Tiki-taka Risma menggoreng isu sepakbola di Surabaya

Ahmad Santoso

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tiki-taka Risma menggoreng isu sepakbola di Surabaya
Bak seperti seorang gelandang, Risma telah berpindah-pindah ruang dengan lihai untuk mengecoh lawan. Kini bola sudah di kakinya, tergantung mau kemana bola itu akan dia tendang.

 

Tak seperti biasanya, bukan puja-puji yang didapat Tri Rismaharini dari masyarakat Surabaya. Di dunia maya, oleh netizen Walikota Surabaya itu dikecam atas tindakannya yang memberi peluang klub sepakbola Persebaya untuk kembali berkandang di kota Pahlawan.

Awal Januari lalu, melalui CEO-nya, Gede Widiade, Persebaya memutuskan untuk pindah kandang ke Stadion Gelora Bangkalan, padahal musim lalu mereka memakai Stadion Gelora Bung Tomo. 

Alasannya sederhana. Mereka tak sanggup membayar biaya operasional sewa stadion, keamanan, dan biaya-biaya lain yang mencapai Rp 140-160 juta setiap sekali bertanding.  

Sebuah hal yang paradoks mengingat animo publik untuk hadir di stadion teramat kecil. Berdasarkan data PT Liga Indonesia, pada musim lalu, dari 22 tim yang berpentas di ISL, Persebaya jadi tim ketiga yang okupansi penontonnya paling rendah. Hanya 7% dari kapasitas keseluruhan stadion. 

Artinya dari 55.000 kursi penonton di Gelora Bung Tomo, tiket yang dijual per pertandingan hanya berkisar 3.940 penonton. Wajar saja di setiap laga, pihak panitia pelaksana (panpel) selalu besar pasak daripada tiang.

Hari Senin lalu, 16 Februari, di Balai Kota Surabaya, Risma diluruk belasan pendukung Persebaya. Kehadiran mereka menuntut Risma agar turun langsung mencegah tim kebanggaan mereka pindah ke Bangkalan. 

Kepada wartawan Risma memang melarang Persebaya pindah ke Bangkalan. Terkait harga sewa stadion yang mahal dia menjanjikan akan memberi diskon.

“Tidak usah keluar kota. Di Surabaya ada stadion, kok, pakai stadion di kota lain, Saya juga akan kontak kepala pengelolanya dan pasti ada keringanan. Sudah jangan pikirkan biaya sewa, yang penting semua aman, saya inikan ibunya Bonek,” tutur Risma.  

Pernyataan inilah yang membuat Risma dikecam. Untuk memahami kenapa hal itu bisa terjadi mungkin kita harus memahami njelimetnya konflik dualisme yang terjadi di Surabaya.

Dualisme Persebaya 

Stadion Gelora Bung Tomo. Foto oleh Wikipedia

Sejak tahun 2010 persepakbolaan Surabaya terpecah jadi dua. Ada dua tim yang sama-sama menggunakan embel-embel Persebaya. 

Kekisruhan ini bermula saat Persebaya yang dipimpin Saleh Mukadar membangkang dari PSSI dan bergabung dengan Liga Primer Indonesia (LPI) binaan Arifin Panigoro. Status LPI kala itu adalah breakaway league alias liga ilegal. Tak diakui oleh PSSI, AFC maupun FIFA. 

Tak terima disidensi, PSSI menggulingkan kepengurusan Askot PSSI Surabaya yang dipimpin Saleh Mukadar. Kepengurusan baru pun dibentuk dengan mengangkat Wisnu Wardhana. Politisi Partai Demokrat ini diberi restu ketua PSSI Nurdin Halid membentuk Persebaya tandingan untuk berlaga di divisi utama. 

Klub tandingan ini asalnya adalah Persikubar Kutai Barat. Dibeli lisensi dan pemain-pemainnya untuk kerangka tim Persebaya yang baru. 

Agar membedakan kedua tim ini, maka Persebaya Saleh Mukadar mengalah dan menambah embel-embel 1927 dibelakangnya. Dalam konflik ini mayoritas publik Surabaya dan bonek — sebutan pendukung Persebaya — lebih memihak kepada klub Persebaya 1927. 

Status sebagai klub duplikat membuat Persebaya jelmaan Persikubar sepi peminat. Dari rataan jumlah penonton yang dipapar di atas, dugaan itu bisa terbukti. Sebagai tim yang punya sejarah panjang dan mengakar kuat di Jawa Timur jadi sebuah anomali jika rataan penonton per stadion hanya berkisar 3.000-an orang saja.

Titik klimaks dualisme ini terjadi tahun 2013 silam. Saat unifikasi liga terjadi, IPL dan ISL melebur jadi satu. 

