Ketika Jokowi dibandingkan dengan Obama

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika Jokowi dibandingkan dengan Obama
“Apakah ada negara lain di dunia ini yang bisa menghasilkan sosok seperti Jokowi dan Barack Obama sebagai pemimpin? Hanya Indonesia dan AS yang bisa,” kata Senator AS John McCain.

“AS akan selalu menjadi salah satu mitra penting Indonesia,” kata Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat, Budi Bowoleksono, saat saya menemuinya di kantor Kedutaan Besar RI di Washington DC, Jumat (7/11) malam. Kami berbincang mengenai apa yang diharapkan pemerintah AS atas terpilihnya Presiden Joko “Jokowi” Widodo, dan sebaliknya bagaimana Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi meletakkan hubungan bilateral dengan negara adidaya ini.             

Jika sebuah tajuk rencana bisa menjadi salah satu tolok ukur, maka kita bisa melihat konten tajuk rencana yang dimuat koran berpengaruh New York Times terkait kepemimpinan Indonesia. “America’s Big Bet on Indonesia,” itu judul tajuk rencana NYT, yang dimuat pada tanggal 4 November.

Isinya menyebutkan kehadiran Menteri Luar Negeri John Kerry saat pelantikan Presiden Jokowi 20 Oktober lalu sebagai sinyal kehendak pemerintahan Presiden Barack Obama untuk lebih terlibat di Indonesia. Kehadiran Kerry juga merupakan sebuah investasi bagi hubungan AS-Indonesia. Fakta bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan ekonomi terbesar di ASEAN, tulis NYT, seringkali dinafikan.

NYT memuji proses pemilu yang berjalan damai dan demokratis. Jokowi yang unggul atas mantan calon presiden Prabowo Subianto dengan delapan juta suara juga dianggap angin segar karena menjadi presiden pertama yang tidak datang dari elit politik atau dari jajaran pangkat tinggi di militer. Kalimat NYT sering saya dengar muncul dari pendukung Jokowi selama pemilihan presiden lalu. Jika yang menjadi acuan adalah berlakunya era pemilihan presiden langsung, kalimat ini ada benarnya.                 

Di bagian lain dari tajuk rencananya, koran NYT menggarisbawahi tantangan yang dihadapi Indonesia. Kendati menjadi bagian dari grup liga elit, negara anggota G20, lebih dari 100 juta orang Indonesia hidup dengan penghasilan kurang atau setara dengan US$2, atau sekitar Rp 25 ribu per hari. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin sangat lebar. Indonesia perlu serius memberantas korupsi, membangun jalan dan jembatan, menciptakan lapangan pekerjaan, meluaskan akses pendidikan, dan mengurangi subsidi atas harga bahan bakar minyak yang ditaksir sebesar $20 miliar; subsidi yang lebih banyak dinikmati kelompok kaya.  

NYT juga mengkritisi soal perkebunan sawit Indonesia yang menjadi penyumbang emisi gas. Soal ini akan saya bahas tersendiri, berikut bantahan tertulis yang disampaikan pihak Kedubes RI kepada koran NYT.

Presiden Jokowi yang dianggap kurang pengalaman dalam bidang ekonomi dan kebijakan luar negeri, pula isu keamanan, diharapkan segera belajar. AS, kata penulis editorial NYT, mengandalkan Indonesia sebagai mitra untuk mengimbangi kehadiran Tiongkok yang agresif di kawasan Asia, juga membantu menengahi konflik antara Tiongkok dan negara lain yang mengklaim kepemilikan di wilayah Laut Cina Selatan.

Kesamaan Indonesia dan AS

Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo sesaat setelah berpidato di forum CEO APEC Summit di Beijing pada 10 November 2014. Foto oleh Andy Wong/AFP

Pujian AS terhadap terpilihnya Jokowi juga dikuatkan oleh resolusi senat No. 546, yang dihasilkan dalam sidang-13, sesi kedua. Resolusi ini diusulkan oleh senator John McCain dan diterima sepenuhnya oleh senat. Selain menyampaikan selamat atas terpilihnya Presiden Jokowi melalui pemilu yang demokratis, bebas, dan adil, senat menggarisbawahi kesamaan nilai antara AS dan Indonesia dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia dan peran hukum. Resolusi ini juga mengingatkan pentingnya melanjutkan kemitraan komprehensif antara AS dan Indonesia yang diteken pada 2010, sebagai landasan kerjasama bilateral, regional, maupun isu global. 

