Kementerian Luar Negeri bantah tolak peran feminis

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kementerian Luar Negeri bantah tolak peran feminis

AFP

Komisi PBB atas Status Perempuan umumkan deklarasi politik lanjutan dalam peringati 20 tahun Deklarasi Beijing. Apa yang jadi keberatan Indonesia?

 

Kementerian Luar Negeri Indonesia membantah bahwa Indonesia menolak peran kelompok feminis dalam mengembangkan kesetaraan gender. Bantahan disampaikan terkait kalimat yang dimuat dalam artikel di laman The Guardian berjudul Activists blast ‘bland’ UN declaration as step backwards for women’s rights.  

Dalam artikel yang terbit pada 9 Maret 2015 itu, Guardian merujuk kepada pembahasan deklarasi politik dari Beijing Declaration and Platform for Action (BDFA) yang dibahas dan diadopsi pada pertemuan Comission on the Status Women (CSW), Maret ini.

Laman media dari Inggris itu mengutip pernyataan koalisi lembaga swadaya masyarakat yang mengatakan bahwa the Holy See (yang memiliki kursi di Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai non-member permanent observer), Indonesia, Nikaragua, dan grup negara Afrika telah membatasi upaya mencantumkan referensi teks deklarasi dengan teks hak asasi manusia, dan meminta menghapus pernyataan terkait peran kelompok feminis dalam mengembangkan kesetaraan gender. 

Menurut kalangan aktivis perempuan yang tergabung dalam Kaukus Hak-Hak Perempuan, negara-negara tersebut beralasan bahwa hak asasi manusia hanyalah satu bagian dari BDFA. Sampai Kamis pekan lalu, sebanyak 770 anggota kaukus menandatangani petisi menolak pelemahan semangat BDFA yang dideklarasikan 20 tahun lalu dalam konferensi perempuan sedunia ke-4 di Beijing.

“Pada saat di mana aksi nyata mendesak dilakukan untuk merealisasikan kesetaraan gender, hak asasi dan pemberdayaan perempuan dan anak perempuan, kita perlu memperbarui komitmen, meningkatkan level ambisi, sumber daya yang nyata dan akuntabilitas,” demikian pernyataan kaukus, yang selengkapnya dapat dibaca di sini 

Saya menemukan informasi ini saat menulis Pekerjaan Rumah di Hari Perempuan Sedunia.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Foto oleh EPA

Untuk mendapatkan konfirmasi, saya mengirim surat elektronik menanyakan hal ini kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.  Menteri Retno meminta saya merujuk kepada Direktur Jenderal Multilateral Hasan Kleib yang mengurusi masalah ini.  

Melalui tanggapan tertulis, Dirjen Hasan menjelaskan, bahwa tulisan di Guardian mencampuradukkan isu peran grup feminis dengan pencantuman terminologi baru: gender equality, the human rights, and empowerment of women and girls

“Klaim NGO internasional itu tidak tepat dan tidak benar karena Indonesia sama sekali tidak pernah menyatakan keberatan terhadap peran feminist group,” kata Hasan kepada saya.

Menurutnya, Rusia, Tiongkok, India, grup negara Afrika dan negara mayoritas Muslim lain – yang notabene posisinya sejalan dengan Indonesia dalam hal terminologi baru terkait human rights – telah secara tegas menyatakan penolakan mereka dalam isu peran grup feminis dalam pengembangan kesetaraan gender. 

Untuk yang kedua, pencantuman terminologi baru, dalam negosiasi terdapat upaya Uni Eropa (EU) yang didukung oleh masyarakat sipil untuk memasukkan terminologi baru gender equality, the human rights, and empowerment of women and girls, di sekitar 10 paragraf deklarasi politik (Political Declaration). Selama ini, terminologi yang dipergunakan oleh BDFA adalah “gender equality and empowerment of women”.

Menurut Kemenlu, ada kekhawatiran dan sinyalemen bahwa upaya EU untuk memasukkan terminologi yang menempatkan “human rights” sebagai bagian integral dari “gender equality and empowerment of women” tersebut berpotensi untuk dipergunakan oleh UN Women dan negara-negara barat guna membuka pembahasan isu-isu yang masih sensitif bagi Indonesia dan like-minded countries. Isu yang dimaksud termasuk isu sexual orientation and gender identity (SOGI) dan sexual and reproductive rights.

Indonesia tidak keberatan atas adanya rujukan terkait HAM dalam Political Declaration, namun rujukan HAM tersebut telah secara umum tercantum di chapeau alias pengantar dan pada paragraf terkait CEDAW, atau Konvensi Eliminasi Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Terlebih lagi, mengingat pada saat bersamaan terminologi “gender equality and women empowerment” telah disepakati dalam laporan Open Ended Working Group Proposal for Sustainable Development Goals. 

“Dengan demikian, apabila terdapat terminologi baru dalam Political Declaration terkait gender equality, human rights, and women empowerment akan berpotensi membuka kembali negosiasi hal serupa di SDGs (Sustainable Development Goals),” kata Hasan. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!