SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
YOGYAKARTA, Indonesia — Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) menyoroti sembilan janji kampanye Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam peringatan satu tahun kepemimpinannya. Salah satunya adalah membangun politik legislasi yang jelas, terbuka, dan berpihak pada pemberantasan korupsi dan reformasi kelembagaan penegakan hukum.
“Keberpihakan pada pemberantasan korupsi tidak muncul dalam setahun pemerintahan Jokowi,” kata peneliti PUKAT, Fariz Fachryan, dalam keterangan pers di kantor PUKAT di UGM, Kamis, 22 Oktober.
PUKAT menyoroti kontroversi revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), juga pengangkatan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang sempat memicu heboh terkait dugaan memiliki rekening “gendut”. Pengadilan Jakarta Selatan akhirnya memutuskan penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap Budi Gunawan tidak sah.
“Soal penyidik independen juga begitu. Bukan mendukung KPK, tapi justru melemahkan. Ada logika yang salah jika maksud dari pelemahan KPK itu supaya KPK setara dengan Polri dan Kejaksaan, seharusnya Polri dan Kejaksaan yang harus ditingkatkan, bukan KPK yang dilemahkan,” kata Fariz.
Catatan buruk lainnya yaitu terkait janji memprioritaskan penanganan korupsi di sektor penegakan hukum, politik, pajak, bea cukai, dan industri sumber daya alam. Menurut Fariz, ditangkapnya Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Patrice Rio Capella dalam kasus dugaan suap membuktikan jika belum ada prioritas dalam pemberantasan korupsi di bidang hukum dan politik.
“Rio Capella tertangkap itu bukti kalau Jokowi sejak awal salah menunjuk Jaksa Agung (HM Prasetyo) yang diketahui kader Partai Nasdem. Menempatkan politisi di lembaga penegakan hukum ini bertentangan dengan janji Jokowi sendiri,” kata Fariz.
Secara keseluruhan, PUKAT menilai pemberantasan korupsi di era Jokowi hancur lebur. Tidak terlihat upaya Jokowi untuk membangun pondasi pemberantasan korupsi yang jelas pada satu tahun pertamanya. “Kita sampai pada kesimpulan ini hancur lebur, seperti judul rilis kami,” ujarnya.
Direktur Pukat UGM Zaenal Arifin Mochtar menambahkan pemberantasan korupsi pada satu tahun pemerintahan Jokowi lebih buruk dari zaman kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Menurutnya, SBY jauh lebih tegas dan terlihat berpihak meski pada awalnya meragukan.
“Kita lihat SBY di tahun kedelapannya memimpin. Dalam kasus cicak versus buaya pertama, SBY menunjukan keberpihakannya. Kami tentu berharap Jokowi bisa memperbaiki ini di tahun keduanya,” kata Zaenal.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan nilai 5 dari 10 atas kinerja Jokowi dalam tahun pertamanya. ICW menilai Jokowi belum mampu mengawal pemberantasan korupsi. Salah satu alasannya, menurut aktivis ICW Lalola Easter Kaban, pemerintahan Jokowi lebih berani melakukan pencegahan daripada penindakan. Hal tersebut tercermin dari Instruksi Presiden No. 7 tahun 2015 yang memuat 64 poin tentang pencegahan, dari total 96 poin.
Sebenarnya Jokowi dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sepakat untuk menunda proses revisi Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK. Melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan, Jokowi ingin memprioritaskan penanganan masalah ekonomi.
Namun meski dikritik sana-sini, Jokowi tetap kembali menegaskan komitmenya terhadap pemberantasan korupsi.
“Saya ingin menekankan komitmen saya untuk pemberantasan korupsi. Semua berkepentingan untuk melawan korupsi,” kata Jokowi pada 21 Mei, saat mengumumkan panitia seleksi calon pimpinan KPK.—Dengan laporan dari Uni Lubis/Rappler.com
BACA JUGA:
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.