Sesak nafas di Sungai Tohor

Rika Novayanti

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sesak nafas di Sungai Tohor

© Katarina Premfors / Greenpeace

Kebakaran di Riau makin meluas. Apa yang terjadi? Blogger Rika Nova yang juga aktivis di Greenpeace mencoba mencari jawabannya dengan bertandang ke sana.
Abdul Manan bertemu Lili 18 tahun yang lalu, saat kabut asap kebakaran hutan dan lahan gambut muncul sebagai bencana baru. Kenalan berlanjut jadi pacaran, lalu menikah, dan beranak tiga, cuma satu yang tak berubah: Kabut asap yang mengepung dari penjuru arah, meninggalkan abu kebun sagu di sepanjang Sungai Tohor.
Desa Sungai Tohor berada di Pulau Tebing Tinggi, sebuah pulau gambut di Provinsi Riau. Desa ini tak pernah terbakar hebat sebelumnya. Sebab itu Tohor menjadi indikasi penting betapa parahnya kebakaran hutan dan gambut pada 2014.
Pak Manan hanya satu dari ribuan korban yang sudah berasap sejak rupiah masih Rp 2.350 per dolar. Pada saat itu biaya pencemaran asap akibat kekeringan dan gelombang panas sudah menelan kerugian hingga 799 juta dolar AS. Sementara sepanjang Maret dan April 2014, di Provinsi Riau saja, kebakaran hutan telah menelan kerugian hingga Rp 20 triliun atau sekitar $1,5 miliar dolar AS.
Ironisnya, asap membesar seiring dengan obsesi pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi, mengamini ekspansi bisnis serampangan yang mengorbankan lahan gambut dan hutan, termasuk ekosistem dan masyarakat yang hidup di dalamnya. Sebab itu, kabut asap tak pernah hilang, karena penyebabnya diberkati oleh pemerintah kita sendiri.

Persoalan kebakaran hutan dan lahan gambut yang berujung pada kabut asap tak akan pernah menemukan titik terang selama metode-metode yang digunakan pemerintah lebih banyak berfokus pada gejala dari pada akar penyakit. Dengan kata lain, pemerintah hanya mengejar api, tak mengejar penyebab api.

Mandor-mandor dan pekerja suruhan pun ditangkapi polisi dalam upaya mengejar api. Pemerintah merasa gagah karena sudah menemukan kambing hitam. Padahal, kebakaran hutan tidaklah semudah persoalan membakar, atau menangkapi pembakar. Kalau semudah itu, kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan gambut mestinya sudah selesai sebelum rupiah tembus Rp 13.000 per dolar.

Kebakaran adalah persoalan mengeringkan lahan gambut. Secara alami lahan gambut basah yang tadinya menyimpan karbon akan melepas karbon dalam jumlah tinggi ketika dikeringkan, sehingga mudah terbakar. Sepasang muda-mudi yang sedang memadu kasih lalu seenak jidat membuang puntung rokok ke gambut kering pun bisa jadi penyebab kebakaran hebat. Jelas, pacaran sembarangan, maksud saya, buang puntung rokok sembarangan bukanlah perbuatan terpuji. Namun, apakah si pembuang puntung rokok yang sedang kasmaran itu mau ditangkap juga oleh pemerintah?

Mengapa lahan gambut bisa kering?

Foto oleh Afif Saputra/Greenpeace Indonesia

Pertanyaan pentingnya, mengapa lahan gambut bisa kering? Tentu karena dikeringkan. Tak ada penjelasan ilmu pengetahuan tingkat tinggi mengenai gejala alam luar biasa yang dapat membuat ribuan hektar lahan gambut di Sumatera menjadi kering dengan alami. Yang ada hanya cerita perusahaan multinasional dan multi-triliyun rupiah yang membutuhkan lahan, lalu mengeringkan gambut dengan membangun kanal, sehingga air gambut mengalir ke laut.

Akhirnya tahun lalu, melalui petisi, Pak Abdul Manan yang hampir frustrasi meminta Presiden Jokowi blusukan ke Sungai Tohor. Dia ingin pejabat tak hanya berbacot-bacot saja di Jakarta, sementara nafas penduduk yang terkena dampak kebakaran tinggal satu-satu. Masyarakat ingin para pejabat yang menghambur-hamburkan pajak juga merasakan langsung dan melihat langsung akar masalah kebakaran hutan. 

