kemudian kembali mengenang pengalaman pertamanya ketika menjejakkan kaki di Hong Kong untuk menjadi TKI. Dia tiba di kota administratif Tiongkok itu tahun 1999 lalu.

Eni terpaksa meninggalkan Tanah Air, karena krisis tahun 1997/1998 membuat kedua orang tuanya berhutang. Orang tua Eni hanya pedagang kecil, sehingga tidak memiliki dana yang cukup untuk menyekolahkan putri sulung mereka ke bangku kuliah.

Hong Kong dipilih sebagai tempat untuk mengadu nasib, karena orang tuanya tidak mengizinkan untuk bekerja di negara-negara Timur Tengah, Singapura dan Malaysia.

“Mereka merasa lebih aman jika saya berangkat ke Hong Kong, karena tahu di sini penegakkan hukumnya lebih terjamin untuk buruh migran. Selain itu, di tiga negara tadi, banyak kasus yang kerap menimpa TKI,” tutur dia.

Namun, perjalanannya sebagai TKI memilukan. Begitu tiba di Hong Kong, paspor Eni diambil oleh agen penempatan TKI. Selama 3 bulan pertama, dia tidak pernah menerima gaji.

“Selama 4 bulan pertama bekerja, majikan tidak pernah memberikan saya hari libur. Saya dilarang ke luar rumah, tidak boleh menggunakan telepon dan tidur pun harus satu ruangan dengan anak remaja mereka yang berusia 14 tahun,” tutur Eni menceritakan kisahnya.

Seakan belum cukup, ketika akhirnya menerima gaji di bulan keempat, nominalnya sudah dipotong. Majikan beralasan, sebagian gajinya diserahkan kepada agen pengerah tenaga kerja.

“Saya berulang kali menghubungi agen untuk mengajukan keluhan, tetapi malah tidak dibantu. Mereka mengatakan ‘sabar lah, ini kan masih baru’”, kata dia.

Akhirnya usai bekerja selama 7 bulan, Eni mengaku tidak tahan. Dia pun memilih kabur dengan membawa uang yang ada di dompetnya. Eni kemudian ditampung di sebuah shelter khusus bagi kaum buruh migran.

“Di situ, saya bertemu dengan buruh migran asal India, Nepal, Filipina dan warga Indonesia lainnya. Saya baru menyadari, bahwa permasalahan ini tidak hanya dialami oleh saya sendiri,” ujar Eni.

Akar permasalahan

Selama 17 tahun bekerja di Hong Kong, Eni mengaku telah berganti majikan sebanyak 5 kali. Dengan majikan terakhir, Eni merasa lebih nyaman, karena dia tahu mengenai hak-hak buruh migran.

“Majikan saya saat ini bekerja sebagai seorang missionaris. Dia lebih banyak di luar Hong Kong dan tidak pernah melarang saya menjadi aktivis,” tutur dia.

Eni mengakui berdasarkan observasinya, TKI menjadi komunitas buruh migran terbesar kedua setelah pekerja dari Filipina. Jumlahnya mencapai sekitar 40 ribu orang.

Namun, justru TKI juga yang paling banyak menghadapi permasalahan. Menurut Eni, ada dua penyebab mengapa TKI kerap terlibat masalah di Hong Kong.

“Pertama, karena sejak awal dikirim, agen Pengerah Jasa TKI (PJTKI) tidak pernah mendidik kami dengan baik untuk mengetahui bagaimana medan tempat kami akan bekerja. Kami yang sudah buta hukum ini, justru tidak diberikan pemahaman mengenai kultur dan adat istiadat setempat,” katanya.

Yang lebih parah, nasib mereka seolah berada di tangan majikan, karena minim informasi.

“Penyebab kedua, karena pemerintah malah menyerahkan semua tanggung jawab ke PJTKI. Mereka hanya ingin terima bersih berupa data jumlah orang yang diekspor dan devisa yang masuk,” tutur Eni.

Sementara, sebagian besar PJTKI menganggap pengiriman TKI tidak lebih sebagai bisnis dan hanya fokus kepada keuntungannya.

Oleh sebab itu, di New York nanti, Eni akan mengupayakan agar bisa bertemu dengan Jusuf Kalla yang mewakili Pemerintah Indonesia di Forum PBB. Jika pun tidak bisa, maka dia ingin bertemu dengan Wakil Tetap Indonesia di PBB, Dian Triansyah Djani untuk membahas isu mengenai perlindungan terhadap buruh migran. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!