Informasi ‘menyerang’ anak muda bagaikan virus

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Informasi ‘menyerang’ anak muda bagaikan virus
Pakar komunikasi dan media ini membahas kekhawatiran Presiden Jokowi tentang info hoax di media sosial

JAKARTA, Indonesia – Upaya hukum untuk membungkam akun media sosial yang dituding menyebarkan informasi bohong alias hoax dianggap tidak efektif. “Yang melawan harus dari kalangan media arus utama. Media harus tegas untuk melawan sikap dan perbuatan mereka yang memproduksi hoax, tidak hanya untuk keperluan pribadi, apalagi kalau itu jadi lahan bisnis, karena ini merusak,” kata Ishadi SK, pakar komunikasi dan media.

Dalam percakapan dengan Rappler, Ishadi mengatakan bahwa informasi hoax bagaikan virus yang menyerang, menjangkiti arus informasi yang diterima masyarakat termasuk anak muda.

“Mereka ini kan ibaratnya belum dapat imunisasi, belum cukup pangan, arahan, bagaimana mencerna dan memilih informasi yang benar,” ujar Ishadi yang kini menjabat komisaris di Kelompok Trans Media.

Menurut Ishadi, informasi terverifikasi dan akurat yang diproduksi media arus utama akan membantu orang tua atau orang yang lebih dewasa dalam keluarga, untuk menjelaskan kepada anak muda, generasi usia belasan tahun, bagaimana duduk perkara sebuah peristiwa. 

Ishadi kurang setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa maraknya pengaruh informasi di media sosial menunjukkan turunnya kepercayaan terhadap media arus utama. “Anak-anak usia belasan tahun, 14 tahun ke atas ini memang merasa memiliki medianya sendiri, yaitu media sosial. Mereka tidak membaca koran, tidak mendengarkan radio, tidak menonton televisi. Bagi mereka informasi datang begitu cepat, mereka tidak sempat untuk memilihnya,” kata Ishadi.

Tentang kecenderungan kalangan terdidik, bahkan guru besar untuk membagikan “informasi dari grup sebelah” yang belum diverifikasi dan sebagian ternyata tidak akurat, termasuk info hoax, menurut Ishadi ini disebabkan dua hal.  “Pertama, mereka ikut-ikutan, tetapi tidak siap.  Karena ada gap, dengan kecepatan perpindahan komunikasi via media sosial.  Kedua, ya karena kemudahan media sosial untuk berbagi informasi,” ujar Ishadi.

Karena perannya yang kian penting, sebagai gate keepers, konten harus sangat terjaga dan dipilih yang penting dan bermanfaat.  “Mereka yang membagi informasi atau memproduksi berita hanya dengan semangat untuk populer, sangat mungkin terjebak dalam penurunan kualitas informasi yang mereka berikan dan itu akan menurunkan mereka sendiri,” kata Ishadi.

Fenomena percakapan publik yang dipicu oleh media sosial juga menjadi fokus pidato Presiden Joko “Jokowi” Widodo saat memberi orasi ilmiah di Dies Natalis Universitas Padjajaran ke 60 pada Senin, 11 September. Dalam orasinya, Jokowi mengungkapkan sulitnya para pemimpin dunia mengendalikan informasi yang berkembang di media sosial. Kesimpulan itu ia dapat usai mendengar curhatan berbagai para pemimpin dunia mulai dari Perdana Menteri Singapura, Malaysia bahkan Presiden Iran.

“Ketemu presiden, raja, perdana menteri, semua (menanyakan) Presiden Jokowi, bagaimana media sosial di Indonesia kejam apa ndak? Wah, kalau di Indonesia kejam banget, saya jawab,” ujar Jokowi di Grha Sanusi Hardjadinata.

(BACA: Presiden Jokowi: Banyak informasi hoax di media sosial)

“Media mainstream bisa dikendalikan, tapi media sosial tidak. Kalau dia punya platformnya sendiri, mungkin bisa. Tapi hampir semua negara tidak bisa mengendalikan ini, semua mengatakan pada saya,” kata dia.

Polisi tengah mendalami dugaan penyebaran informasi untuk kepentingan politik yang dilakukan kelompok Saracen yang dituding menyebarkan kebencian lewat media sosial.

Upaya aparat hukum menangkapi pihak yang dianggap mengkritisi kebijakan pemerintah atau penguasa menuai protes dari kalangan aktivis. Ada kecenderungan bahwa aparat hukum lebih cepat menangani kasus dugaan pencemaran nama baik dari mereka yang mengkritik pengusaha.  Aktivis meminta Presiden Jokowi mencabut pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang digunakan menjerat warganet karena status di media sosial.

Dari data yang dimiliki SAFEnet hingga Mei 2017, tercatat ada 192 kasus yang tertulis karena terkait kasus pencemaran nama baik. Sebanyak 44 persen orang yang dilaporkan, adalah orang awam, termasuk buruh, karyawan dan ibu rumah tangga.

Dari pihak terlapor, setidaknya 11 persen adalah aktivis. Sementara, 69 persen pelapor adalah pejabat. Sementara, di sisi lain pejabat seperti petinggi kepolisian, kepala instansi, hingga Menteri hanya pernah dilaporkan sebanyak 17 kali.

Catatan SAFEnet juga menyebut UU ITE pasal 27 ayat 3 mengenai pencemaran nama baik adalah yang paling banyak digunakan. Angkanya mencapai 149 kasus – Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!