Apakah blusukan menyelesaikan masalah?

Blusukan jelas tidak menyelesaikan masalah, tetapi inisiatif masyarakat membangun 13 sekat kanal lah yang menjadi solusi. Inisiatif ini kemudian dipolitisasi dengan kehadiran Jokowi — melalui blusukan — yang  merestui penyekatan kanal agar gambut tetap basah. Minimal masyarakat mendapat alasan pembenar untuk menyekat kanal yang dibuat perusahaan. Kalau tidak, manalah berani melawan tuan-tuan berseragam.

(BACA: Blusukan asap Jokowi berhasil cegah kebakaran hutan)

Presiden Jokowi memasang sekat kanal di sebuah sungai di Riau, pada 27 November 2014. Foto oleh Greenpeace Indonesia

Gambut basah membuahkan hasil berlimpah, akhirnya pada tahun ini titik api berkurang drastis, bahkan tak lagi ada di Desa Tohor. Bonusnya, warga tak perlu buang-buang uang untuk beli air pada musim kemarau. Air gambut menjadi sumber alternatif untuk kebutuhan MCK selama musim kering dua bulan belakangan ini.

Padahal pada tahun lalu, Pak Manan harus membayar setidaknya Rp 30.000 per drum air untuk kebutuhan MCK, di luar air minum. Sedang warga yang tak mampu beli air, harus berjalan jauh ke pedalaman hutan. Pilihannya cuma buntung atau beruntung. Buntung kalau tak juga bertemu mata air setelah seharian menjelajah.

Hitungan matematika kelas 3 SD-nya begini: Kalau Pak Manan membeli air sebanyak satu drum per hari, maka satu bulan saja dia akan menghabiskan Rp 900.000, sudah lebih dari separuh upah minimum Provinsi Riau pada 2014 sebesar Rp 1,7 juta. 

Belum lagi biaya air minum. Padahal katanya bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Entah rakyat yang mana.

Singkatnya, gambut basah menyelamatkan setiap keluarga di Desa Sungai Tohor dari menghamburkan Rp 1,8 juta selama dua bulan musim kemarau ini, atau setara dengan UMR Riau tersebut pada 2015.

”Ini yang bisa Pak Presiden lakukan: Melarang pembangunan kanal baru di lahan gambut, sembari menyekat seluruh kanal yang sudah terlanjur ada.”

Happy ending? Tentu tidak, cuma film Hollywood yang bisa punya happy ending secepat itu.

Pemasangan sekat kanal di Sungai Tohor di Riau, pada 27 November 2014. Foto oleh Greenpeace Indonesia

Sekat kanal yang dibangun warga bukanlah dam permanen, dan luas kebakaran hutan serta jumlah titik api di Desa Tohor tidaklah signifikan. Sepanjang tahun lalu saja kebakaran di Pulau Tebing Tinggi terjadi di 1.250 titik api, hanya mencapai  5,79% dari total titik api di Riau, atau 1,38% dari total titik api di seluruh Indonesia.

Oleh karena itu, yang dibutuhkan untuk menghentikan kebakaran hutan dan gambut secara permanen adalah sekat kanal yang permanen, tak hanya secara fisik, tetapi juga dalam regulasi, lalu menduplikasinya ke seluruh wilayah gambut di Indonesia. Ini baru satu langkah. Ini saja dulu. 

Ini yang bisa Pak Presiden lakukan: Melarang pembangunan kanal baru di lahan gambut, sembari menyekat seluruh kanal yang sudah terlanjur ada. 

Dari pada banyak janji ini itu seperti pacar baru, bagaimana kalau kita bereskan ini dulu? Supaya Bapak nggak cuma banyak janji melulu. Karena lahan gambut basah inilah si jagoan pembunuh asap. —Rappler.com

Rika Novayanti adalah mantan wartawan ekonomi di Bisnis Indonesia. Ia kemudian bergabung dengan Greenpeace Indonesia. Rika tertarik dengan masalah lingkungan dan perempuan. Follow Twitter-nya di @RikaNova atau kunjungi blognya di www.rikanova.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!