Tragisnya Persebaya 1927 terdepak dan gagal lolos verifikasi. Kongres Luar Biasa yang digelar 17 Maret 2013 memutuskan PSSI hanya mengakui Persebaya itu satu. Yakni Persebaya yang mereka bentuk 2010 silam.  

“Hasil keputusan kongres tidak bisa dibatalkan begitu saja. Kalau mau dibatalkan, ya harus lewat kongres juga. Kalau dibatalkan begitu saja, nanti menyalahi statuta,” ucap Sekjen PSSI Hadiyandra. 

Risma dengan Persebaya

Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Foto oleh Kartika Ikawati/Rappler

Banyak orang yang bertanya-tanya, dalam dualisme ini di manakah letak keberpihakan Risma berada? Jawabnya adalah dinamis. Beberapa kasus di bawah ini bisa dijadikan contoh permainan cantik Risma menggiring isu bola dalam kegiatan berpolitiknya. 

Tiga bulan setelah dilantik, Desember 2010, Risma langsung dikecam kubu Persebaya 1927.  Lewat surat nomor 593/6611/436.6.17/2010, Risma meminta tim Persebaya 1927 yang menempati mess Karangayam untuk segera mengosongkan tempat itu. Aset tanah dan bangunan ini memang dimiliki oleh Pemkot Surabaya.

Saleh Mukadar merasa intruksi ini dilakukan Risma untuk melunakan Wisnu Wardhana – owner Persebaya tandingan. Maklum saja Wisnu yang kala itu merangkap ketua DPRD Kota Surabaya sedang giat-giatnya menggulingkan Risma lewat hak angket. Dengan menggoreng isu bola, diharapkan penggulingan itu tak terjadi.

“Semua orang juga tahu ini awalnya dari Perwal Pajak. Yang berantem Walikota dan DPRD, kok, jadi Persebaya kami yang dibawa-bawa” keluh Saleh seperti tertuang dalam kliping Jawa Pos, edisi 15 Januari 2011.

Setelah di demo habis-habisan pendukung Persebaya 1927, wacana pengusiran menguap begitu saja. Risma pun memilih menepi dari hingar bingar konflik dan mengurus masalah kota yang membuat namanya kian melejit.

Tahun 2012, Persebaya 1927 kontra Persija IPL yang berlangsung di Stadion Gelora 10 November ricuh. Satu orang dinyatakan tewas. Semenjak itulah Risma melarang stadion legendaris di Indonesia itu menggelar pertandingan professional. Saat itu pula, dua klub Persebaya harus bermain di stadion Gelora Bung Tomo yang biayanya sangat mahal. 

“Kalau sering kerusuhan seperti ini, saya nggak akan kasih izin main di Gelora 10 November, stadion ini di tengah kota. Kalau rusuh kasian ke penduduk. Mending main di GBT aja yang letaknya di pinggir kota,” ucap Risma kepada Harian Surya. 

Sejak tahun 2013, keberpihakan Risma terlihat selalu condong ke Persebaya 1927. Maklum, ke tim itulah suara mayoritas suara bonek tertuju. Puncaknya terjadi pasca keputusan KLB PSSI terkait unifikasi liga. Sekitar 1.500 bonek pendukung Persebaya 1927 mengadu minta bantuan ke Risma.

Permintaan mereka tegas: Meminta Risma melarang Persebaya yang menurut mereka palsu itu bermain di Surabaya. Secara mengejutkan, keinginan itu dipenuhi Risma.

Melalui surat bernomor 426/23k/436.6.17, Risma membuat surat tertulis yang ditujukan kepada pengurus PSSI di Jakarta. Isi suratnya berisikan pernyataan dan permohonan seperti yang tertera di bawah ini.

“Memperhatikan unjuk rasa dari suporter Persebaya 1927 (Bonek) pada Senin, 15 April 2013, yang diikuti sekitar 1.500 orang, bersama ini kami sampaikan aspirasi dimaksud, bahwa Persebaya Divisi Utama tidak diperkenankan bermain di kota Surabaya dan mohon Persebaya IPL dapat diakui dan mengikuti kompetisi liga unifikasi PSSI musim kompetisi 2014. Demikian atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih,” teken Risma dalam surat itu. 

Meski disurati oleh Risma, PSSI tetap tak bergeming. Persebaya 1927 harus bubar. Pasca berakhirnya kompetisi IPL tahun 2013, tamat juga kiprah Persebaya 1927.  

