Selamat jalan, Ibrahim Isa

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Selamat jalan, Ibrahim Isa
Ibrahim Isa dikenal dengan analisisnya yang kritis tentang berita-berita dari Indonesia. Ia mensirkulasikan ke publik termasuk eksil yang ada di Eropa Barat

 

JAKARTA, Indonesia — Satu lagi saksi peristiwa 1965, Ibrahim Isa, menghembuskan nafas terakhirnya di umurnya yang ke 85 tahun.

Ibrahim adalah seorang eksil, atau warga negara Indonesia yang diasingkan dari Tanah Air, pasca tragedi 1965. Semasa eksilnya, ia tinggal di Amsterdam, Belanda, karena aktivitasnya sebagai jurnalis dianggap mengancam Orde Baru. 

Kabar duka sampai ke Tanah Air pada Kamis pagi, 17 Maret.

“Pukul 8:00 tadi pagi saya mendengar kabar duka itu, dari teman-teman Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK)” kata Mugiyanto Sipin, aktivis hak asasi manusia yang juga Ketua Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), kepada Rappler, Kamis.

Mugi mengaku kaget saat pertama kali mendengar kabar itu, karena ia tak pernah mengira Ibrahim meninggal karena sakit. “Karena saya tidak pernah mendengar dia sakit,” kata pria yang mengaku mengenal Ibrahim sejak 1999 itu. 

Sepeninggal Ibrahim, Mugi kembali mengenang kolega seniornya itu. “Kalau menurut saya, beliau eksil yang sangat gigih dan aktif menulis, karena ia dulu seorang jurnalis,” ujarnya. 

Ibrahim dikenal dengan analisisnya yang kritis tentang berita-berita dari Indonesia. “Ia mensirkulasikan ke publik termasuk eksil yang ada di Eropa Barat,” kata Mugi. 

Menurutnya, jaringan eksil di luar negeri cukup penting tapi kerap tak mendapat informasi. Ibrahim memanfaatkan hal tersebut, ia membangun kembali jaringan itu. 

Selain soal berita di Tanah Air, ia juga kerap berbagi kisahnya. BBC pernah mewawancarainya terkait pengalamannya sebagai eksil. Ia membagi derita dan sakit hati saat dibuang oleh pemerintahnya sendiri. 

“Yang pertama itu adalah penderitaan dari segi harga diri. Ketika paspor saya dicabut dan identitas saya dicabut, seolah nyawa saya sendiri yang dicabut. Sakit sekali,” kata Ibrahim seperti dikutip BBC. 

“Sejak umur 15 tahun saya terlibat dalam Badan Keamanan Rakyat yang kemudian menjadi Tentara Rakyat. Saya ikut berjuang (melawan penjajahan Belanda). Hidup saya untuk Indonesia. Saya juga pernah jadi guru untuk mendidik, tetapi mengapa sampai begini?”

“Namun kami tak boleh tinggal pada penderitaan. Saya dan banyak teman saya tak ada perasaan balas dendam. Kami sepenuhnya realis. Yang penting bersama-sama menghadapi. Sejak jatuhnya Suharto, ada kemajuan (dari sisi penegakan hak asasi manusia). Saya punya keyakinan, kemajuan akan terus terjadi,” ungkap Ibrahim.

Menurut Mugi, Ibrahim juga dikenal berbeda dengan eksil lainnya. “Ia berinteraksi dengan warga setempat di Belanda. Eksil lainnya biasanya hanya berinteraksi dengan orang Indonesia saja,” kata Mugi. 

Tak heran jika publik mensejajarkannya dengan aktivis Wiji Thukul dan sastrawan WS Rendra.

“Artinya beliau ini orang-orang yang sangat gigih mensosialisasikan tentang apa yang terjadi pada tahun 1965-1966 ke publik,” kata Mugi. 

Ibrahim tak lelah menulis untuk mengabarkan dan mengingatkan pada generasi setelahnya terkait peristiwa tragedi 1965. 

Kini, jurnalis itu telah tiada. Mugi mengaku kehilangan. “Sudah tidak ada sebetulnya seorang pejuang, korban, penyintas yang juga seorang yang gigih mempromosikan keadilan, yang baik,” katanya. 

Selamat jalan, Ibrahim Isa. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!