“Dalam beberapa kali pertemuan saya dengan pejabat di AS, soal kelanjutan CPA ini menjadi bahasan penting,” kata Dubes Bowoleksono.  

CPA mempromosikan juga kerjasama antar parlemen dan proses pemilu serta pemberdayaan politik bagi perempuan. Senator McCain dari Partai Republik yang kalah melawan Obama dalam pemilu presiden lalu mengatakan, “Indonesia dapat dan harus menjadi sasalah satu mitra terpenting AS.”  

McCain mengatakan hal ini saat berpidato di acara peringatan HUT Ke-69 Kemerdekaan RI yang diadakan di KBRI Washington DC, 10 September lalu. Lebih lanjut, Senator McCain mengatakan, peran Indonesia menjadi kian penting di tengah meningkatnya ancaman kelompok ekstrimis. Indonesia dan AS berbagi kesamaan dalam menghormati kemajemukan sebagaimana tertuang dalam dasar negara kedua negara.

“Apakah ada negara lain di dunia ini yang bisa menghasilkan sosok seperti Jokowi dan Barack Obama sebagai pemimpin? Hanya Indonesia dan AS yang bisa,” kata Senator McCain. 

Selain komitmen dari warga negara dan kekuatan sipil untuk tetap bersatu, peran militer Indonesia yang berkomitmen menempatkan diri sebagai tentara profesional dan fokus ke tugas dasar menjaga negeri ini sangat penting.

Tentu saja Senator McCain tidak menyinggung betapa terpuruknya popularitas Obama saat ini, di tahun keenam memerintah. Keterpurukan yang menular pada nasib Partai Demokrat yang kalah di dua lembaga legislatif dalam pemilu sela, Selasa pekan lalu.

Lima belas tahun lalu, kata McCain, banyak yang meramalkan Indonesia bakal terbelah, mengikuti jejak negara di kawasan Balkan pasca-reformasi dan demokratisasi. AS juga pernah alami ancaman situasi yang sama, yang bisa dengan mudah menyeret ke perpecahan. 

“Tak ada yang meraup duit karena bertaruh melawan keberhasilan Indonesia dan AS melewati masa-masa sulit itu,” kata McCain. Dan tak ada yang ingin melakukannya sekarang. Pidato McCain di KBRI nampaknya menginspirasi editorial NYT. 

Peran militer RI terlupakan

Yang tidak disinggung dalam editorial NYT, pula pidato McCain, adalah aktor-aktor yang berperan menjaga Indonesia tetap bersatu, kendati banyak yang meramal demokrasi Indonesia yang dimulai tahun 1998 akan menghasilkan kekacauan, bahkan perpecahan wilayah. 

Menurut saya, selain komitmen dari warga negara dan kekuatan sipil untuk tetap bersatu, peran militer Indonesia yang berkomitmen menempatkan diri sebagai tentara profesional dan fokus ke tugas dasar menjaga negeri ini sangat penting.  

Masih banyak kritik atas kinerja militer. Juga keengganan mengungkap dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan figur-figur dalam militer Indonesia di masa Orde Baru, pula dalam proses reformasi. Jika militer tidak berkomitmen menjauhkan diri semaksimal mungkin dalam proses politik, setidaknya secara resmi, kita akan mengalami situasi sebagaimana yang terjadi di negara lain termasuk Mesir dan Thailand.

Dalam konteks ini kita tidak bisa melupakan peran sejumlah pemimpin kita di era demokrasi, pasca 1998, termasuk yang berkuasa paling lama, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bola kini berpindah ke kaki Presiden Jokowi. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!