Tim kesebelasan Persebaya saat bertanding di Gelora Bung Tomo. Foto oleh Persebaya Satoe/Facebook

Seolah bertolak belakang, prestasi Persebaya tandingan semakin memikat dengan lolos ke ISL tahun 2014. Di musim perdananya, pemain-pemain bintang mereka datangkan, mulai dari Greg Nwokolo hingga pemain timnas U-23 seperti Manahati Lestusen dan Alfin Tuasalamony. 

Ada upaya Risma untuk menghambat tim ini. Hal itu dibuktikan dengan pengusiran saat tim ini hendak berlatih di stadion Gelora 10 November, bulan Januari 2014 lalu. 

“Saya tahu Bu Risma begitu membenci kami dan tepengaruh oleh cuci otak dari kubu sebelah, tapi mohonlah, kami latihan di sini kan juga bayar,” keluh asisten manajer Persebaya Amran Said Ali seperti dikutip dari Jawa Pos.

Seiring dengan berjalannya waktu, Risma pun melunak. Hal itu dibuktikan lewat izin pemakaian Stadion Gelora Bung Tomo untuk homebase Persebaya di ISL musim lalu. Izin tersebut tertuang dalam surat bernomor 426.23/356/436.6.17/2014 tertanggal 23 Januari 2014 yang diteken Sekretaris Daerah Surabaya, Hendro Gunawan. 

Sikap lunak Risma ini disikapi aksi demontrasi besar-besaran Bonek 1927 di kediamannya. “Kami datang untuk menagih janji Walikota. Kami berharap Walikota segera mengambil langkah tegas dalam persoalan ini,” pinta Andie Peci, pemimpin aksi. 

Ingkarnya Risma ini juga dikritisi oleh anggota komisi D DPRD Surabaya, Masduki Toha. “Seandainya Walikota memenuhi janjinya tidak mungkin demo ini terjadi,” keluhnya.  

Kini, sudah hampir setahun lebih aksi demonstrasi itu terjadi. Arek-arek Bonek 1927 seolah sudah melambaikan bendera putih dan melupakan Risma. Hal ini diakui Andie Peci saat bertemu dengannya belum lama ini. 

“Harus pikir cara lain, jangan terlalu andalkan Risma, yang ada kita hanya jadi alat politiknya saja,” tutur sosok yang dikenal sebagai aktivis buruh di Surabaya ini kepada saya. 

Andie mengakui bahwa banyak pihak yang kecewa terhadap tindakan Risma yang membelot dan melupakan hubungan mesranya dengan kubu Bonek 1927 dulu.

“Kami akan tetap memperjuangkan Persebaya 1927, meskipun tanpa dukungan dari walikota, aksi boykot akan tetap kami lakukan. Meski klub kami tak jelas ada dan tak jelas nasibnya, kami tak akan hadir ke stadion untuk menonton Persebaya yang itu,” tegasnya.

Hal serupa diamini oleh Cholid Gomorah, tokoh sepakbola Surabaya yang dipercaya jadi pemilik saham PT Persebaya Indonesia, selaku pengelola Persebaya 1927. Dia mengkritik rayuan Risma kepada Persebaya. 

“Ucapannya di media itu saya pikir adalah manuver politik, semua orang bisa menebaknya. Maklumlah, tahun ini kan Pilwalkot akan digelar lagi. Sepakbola bisa jadi pengumpul massa yang efektif,” ungkapnya saat bertemu dengan saya di Tunjungan Plaza, baru-baru ini. 

Dia menjelaskan, Persebaya versi 2010 memiliki back-up yang cukup kuat dari pengurus pusat PSSI, salah satu diantaranya adalah La Nyalla Matalliti. Sosok ini dikenal di Surabaya karena menjabat ketua Kadin dan Pemuda Pancasila Jatim. 

“Ya siapa lagi kalau bukan dia, berani memangnya Risma menantang La Nyalla? Dalam konteks politik saya memaklumi apa yang dilakukan Risma,” jawab Cholid secara satir. 

Sindiran serupa bermunculan di dunia maya. Seperti ledekan di Twitter.  

Tak hanya itu, kemarin saya lihat sebuah spanduk besar terpanjang di daerah Ketintang. Isi spanduk itu bertuliskan “Bu Risma Njenengan Gadah Hutang lho.” 

Bak seperti seorang gelandang, Risma telah berpindah-pindah ruang dengan lihai untuk mengecoh lawan. Kini bola sudah di kakinya, tergantung mau kemana bola itu akan dia tendang. 

“Kalau mau buat gol bunuh diri ya monggo, silahkan saja. Imbasnya bisa terlihat di pilwalkot nanti,” ancam Cholid. —Rappler.com

Ahmad Santoso adalah seorang wartawan yang berdomisili di Surabaya. Ia peduli pada isu sepakbola, olahraga, politik, sejarah, dan budaya.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!