Mengapa tak ada protes ketika Budi Gunawan dicalonkan jadi Kepala BIN?

Alif Gusti Mahardika

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa tak ada protes ketika Budi Gunawan dicalonkan jadi Kepala BIN?

ANTARA FOTO

Tahun lalu publik menggalang dukungan solid menolak Budi Gunawan untuk tidak dijadikan Kapolri

JAKARTA, Indonesia — Komisi I DPR RI menyatakan Komisaris Jenderal Polri Budi Gunawan layak menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), pada Rabu, 7 September.

Sebelumnya, Budi telah menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) pada hari yang sama. Setelah menjalani tes tersebut, Komisi I menyatakan bahwa Budi layak menjadi Kepala BIN dan menggantikan posisi Sutiyoso.

Nama Budi diajukan sebagai calon tunggal Kepala BIN oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada pekan lalu. Meski langkahnya tampak mulus menjadi orang nomor satu di lembaga intelijen, nama Budi Gunawan sempat tersandung kasus korupsi. 

Ia terindikasi sebagai salah satu anggota Polri yang memiliki rekening gendut.

Pada Januari 2015 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan Budi sebagai tersangka kasus dugaan suap, beberapa hari setelah Presiden Jokowi menetapkan Budi sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian RI.

KPK menetapkan Budi sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap ketika ia menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir di Mabes Polri pada tahun 2003-2006, dan dijerat pasal mengenai gratifikasi.

Namun kemudian Budi mengajukan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa penetapan tersangka atas Budi tidak sah.

Dan mengapa kini, ketika Budi akan dijadikan Kepala BIN, tidak ada protes yang terdengar, mengingat rekam jejak korupsi yang dimilikinya?

Rekam jejak Budi

Budi yang menjadi calon tunggal Kapolri atas keputusan Presiden Jokowi, dinyatakan KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap pada awal Januari 2015 lalu.

Ketua KPK Abraham Samad mengatakan bahwa Budi terjerat dugaan tindak pidana korupsi penerimaan janji saat ia menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir di Mabes Polri 2003-2006.

Ia dijerat pasal 12 huruf a atau b, pasal 5 ayat 2, dan pasal 11 atau pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal-pasal tersebut berbicara mengenai tindak pidana yang diberikan untuk pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, terkait akan pelaksanaan jabatannya.

Berdasarkan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang ia serahkan ke KPK pada Juli 2013, Budi memiliki total kekayaan Rp 22,6 miliar.

KPK, yang menurut Abraham telah menyelidiki Budi sejak 2014, menduga dalam total kekayaan tersebut ada sebagian dana yang merupakan suap dari pihak luar.

Sedangkan laporan transaksi yang tidak wajar telah dilaporkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak masa kepemimpinan Yunus Husein, yang menjabat dari 2002 hingga 2011.

Terkait status Budi sebagai tersangka, Presiden Jokowi kemudian membatalkan pelantikan Budi sebagai Kapolri, dan menetapkan Jenderal Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri dalam kurun waktu yang belum dibatasi.

Namun pada Februari 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan membatalkan status tersangka dan mengabulkan gugatan Budi. 

KontraS layangkan protes

Lebih dari setahun kemudian, Budi menjabat sebagai Wakapolri. Hingga ia dicalonkan menjadi Kepala BIN.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, lewat akun Facebook dan di situs resmi lembaganya, telah melayangkan sebuah protes terkait pencalonan Budi sebagai Kepala BIN, pada 7 September.

Dalam tulisan yang berjudul Hilangnya Semangat Rekam Jejak dalam Pergantian Kepala BIN, KontraSmengecam ketiadaan rekam jejak yang menjadi salah satu prinsip kontrol sipil demokratik.

“Tahun lalu bahkan publik menggalang dukungan solid menolak Budi Gunawan untuk tidak dijadikan figur pemimpin lembaga keamanan Polri. Budi Gunawan juga harus diseret pada ruang-ruang akuntabilitas atas praktik kejahatan ekonomi dan pelanggaran akuntabilitas lainnya,” tulis Haris dalam rilisnya.

“Tapi kini Presiden Joko Widodo dan Istana bersepakat dan mengkhianati publik dengan mengusulkan secara istimewa nama Budi Gunawan untuk menjadi calon tunggal Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) menggantikan Sutiyoso.”

Menurutnya, rekam jejak sangat penting sebelum menunjuk seseorang menjadi pejabat publik. Rekam jejak adalah salah satu prinsip selain beberapa prinsip penting lainnya, yakni: 

Pengawasan sipil demokratik berlapis –di tingkat eksekutif, legislatif, yudikatif dan eksternal guna menafsirkan bahwa badan intelijen negara tunduk pada kontrol sipil demokratik

Ukuran transparansi atas fungsi-fungsi intelijen di sektor pengumpulan informasi, analisis dan diseminasi

Tersedianya ruang koreksi dan pertanggungjawaban efektif guna sebagai bagian dari fungsi pengawasan intelijen

KontraS berpendapat, mekanisme rekam jejak telah dilakukan oleh Presiden Jokowi pada masa awal kepemimpinannya dalam menyeleksi kabinet kerjanya. Namun mekanisme tersebut tidak berlaku pada Budi, baik pada masa pencalonan Kapolri maupun Kepala BIN.

Bagi KontraS, Budi tidak layak menjadi Kepala BIN karena rekam jejak yang buruk.

“Gerakan dan pernyataan yang seakan mendukung Budi Gunawan adalah sebuah tanda bahaya yang harus kita waspadai,” kata Haris.

“Karena mereformasi BIN tidak bisa melibatkan individu yang tidak memiliki komitmen pada akuntabilitas, agenda sipil demokratik, individu yang cenderung berada dekat, dan berusaha menarik kita pada pusaran oligarki elite yang diam-diam kini tengah kembali mengatasnamakan sipil, rakyat dan kita semua,” kata Haris. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!