Berkunjung ke Gorontalo, akankah Jokowi dorong inovasi teknologi?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Berkunjung ke Gorontalo, akankah Jokowi dorong inovasi teknologi?

AFP

Pembangunan infrastruktur yang digencarkan pemerintahan Jokowi perlu didukung inovasi reknologi rancang bangun.

Kunjungan perdana Presiden Joko “Jokowi” Widodo ke Gorontalo, Kamis dan Jumat pekan lalu ditandai agenda yang lumayan padat. Ia tak sekadar membuka acara Silaturahmi Nasional Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Jokowi, seperti biasa, berkunjung ke berbagai tempat strategis – terkenal dengan sebutan blusukan. Ia juga menengok jalan lingkar luar Gorontalo, biasa disingkat GORR, kependekan dari Gorontalo Outer Ring Road. 

Pembangunan GORR merupakan rencana lama. Jalan lingkar sepanjang 45 kilometer itu menjadi salah satu kegiatan yang mendapat prioritas pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, karena duit yang cekak, pembangunannya kurang lancar.

Sewaktu Gubernur Gorontalo Rusli Habibie bertemu Jokowi, ia menyampaikan bahwa ia memerlukan Rp 500 miliar untuk menuntaskan pembangunan GORR. Jokowi dengan santai menanggapi bahwa jumlah yang diminta itu kecil. ‘’Paling setahun nanti mintanya Rp 200 miliar. Setelah kita mengalihkan subsidi BBM, kita bisa menghemat triliunan rupiah. Subsidi yang dulunya untuk sektor konsumtif, bisa kita alihkan ke sektor produktif,’’ katanya. 

Gorontalo hanya sepenggal kecil dari rencana raksasa pemerintah untuk menambah panjang jalan. Menurut penjelasan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimulyono, sampai 2025 Indonesia harus punya 6.115 kilometer jaringan tol. Investasinya butuh Rp 713 triliun. 

Sebagian besar jalan tol itu terletak di Sumatra, yakni sepanjang 2.865 kilometer. Adapun untuk Pulau Jawa, jalan berbayar yang akan dibangun panjangnya 2.815 kilometer. Jalan tol di Jawa ini membentang, mulai dari yang terhampar di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi, atau yang memanjang dari Merak di ujung barat hingga Banyuwangi di ujung timur. 

Infrastruktur, infrastruktur, infrastruktur

 
//

Kegiatan besar-besaran oleh pemerintah dalam pembangunan infrastruktur ini mengingatkan saya pada periode pertama kepemimpinan SBY-Jusuf Kalla pada 2004-2009. Dalam salah satu pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa, Kalla mengatakan, pemerintahnya akan banyak membangun infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan pembangkit listrik. 

Kalimat JK waktu itu kira-kira begini, “Pembangunan jalan akan membutuhkan semen, besi baja, batu, pasir, dan sebagainya. Sektor keuangan dengan sendirinya juga akan bangkit. Karena perusahaan memerlukan duit dari bank. Dengan pembangunan jalan, akan banyak sektor yang ikut bergerak.” Untuk itu, perbankan harus memberi bunga rendah.

JK juga yang sangat mewarnai keputusan pemerintah untuk mencanangkan program pembangunan listrik 10.000 MW. Tahun ini, lebih dari lima tahun setelah program itu dicanangkan, pembangunan 10.000 MW masih belum selesai. Tapi JK sudah menetapkan program baru: Pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. 

Prinsipnya: Infrastruktur. Infrastruktur. Infrastruktur. Atau, istilah Jokowi: Kerja, kerja, kerja. 

Pembangunan jalan dan berbagai infrastruktur lain sebagai gerbong penggerak ekonomi sebetulnya bukan hal yang baru. Ini malah seperti rumus lama penganut mazab Keynesian. 

Belajar dari Amerika 

Kalau Anda membaca literatur klasik soal pemerintahan di Amerika Serikat pada era Franklin D. Roosevelt, Anda akan mendapat bahwa pulihnya Amerika dari depresi besar adalah juga berkat belanja pemerintah APBN. 

Di Miller Center, lembaga kajian kepresidenan Amerika Serikat yang dikelola Universitas Virginia, Anda bisa mendapat referensi menarik ihwal bagaimana jurus Roosevelt membawa Amerika keluar dari depresi. Roosevelt dilantik sebagai presiden pada 1933 ketika ekonomi Amerika tengah dalam krisis. 

Dalam program 100 harinya, FDR menggelar berbagai program. Untuk kaum miskin, FDR menyediakan bantuan langsung tunai, selain juga menyediakan lapangan kerja. Di bidang perindustrian, ia melakukan reformasi terhadap sektor keuangan dan perbankan. 

Pada akhir periode kedua sebagai presiden, FDR menekankan perlunya belanja pemerintah diperbesar demi merangsang pertumbuhan ekonomi. 

Lesunya ekonomi Amerika bisa dilihat dari angka-angka berikut: Pengangguran meningkat dari 14,3% pada 1937 menjadi 19,0% pada 1938; hasil industri turun 37% dari 1937; pendapatan keluarga rata-rata turun 15%. 

Pada Februari 1938, Kongres Amerika mensahkan AAA (Agricultural Adjustment Act). Inilah undang-undang yang ditujukan untuk membantu para petani yang kesulitan. Inti undang-undang itu adalah pemberian asuransi bila produk pertanian mendapat bencana alam, sehingga petani tidak bangkrut; serta pemberian subsidi bagi petani yang produksinya anjlok. 

FDR mendapat persetujuan dari kongres untuk membelanjakan US$3,75 miliar, yang terbagi ke dalam dua program: Administrasi Pekerjaan Umum dan Administrasi Program Kerja. 

