Indonesia

Rekam jejak perlakuan diskriminatif terhadap umat Muslim di Myanmar

Bernadinus Adi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Rekam jejak perlakuan diskriminatif terhadap umat Muslim di Myanmar

ANTARA FOTO

Perlakuan diskriminatif terhadap umat Muslim sudah terjadi sejak 1982, ketika Myanmar mengeluarkan UU kewarganegaraan

JAKARTA, Indonesia – Tragedi kemanusiaan yang terjadi kepada warga Muslim etnis Rohingya di Rakhine State Myanmar, ternyata bukanlah hal baru yang menimpa komunitas Muslim di Myanmar. Perilaku diskriminatif Pemerintah Myanmar kepada masyarakat Muslim dilakukan secara sistematis, bahkan sejak 1982 lalu.

 

Saat itu, pemerintah mengeluarkan UU yang mengatur kewarganegaraan. Namun, berdasarkan UU itu, etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara. Mereka juga membatasi etnis Rohingya untuk masuk ke dalam jajaran pemerintahan, militer. 

Direktur Burma Human Rights Network (BHRN), Kyaw Win, menyampaikan setidaknya ada beberapa hal yang menjelaskan bagaimana perilaku diskriminatif Pemerintahan Myanmar kepada komunitas Muslim. 

Perlakuan diskriminatif itu antara lain susahnya masyarakat Muslim memperoleh kartu tanda kewarganegaraan, otoritas pemerintah yang melarang perbaikan masjid, melarang berkumpulnya kaum Muslim untuk beribadah di wilayah pribadi, munculnya wilayah yang melarang Muslim untuk masuk, pelarangan untuk merayakan hari raya Umat Islam, pembatasan akses kesehatan dan pendidikan bagi komunitas Muslim, hingga penyerangan kepada warga sipil yang kebanyakan adalah komunitas Muslim Rohingya. 

Kyaw menjelaskan bahwa Myanmar memiliki 3 tingkatan warga negara yakni Full Citizen, Associate Citizen, Naturalised Citizen.

“Untuk menjadi ‘Full Citizen’ seseorang harus membuktikan bahwa leluhurnya pernah tinggal di Myanmar sebelum Inggris berkuasa pada 1824” ujar Kyaw. 

“Itu kan sama saja berarti untuk membuktikan kewarganegaraannya, maka saya harus menggali makam kakek buyut saya dan menanyainya apakah dia sudah tinggal di sini sejak 1825. Kemungkinan hal tersebut sia sia, karena proses dokumentasi kependudukan baru ada setelah 1958,” katanya lagi. 

Kyaw mengatakan bahwa pemerintah hanya menganggap masyarakat penganut Buddha sebagai penduduk asli Myanmar. Sementara mereka yang bukan penganut Buddha belum tentu diakui sebagai warga negara.

“Di Myanmar, jika Anda mengganti agama Anda, otomatis Anda akan berganti kewarganegaraan dan asal usul. Itu sama sekali tidak masuk akal” katanya mengaku heran.

Sementara, dalam laporan BHRN, Pemerintahan Myanmar sudah melarang pembangunan madrasah dan perbaikan masjid yang rusak sejak 1962 ketika militer mengambil alih kekuasaan Myanmar. 

Selain itu, Pemerintah Myanmar juga melarang komunitas Muslim untuk berkumpul di wilayah pribadi untuk berdoa dan melarang perayaan hari raya Agama Islam. Pelarangan hari raya Agama Islam tersebut pernah terjadi pada Januari 2017, ketika umat Muslim merayakan Maulid Nabi. Acara tersebut mendapat tekanan dari kelompok nasionalis lokal, dan akhirnya dibatalkan.

Dalam laporan setebal 104 halaman tersebut, pemerintah Myanmar juga memberlakukan zona ‘Anti-Muslim’. Total, terdapat sebanyak 21 zona ‘Anti Muslim’ yang tersebar di seluruh Myanmar.

Di lokasi tersebut, terdapat papan yang bertuliskan bahwa umat Muslim dilarang masuk. Mereka juga dilarang membeli atau menyewa properti yang ada di dalam desa tersebut. Pemerintah juga melarang pernikahan dengan umat Muslim.

Pada kerusuhan yang pecah pada bulan Juni dan Oktober 2012 di Rakhine State, 150 ribu warga yang mayoritas adalah komunitas Muslim Rohingya harus melarikan diri. Mereka diarahkan ke perkemahan khusus di mana akses untuk pendidikan dan kesehatan sangat lah terbatas. Pemerintah Myanmar menganggap Muslim adalah bahaya yang harus dikontaminasi dan dikontrol.

Beberapa rumah sakit bahkan menolak memberikan pertolongan darurat karena alasan etnis dan kepercayaan. 

Teranyar adalah penyerangan balasan pemerintahan Myanmar di Rakhine State yang berimbas kepada masyarakat sipil secara keseluruhan, termasuk komunitas Rohingya. Setidaknya, peristiwa yang menewaskan 400 orang tersebut mengakibatkan 370 ribu warga Rohingya harus mengungsi ke perbatasan Bangladesh. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!