Indonesia

Kekerasan terhadap perempuan di Yogyakarta masih tinggi

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kekerasan terhadap perempuan di Yogyakarta masih tinggi
Dalam korban kekerasan yang menimpa perempuan, tak jarang anak mereka juga ikut menjadi korban

YOGYAKARTA, Indonesia — Organisasi pendampingan perempuan dan anak korban kekerasan, Rifka Annisa, mencatat jumlah kekerasan terhadap anak dan perempuan sepanjang 2017 di Yogyakarta mencapai 287 kasus. Sebanyak 209 kasus di antaranya adalah kekerasan terhadap istri.

“Kekerasan terbanyak berbentuk kekerasan ekonomi dan psikologis, yang kemudian diikuti dengan kekerasan fisik. Tak jarang korban juga mengalami semua jenis kekerasan sekaligus,” kata Differentia One, Juru Bicara Rifka Annisa dalam diskusi yang berlangsung di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta Jumat 22 Desember 2017.

Kekerasan ekonomi yang dimaksud antara lain berupa penelantaran dan tidak diberikan nafkah oleh suami, sementara istri dilarang bekerja dan tak bisa bekerja karena beban tanggung jawab keluarga.  Ada pula istri yang bekerja kemudian suami memanfaatkan sumberdaya ekonomi milik istri.

“Setelah menikah dikondisikan untuk tidak bekerja, mengurus anak, rumah tangga dan yang lain, tetapi tidak dinafkahi. Ada juga istri yang bekerja menjadi TKI  di luar negeri tetapi kemudian gaji yang dikirim ke rumah dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi suaminya,” jelasnya.

Sementara kekerasan psikologis ditemukan dalam bentuk caci maki, intimidasi dan ancaman, selingkuh dan membandingkan dengan perempuan lain. “Kata-kata seperti tak pateni (saya bunuh), itu sering diucapkan oleh suami jika istrinya tidak patuh kata suami,” lanjutnya.

Dalam korban kekerasan yang menimpa perempuan, tak jarang anak mereka juga ikut menjadi korban. Istri yang juga seorang ibu kemudian membawa serta anaknya bila menjalani proses pendampingan yang mengharuskan mereka tinggal di shelter karena kondisi yang mengancam. 

“Dalam survey kami, juga diketahui anak yang melihat atau mengalami kekerasan dari orang tuanya juga menjadi korban. Anak-anak kemudian permissive pada hal hal negative, seperti minum alkohol, merokok atau kekerasan pada kawan sepermainan,,” katanya.

Modus pelaku lewat media sosial dan memanfaatkan posisi kekuasaan

Rifka Annisa juga mencatat tahun ini ada peningkatan pada kasus kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual sebanyak 13 kasus, kekerasan dalam pacaran sebanyak 13 kasus dan perkosaan sebanyak 29 kasus yang semuanya menimpa perempuan usia remaja, antara 12 tahun hingga 25 tahun. 

Modus yang muncul sering kali dengan penipuan dan bujuk rayu yang dilakukan lewat media sosial seperti whatsapps, BBM dan juga Facebook dengan pelaku kekerasan rata-rata berusia di atas 18 tahun. 

Modus melalui media sosial tahun ini tinggi. Pelaku mendekati korban dengan berbagai bujuk rayu lewat media sosial. Mulai iming-iming uang hingga janji untuk menikah terutama pada kasus pacaran,” katanya.

Selain menggunakan media sosial, kekerasan yang dilakukan di luar pernikahan juga dipicu faktor kekuasaan yang dimiliki pelaku. Misalnya antara guru dan siswa, bos dan karyawan atau bawahannya, atau paman terhadap keponakannya. 

Kekerasan juga dilakukan sebagai bentuk ungakapa kekuasaan laki-laki terhadap istri atau pacarnya. “Kekerasan dalam relasi kuasa masih terjadi, misalnya dari guru pada siswanya, dosen terhadap mahasiswa atau bos terhadap karyawannya. Juga suami yang tidak memiliki kontribusi besar terhadap keuangan keluarga tetapi menunjukkan kuasanya salah satunya dengan melakukan kekerasan itu,’ katanya. 

