Latin America

Real Madrid vs Atletico Madrid: ‘Counter-hegemony’ di panggung lebih tinggi

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Real Madrid vs Atletico Madrid: ‘Counter-hegemony’ di panggung lebih tinggi
Jangan sampai Cholismo hanya bertaji di arena domestik.

JAKARTA, Indonesia — Liga Champions belakangan selalu akrab dengan Derby Madrileno. Duel dua tim di Madrid antara Real dan Atletico itu selalu menghiasi Liga Champions. Tak tanggung-tanggung, sudah tiga kali mereka bentrok sejak musim 2013-2014 lalu. Dan Real adalah kubu yang tak terkalahkan.

Ya, di Liga Champions, Atleti selalu inferior. Rasio kemenangan dalam lima musim belakangan nyaris nol. Bahkan, sudah dua kali Atleti dipecundangi di partai puncak perebutan Si Kuping Besar. Pada musim 2013-2014 mereka kalah 1-4 via waktu ekstra sedangkan musim lalu kalah adu penalti.

Padahal, di La Liga atau Copa del Rey, beberapa kali pasukan Diego Simeone itu mampu mencuri kemenangan. Final Copa del Rey musim 2012-2013 yang menahbiskan mereka sebagai juara diraih setelah menghancurkan Los Blancos 2-1. 

Di musim yang sama, mereka mampu mengalahkan Real 1-0 di putaran pertama untuk kemudian bermain seri di putaran kedua La Liga. Hasil pertandingan yang membuat mereka mampu mengawinkan Copa del Rey dengan juara La Liga. 

Sejak kehadirannya di Vicente Calderon, Simeone memang tak hanya mengembalikan Atleti pada nilai-nilai dasarnya: pengorbanan, kerja keras, sikap pantang menyerah, dan perlawanan terhadap dominasi. Tapi juga mampu menjadikan Atleti sebagai kekuatan ketiga di tengah duopoli Spanyol Real Madrid dan Barcelona.

Sebelumnya, Spanyol terjebak pada rivalitas “hitam-putih”. Real Madrid mewakili kaum elit ibukota yang glamor dan berkuasa. Sedangkan Barcelona mewakili oposan yang periferi tapi begitu bangga akan nilai-nilai primordial kesukuannya.

Atleti tidak terjebak pada dua kutub tersebut. Mereka memberi nilai alternatif ketiga. Sebuah tim yang tak terlalu kaya tapi meraih segalanya dengan kerja keras, pengorbanan, dan melawan himpitan-himpitan kesulitan. 

Los Rojiblancos bukan tim yang jika entrenador hari ini tak mampu mempersembahkan piala, maka dia akan ditendang di musim berikutnya. Atau tim yang begitu kompleks menjelaskan makna identitas klub bagi para pemain barunya. 

Atletico mengusung nilai yang lebih sederhana: jika kamu menginginkan sesuatu, maka kamu harus bekerja keras. Terdengar lebih pragmatis, tapi juga to the point. Dan tentu saja lebih universal ketimbang sekumpulan suporter yang selalu menarasikan dirinya sebagai korban rezim Jenderal Franco. 

“Atletico Madrid adalah tim yang hidup dengan nilai-nilai kerja keras, sikap rendah hati, pengorbanan, loyalitas, dan menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak mungkin,” kata Eulalio, kakek Fernando Torres, seperti ditirukan striker Atleti itu dalam buku biografinya.

Saat kali pertama datang ke Vicente Calderon, Simeone juga memberi syarat yang sama kepada pasukannya. Dia hanya butuh pemain yang benar-benar bekerja untuk tim. “Kami ingin pemain dengan komitmen tinggi. Seorang pemain yang berlari, berlatih, dan menghargai lawan-lawannya,” kata Simeone seperti dikutip These Football Times

Begitu pula dalam hal pilihan gaya bermain. Simeone bukan pelatih yang rumit. Bukan pelatih yang lebih mementingkan cara (bermain) daripada tujuan (gol). Juga bukan pelatih yang melihat jumlah gol dalam kemenangan. Bagi dia, kemenangan tetaplah kemenangan meski dengan skor 1-0 atau 2-1. 

Gaya bermainnya konsisten tak banyak perubahan dari waktu ke waktu. Dia mendasarkan permainannya pada kokohnya pertahanan dan serangan balik cepat. Karakter yang muncul dari jejak perjalanannya dari klub-klub dan sejumlah pelatih yang mempengaruhi permainannya.

