Mengunjungi kembali Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya

Famega Syavira

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengunjungi kembali Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya
‘Saya merasa kasihan pada diri saya sendiri saat SMP, yang telah tertipu dengan kesan yang ditampilkan di museum ini’

“Di Jakarta ada museum anti-komunisme ya?” teman saya dari Serbia bertanya. 

Awalnya saya bingung, museum apa yang dia maksud? Setelah beberapa saat saya baru sadar bahwa yang dia maksudkan adalah museum Lubang Buaya. Saya tak pernah melihatnya dengan sudut pandang itu, bahwa Monumen Pancasila Sakti yang terletak di Jakarta Timur adalah museum anti-komunisme.

Sebagian besar anak Indonesia yang tumbuh di era Orde Baru pasti pernah berkunjung ke Lubang Buaya. Termasuk saya yang berkunjung ke sana 15 tahun yang lalu saat karya wisata SMP di Jakarta dan Bandung. Kesan yang saya dapatkan saat itu masih membekas, sebuah museum mengerikan lokasi penyiksaan dan pembantaian para jenderal. 

Beberapa waktu lalu saya datang lagi ke sana. Tidak lagi penuh sesak seperti dulu, saya disambut lapangan parkir yang kosong. Tiket masuknya Rp 2.500 per orang, dan parkir mobil Rp 3.000.

Menuju ke monumen, tidak ada seorang pun kecuali beberapa orang tukang sapu. Monumen Pancasila Sakti berupa Garuda raksasa dengan tujuh Pahlawan Revolusi berdiri gagah. Di bawah kaki mereka ada diorama yang menggambarkan kejadian pada 30 September 1965 dan bagaimana Soeharto “menyelamatkan” bangsa Indonesia.

DIORAMA. Menggambarkan kejadian pada 30 September 1965 dan bagaimana Soeharto “menyelamatkan” bangsa Indonesia. Foto oleh Famega Syavira/Rappler

Diorama ini menggambarkan betapa kejamnya penyiksaan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), usaha PKI menjatuhkan Pancasila (secara harfiah, ada gambar mereka menjatuhkan gambar Pancasila), dan bagaimana para perempuan anggota Gerawan Wanita Indonesia (Gerwani) menari dengan pakaian seksi saat semua itu terjadi. 

Lengkap dengan pesan, “Waspada…. dan mawas diri agar peristiwa sematjam ini tidak terulang lagi”.

Sumur Lubang Buaya diterangi dengan cahaya merah menyala. Di sampingnya, ada diorama dengan ukuran manusia sebenarnya, yang menceritakan kejadian di malam 30 September, seperti yang digambarkan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI. Film yang juga jadi mimpi buruk saya saat SMP karena kesadisannya.

Rumah-rumah yang menjadi tempat para pemberontak menyiapkan gerakannya juga dipamerkan dalam kondisi yang diklaim sama seperti pada 1965. Ruangan demi ruangan yang sunyi, dan tidak adanya pengunjung lain membuat saya cukup merinding.

Kami lalu masuk ke area museum. Di sini terpajang diorama dalam bentuk miniatur, mengenai kekejaman PKI dari masa ke masa. Tindakan kejam mereka digambarkan dengan nyata. 

Saya masih ingat waktu SMP kami masuk berombongan di tempat ini, dan bergerak bersama rombongan pula. Tak ada yang berani memisahkan diri, karena saking seramnya. Ruangan remang-remang ditambah musik sendu dan gambar pembantaian yang cukup seram untuk anak SMP, seperti gambar di bawah ini.

PKI. Ada diorama yang menggambarkan betapa kejamnya penyiksaan oleh anggota PKI. Foto oleh Famega Syavira/Rappler  

Foto para Pahlawan Revolusi dipajang dengan mencantumkan luka-luka yang diderita saat mereka diangkat dari sumur. Lengkap dengan foto jenazah yang sudah rusak. Misalnya, foto Ahmad Yani berikut ini. 

AHMAD YANI. Foto seorang Pahlawan Revolusi, Ahmad Yani, dipajang dengan mencantumkan luka-luka yang diderita saat diangkat dari sumur. Foto oleh Famega Syavira/Rappler  

Kita bisa melihat betapa gagahnya sang jenderal semasa hidup, tapi kita juga dipaksa melihat kondisinya sesaat setelah diangkat dari sumur. Saya tak tega melihatnya, bayangkan keluarga yang harus melihat suami, ayah, atau kakek mereka dalam kondisi buruk menjadi tontonan jutaan orang yang datang ke museum.

Padahal belakangan, kita tahu dari hasil visum dokter bahwa tidak ada penyiksaan pada para jenderal.

Menatap satu per satu foto mereka membuat saya sedih, tak cukup kehilangan nyawa, mereka juga dijadikan alat. Alat bagi Orde Baru untuk menanamkan ketakutan dan teror dan keyakinan bahwa Orde Baru adalah penyelamat kita semua.

Sebelum keluar dari area diorama, terpasanglah papan pemberitahuan ini. Rupanya dari sinilah asal kata “bahaya laten komunisme” yang selalu ada di spanduk para penentang diskusi soal 1965.

Asal kata “bahaya laten komunisme”. Foto oleh Famega Syavira/Rappler  

Namun di seluruh area museum yang besar ini, tak ada yang menyebutkan tragedi yang terjadi setelah 1 Oktober 1965, atau apa yang terjadi di Penjara Plantungan, dan yang terjadi di Pulau Buru. Tentu saja tak ada kisah Basuki Wibowo, Kayin Haryoto, Tintin Rahayu, dan para korban pembantaian massal setelah itu. 

(Baca kisah mereka di sini: Kesaksian korban 1965

Saya rasa museum ini masih menarik dan relevan untuk dikunjungi. Apalagi setelah banyak membaca mengenai kejadian G30S yang bukan versi pemerintah. Saya merasa kasihan pada diri saya sendiri saat SMP, yang telah tertipu dengan kesan yang ditampilkan di museum ini.

“Ini museum versi yang menang, ya, Mbak,” kata sopir Uber saya saat kami meninggalkan area museum. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!