Berbagai kegiatan yang dilakukan FDR disebut sebagai ‘’program paling ambisius dan paling luas di Amerika’’. Jutaan tenaga kerja yang menganggur dilibatkan, pembangunan jalan, bangunan umum, dan gedung dilakukan.  

Bahkan, pemerintah menciptakan Federal Project Number One: Para artis disuruh bermain drama, penulis naskah diminta membuat cerita, ahli sastra diminta membuat buku, sutradara diminta membuat film. Semua dibiayai pemerintah Amerika. 

Dalam hal infrastruktur, peran pemerintah seperti FDR di Amerika ini yang tampaknya akan digencarkan oleh Jokowi-JK, melalui pembangunan pelabuhan, jalan, bandar udara, dan pembangkit listrik.                                    

Tetapi, masalah pembangunan infrastruktur bukan semata-mata pada persoalan pendanaan, birokrasi, dan perencanaan. Ada masalah lain yang bisa mempercepat, yakni pada penerapan teknologi. Teknologi lama, untuk membuat jalan beraspal itu diperlukan pelapisan makadam di paling bawah, dilanjut batu-batu ukuran lebih kecil di atasnya, lalu pasir, baru aspal. 

Pemakaian semen untuk pembuatan jalan terbukti menghasilkan jalan yang lebih kuat. Di salah satu ruas Jalan Casablanca, Jakarta, ada sepenggal jalan yang panjangnya sekitar 500 meter. Sebagian jalan ini berupa terowongan di bawah Jalan DI Panjaitan, penghubung Cawang ke Tanjung Priok. 

Bertahun-tahun ruas ini menjadi pusat kemacetan karena jalannya selalu hancur begitu musim hujan tiba. Apalagi bila Jakarta habis dilanda banjir, ruas ini pasti hancur. Aspalnya terkelupas dihajar air. 

Kini, alhamdulillah, jalannya lumayan awet setelah aspalnya diganti dengan semen, menggunakan teknologi dari pabrik semen Holcim. Teknologi ini disebut sebagai speed creet. Hanya dalam tempo delapan jam setelah dibangun, jalan bisa dilalui. 

Bila jalanan di pantai utara Jawa, yang selalu berlubang sepanjang tahun diganti dari aspal menjadi beton, ongkos perawatannya pasti berkurang jauh. Jalan dengan teknologi beton, perawatannya nyaris nol. Mahal di awal, tapi lebih awet dan lebih mudah perawatannya.   

Inovasi perlu digalakkan                                           

Inovasi, atau penemuan teknologi baru, di bidang konstruksi sipil memang amat minim. Adanya inovasi baru bisa menyingkat lamanya pembangunan, memangkas biaya perawatan, atau memperpanjang usia hasil pembangunan. 

Temuan teknologi di bidang rekayasa konstruksi sipil di Indonesia yang terkenal usianya sudah cukup lama, yakni teknologi pondasi cakar ayam, yang ditemukan Prof. Ir. Sedijatmo pada 1961, atau 53 tahun lalu. Teknologi ini memiliki keunggulan digunakan di daerah lembek. Ratusan menara PLN kini sudah berdiri kokoh menggunakan teknologi ini. 

Teknologi lain yang lebih baru, ditemukan oleh insinyur asal ITB yang menjadi direktur pada BUMN PT Hutama Karya, Ir. Tjokorda Raka Sukawati. Ia keturunan raja dari Keraton Ubud, Bali. Sebulan lalu, pada 11 November 2014, Tjokorda wafat di purinya. 

Teknologi Sosrobahu ini intinya digunakan untuk memutar lengan penyangga jalan, biasanya jalan layang. Ketika membangun, lengan diletakkan sejajar jalan. Setelah selesai, lengan baru diputar. Cara ini sangat membantu, sehingga lalu lintas tidak perlu ditutup ketika jalan layang tengah dibangun. Ratusan bahu penyangga jalan layang Cawang-Tanjung Priok sukses berdiri, hingga sekarang. 

Dr. Ir. Wiryanto Dewobroto, ahli konstruksi sipil yang juga dosen di Universitas Pelita Harapan, Jakarta, mengatakan, salah satu kelebihan dari Tjokorda Raka Sukawati adalah keberaniannya bereksperimen. 

‘’Inovasi seperti itu di luar negeri dapat dengan mudah dilakukan, karena bisa dilakukan simulasi lebih dahulu di laboratorium. Di Indonesia, laboratorium kapasitas besar tidak ada. Lalu bagaimana bisa memastikan inovasi itu akan berhasil kalau tidak ada laboratorium?’’ tanya alumni Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada ini. DR Wiryanto kebetulan teman suami saya. 

“Pak Tjokorda sukses, walau hanya mengandalkan pemikiran yang beliau buat,” katanya. 

Kata Wiryanto, setiap orang yang menguasai ilmu fisika bisa melakukan pemikiran seperti dilakukan Tjokorda.  

“Dengan teori friksi sederhana, dapat diwujudkan dalam kasus nyata. Pemahaman pengetahuan ditambah keyakinan kuat bahwa dengan itu akan terwujud, mewujudkan keberanian beliau untuk menerapkannya di lapangan,’’ katanya. 

Tjokorda Raka Sukawati meraih gelar doktor di bidang teknik sipil dari Universitas Gadjah Mada, yang juga almamaternya Presiden Jokowi, pada 1996.

Bila pertumbuhan Indonesia ingin tinggi, pembangunan infrastruktur harus digalakkan. Bila pembangunan infrastruktur juga ingin berjalan lancar, jangan lupa, dunia riset juga harus digencarkan. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!