Kejanggalan vonis mati bagi Mary Jane Veloso

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kejanggalan vonis mati bagi Mary Jane Veloso

EPA

LBH Jakarta dan MaPPI FHUI menilai sejak awal majelis hakim sudah menilai Veloso sudah bersalah dalam kasus penyelundupan heroin ke Indonesia

JAKARTA, Indonesia – Siapa Mary Jane Fiesta Veloso? Apakah seorang kurir narkoba atau justru korban perdagangan manusia?

Di hadapan hukum Indonesia, Mary Jane menjadi buruh migran dan kurir narkoba berkewarganegaraan Filipina pertama yang dijatuhi vonis hukuman mati. Namun, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia memiliki pandangan lain.

“Kami sudah melakukan eksaminasi (uji pemeriksaan) putusan hukuman mati Veloso dan menemukan banyak kejanggalan,” kata pengacara LBH Jakarta, Arif Maulana di Jakarta pada Rabu, 12 Oktober.

Kejanggalan itu juga yang sebenarnya berpotensi menyelamatkan dia dari regu tembak. (BACA: Indonesia eksekusi 8 napi, Mary Jane Veloso ditunda)

Asas praduga tak bersalah

Salah satu hal yang disoroti adalah majelis hakim sejak awal sudah menilai Veloso bersalah. Mereka mengesampingkan fakta kalau ia ditipu oleh sindikat narkoba dan tanpa sadar membawa heroin ke Indonesia.

“Ia dijanjikan bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) ke Malaysia, namun diminta ke Yogyakarta dulu untuk bertemu dengan teman dari si pemberi kerja. Modusnya selalu mirip seperti ini,” kata Arief.

Fakta tersebut ditolak oleh majelis hakim dengan dalih kalau Mary Jane sempat mengintip ke dalam tas yang diberikan oleh Mary Christine Guilles Passadila. Saat itu, dalam penilaian hakim, ia sudah melihat ada sayatan untuk menyimpan heroin.

Keterangan tersebut diragukan; mengingat ada kejanggalan lain dalam pemeriksaan Veloso yakni tidak adanya juru bahasa yang memadai. Veloso tidak mahir berbicara bahasa Inggris; satu-satunya yang ia kuasai adalah Tagalog.

Namun, saat persidangan, ia justru didampingi penerjemah yang belakangan diketahui masih bersekolah di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa. Tentunya, percakapan mereka berlangsung dalam Inggris dan terbentur di sana.

“Terdakwa sudah meminta diberikan juru bahasa yang bisa bahasa Tagalog, namun tidak diketahui alasan tidak dikabulkannya permintaan tersebut,” kata Arief.

Hal ini telah melanggar prinsip hak asasi terdakwa di depan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 53 KUHAP.

Veloso juga ternyata tidak didampingi penasihat hukum saat penyidikan. Ia juga tidak memilih sendiri, melainkan ditunjuk oleh Polda Daerah Istimewa Yogyakarta. Penasihat hukum tersebut baru datang pada hari ke-2 pemeriksaan hanya untuk menandatangani BAP yang isinya tidak diketahui Veloso.

Pada tahap persidangan pun, Veloso tidak mendapatkan pembelaan, saksi, maupun pembuktian apapun.

“Komunikasi minim karena kendala bahasa masing-masing yang tidak dimengerti,” ujar Arief lagi.

Ketidakadilan gender

Sementara, Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, hakim tidak mempertimbangkan kondisi Veloso, seorang buruh migran yang rentan menjadi korban perdagangan manusia. Rata-rata, mereka memiliki pasangan yang gemar melakukan kekerasan dan hidup miskin.

“Jadi kalau ada yang menawarkan uang atau penghidupan di tempat lain yang lebih baik, mereka mudah terbujuk,” ujar Yuniyanti.

Hal serupa juga terjadi pada salah seorang terpidana mati asal Indonesia, Merry Utami. Banyak pengalaman orang-orang seperti Veloso dan Merry yang dimanfaatkan fisiknya oleh sindikat narkoba untuk menyelundupkan barang terlarang itu. Sayang, menurut Yuniyanti, hakim dan penegak hukum yang ada di Indonesia justru masih sangat awam dengan persoalan tersebut.

“Ada hakim yang pernah bertanya, apakah perempuan korban trafficking itu adalah perempuan nakal? Ada juga yang saat mengusut kasus malah mengirimkan polantas, (karena) dikira traffic (lalu lintas) betulan,” kata Yuni.

Padahal, kalau pertimbangan ini dimasukkan, maka perempuan-perempuan ini adalah korban, bukan pelaku. Sepantasnya, bukan mereka yang divonis mati, tetapi orang-orang yang menjebak.

Salah satu tujuan LBH dan MaPPI FHUI membuka uji keputusan pengadilan ini supaya fakta tersebut dapat dievaluasi oleh pemerintah.

“Peradilan yang adil masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Evaluasi atas hukuman mati, apakah memang efektif atau tidak, harus dilihat kembali juga,” kata Arief.

Asa untuk Veloso

Pengacara Veloso, Agus Salim, mengatakan pihaknya akan tetap mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas vonis mati Veloso.

“Nanti menunggu hasil pengadilan Christine di Filipina,” kata dia.

Hasil persidangan tersebut dapat menjadi novum atau bukti baru yang dapat meringankan atau membebaskan kliennya.

Sebelumnya, Veloso sudah dua kali mengajukan PK. Mahkamah Agung (MA) menolak yang pertama lantaran dianggap tidak bisa membuktikan dalil atas langkah hukum yang diupayakannya.

Sementara PK kedua ditolak oleh Pengadilan Negeri Sleman tanpa pernah mencapai MA. Alasannya didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 tahun 2014 yang mengatakan PK hanya dapat diajukan satu kali. Sayangnya, aturan ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatakan kalau proses pencapaian keadilan tak perlu dibatasi. PK, yang merupakan upaya hukum luar biasa, merupakan kesempatan terakhir bagi mereka yang mencari keadilan.

Sempat ada secercah harapan ketika pengacara mencantumkan persoalan ahli bahasa. Nonthanam M. Saichon, terpidana mati asal Thailand, dikabulkan PK-nya karena alasan tersebut pada tahun 2007 lalu.

Namun, ternyata Veloso tidak seberuntung itu.

“Kata MA itu tidak relevan, karena tidak perlu klasifikasi penerjemah harus terdaftar atau tidak. Soal kuasa hukum juga tidak dipertimbangkan,” kata Agus yang sudah mendampingi sejak pengajuan PK pertama.

Satu-satunya asa yang tersisa kini adalah hasil keputusan dari pengadilan Christine di Filipina. Bila terbukti kalau Veloso adalah korban, maka Pemerintah Indonesia wajib membebaskan ia dari ancaman peluru tajam.

(BACA: Indonesia desak Filipina tuntaskan proses hukum Mary Jane)

Bila tidak, maka wajib ditanyakan kembali, apakah substansi dari hukuman mati itu sebenarnya? -Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!