Sepak bola reaktif

Salah satu nama yang mempengaruhinya adalah Luigi “Gigi” Simoni, pelatih yang memoles karakter Simeone saat masih bermain untuk Inter Milan. Simoni kerap bermain dengan sayap dan penyerang yang cepat tapi dengan mindset bertahan yang kuat. 

Saat masih bersama Youri Djorkaeff, Luigi Sartor, Francesco Moriero, dan sang fenomenal Ronaldo, Inter sangat konservatif saat bertahan. Semua pemain wajib turun dengan hanya meninggalkan Ronaldo di depan. Pemain Brasil plontos itu akan dibiarkan di depan untuk skema serangan balik cepat Nerazzurri. 

Publik bola Italia saat itu menjuluki gaya permainan Il Biscione tersebut sebagai sepak bola reaktif yang ekstrim. “Mereka memukul dan lari, bertahan dan menyerang balik,” sebut harian olahraga Italia La Gazzetta dello Sport.

Hasilnya cukup positif. Inter adalah tim dengan pertahanan terbaik saat itu. Hanya kebobolan 27 gol dalam 34 laga. Mereka finis di posisi kedua tepat di bawah Juventus yang meraih scudetto 1997-1998. Di ajang internasional, mereka menjadi juara Piala UEFA.

Simeone termasuk di antara para pemain utama Simoni. Dia akan menjadi petarung di lini tengah. Menjaga agar lini tersebut bermain kompak dan sempit hingga tak bisa memberi ruang bagi lawan untuk membangun serangan. Memaksa lawan untuk bermain melebar, meski tetap bakal sulit dengan para sayap seperti Sartor dan Zanetti di sisi flank

El Cholo, sebutan Simeone, benar-benar berkorban untuk tim. Dia rela untuk turun sebagai center back saat Beppe Bergomi absen. Baginya, menjaga pertahanan bukan saja soal menahan gempuran lawan. Tapi mematikan inisiatif lawan agar tak bisa lagi berpikir dari mana akan menyerang.

Salah satu kekuatan Simeone saat itu adalah kemampuannya membaca permainan. Kemampuan yang begitu dipuji sang allenatore. “Dia akan menjadi pelatih yang hebat kelak,” kata Simoni yang kini menjadi direktur teknik Gubbio,  tim sepak bola Italia yang berkiprah di Serie D. 

Karena itulah, pendekatan Simeone pada sepak bola jelas sangat berbeda dari dua kutub yang sudah solid di Spanyol. Satu kutub yang diwakili Barcelona mendewakan permainan. Bahwa cara yang baik jauh lebih mulia daripada hasil. Kemenangan bukan tujuan, tapi cara meraihnya lebih utama, yakni yang elegan, “ningrat”, dan bercita rasa seni (sepak bola) yang tinggi.

Di kutub yang lainnya, sepak bola seperti sebuah barang dagangan. Gelar bisa “dibeli” dengan cara mendatangkan semua pemain terbaik ke dalam tim.

Dua kutub ekstrim itu dengan sendirinya memberikan Cholismo—istilah yang dipakai media Spanyol untuk menyebut gaya bermain Simeone—mendapatkan ruangnya sendiri. Cholismo adalah milik mereka yang terlalu silau dengan “futebol arte”Barcelona, tapi juga enggan bersama Real yang kelewat kosmopolitan. 

Cholismo mengusung nilai-nilai yang lebih sederhana: kemenangan adalah yang utama dan harus diraih bagaimanapun caranya.

Nilai-nilai lugas itu tak heran menjadi bagian dari label yang mengikat El Cholo. Cholo dalam bahasa asalnya bermakna rendahan. Yakni istilah untuk menyebut kasta “sudra” dalam masyarakat Amerika Latin meski belakangan istilah itu mengalami perluasan makna. 

Cholismo yang berarti nilai-nilai ketangguhan ala Simeone itu berhasil menjadi lawan hegemoni Real dan Barca.

Masalahnya, perlawanan itu baru berhasil di level domestik. Di Liga Champions, Atleti masih tak berkutik.

Dalam semifinal Liga Champions melawan Real Madrid, Rabu, 3 Mei, pukul 02.45 WIB, di Santiago Bernabeu, Simeone harus mulai membawa nilai-nilai yang sama ke panggung yang lebih tinggi.

Dan itu harus sekarang. Jika tidak, tak akan ada waktu lagi. Sebab, musim depan barangkali dia sudah berganti klub.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!