Hal ini menurut One, juga muncul salah satunya karena struktur budaya yang menempatkan laki-laki ideal sebagai suami yang bertanggung jawab dengan menjadi tulang punggung keluarga serta memiliki kemampuan fisik yang prima. 

“Konstruksi terhadap laki-laki ideal terkadang juga menempatkan laki-kaki dalam kondisi tertekan. Sementara tidak semua suami menjadi tulang punggung keluarga atau ada pula suami yang memiliki ekspresi feminin. Dalam kasus yang berbeda, laki-laki lebih rentan bunuh diri karena tidak terbiasa untuk menceritakan kesulitannya,” paparnya.

Pendidikan reproduksi dan seksualitas penting sejak dini

Melihat kasus yang muncul organisasi advokasi perempuan dan anak yang beroperasi sejak tahun 1993 di Yogyakarta itu, merasa pendidikan reproduksi dan seksualitas serta pola asuh yang benar penting diberikan untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kekerasan. 

Tidak hanya oleh sekolah atau institusi pendidikan formal, tetapi juga keluarga atau orang tua, komunitas dan juga negara. Pada tingkat individual, masing-masing harus memiliki kesadaran untuk mencari tahu informasi tentang reproduksi dan seksualitas serta bagaimana membangun relasi dengan lawan jenis, tentang gender, tentang makna perempuan dan laki-laki, tentang berbagai bentuk kekerasan dan apa yang harus dilakukan ketika mengalami kekerasan, melihat atau mendengar dan menjadi saksi.  

“Perempuan harus meningkatkan kesadaran diri untuk berani berkata tidak atau menolak hubungan yang mengarah pada hal beresiko. Karena dalam kekerasan yang terjadi dalam pacaran, korban sering tidak berani menolak atau berkata tidak,” katanya.

 Pada level keluarga, peran orang tua penting mengajarkan pendidikan seksulitas serta reroduksi sejak usia dini. Orang tua juga penting sebagai contoh berperilaku bagi anak. Peran pengasuh di luar orang tua juga penting, misalnya komunitas lingkungan terdekay seperti RT, RW hingga lurah. Sebab, lingkungan terdekat bisa berkontribusi dalam pola pengasuhan dan juga mencegah kekerasan.

“Di Gunung Kidul ada banyak anak yang ditinggalkan orang tuanya bekerja di luar. Komunitas seperti RT sampai lurah ikut berperan dalam pola pengasuhan serta mencegah kekerasan. Pada dampingan saya, peran lingkungan sangat mendukung proses penyelesaian dan penghentian kekerasan. Ada lingkungan yang cepat tanggap dengan menyerahkan pada aparat karena kawatir si pelaku akan mengulangi tindakan lagi, namun ada pula lingkungan yang mendorong penyelesaian kekeluargaan,” terangnya.

Sementara rekomendasi pada negera sebagai pemangku aturan dan pelindung warganya didorong untuk terlibat dalam penegakan hukum dan aturan. Menurutnya, saat ini negara sudah memberikan aturan dan perlindungan yang baik untuk mencegah kekerasan pada perempuan dan anak. Tetapi kelemahannya masih muncul dalam penerapan aturan tersebut.

“Misalnya aturan tentang P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) itu sudah diharuskan ada di setiap kota dan kabupaten. Tetapi ada beberapa kendala yang membuat implementasinya tidak berjalan, misalnya kapasitas tenaga yang ada tidak memiliki ketrampilan soal pendamping korban. Di jogja ada yang masih dirujuk ke kami,’ terangnya.

Rifka juga mencatat kasus kekerasan yang ditangani sebagian besar berakhir di luar penyelesaian hukum. “ Dari seluruh kasus, hanya 15 persen yang berakhir dengan putusan pidana dan perceraian, sebanyak 85 persen lainnya rujuk dengan catatan,” imbuhnya. —Rappler.com  

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!