JK bela terdakwa korupsi PLTU Indramayu

ATA, Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

JK bela terdakwa korupsi PLTU Indramayu

EPA

Ada 4 poin kesaksian Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dianggap meringankan Yance, mantan bupati Indramayu. Salah satunya, JK menyebut harga tanah proyek boleh di atas NJOP.

BANDUNG, Indonesia — Wakil Presiden Jusuf “JK” Kalla hadir dalam persidangan mantan Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin atau Yance di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Bandung, Senin, 13 April 2015. 

JK hadir sebagai saksi yang meringankan Yance dalam kasus pembebasan lahan. Yance ditetapkan sebagai tersangka sejak 13 September 2010. 

Dia diduga terlibat dalam korupsi pembebasan lahan seluas 82 hektar untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) I di Sumur Adem, Indramayu. Karena harga lahan dinilai tidak sesuai ketentuan, negara ditaksir mengalami kerugian Rp 42 miliar. 

Dalam persidangan itu, JK ditanya 31 pertanyaan oleh penasihat hukum dan jaksa penuntut umum. Berikut 4 kesaksian JK mengenai klausul pembebasan lahan yang meringankan Yance: 

1. JK memperkuat kesaksiannya bahwa ia yang meminta Yance untuk mempercepat pengadaan tanah 

Pada saat pembangunan itu, terdakwa menjabat bupati. Kemudian apakah saksi pernah memerintahkan terdakwa terkait pengadaan tanah? 

“Ya, karena semua proyek itu dilakukan PLTU maka harus dilakukan pembangunan baru di sepanjang pantai. Nah, salah satu yang dilakukan adalah di Indramayu. Oleh karena itu, maka saya memerintahkan, meminta Bupati Indramayu Yance ini untuk segera melaksanakan itu, yang kemudian lebih dipercepat lagi dengan Perpres (Peraturan Presiden no) 71 itu yang meminta proyek itu harus selesai pembebasan lahannya, juga amdal-nya (Analisis dampak lingkungan) tidak lebih dari 120 hari. Sehingga betul-betul fast program, sehingga kita dapat selesaikan masalah energi ini. Jadi memang saya perintahkan kepada seluruh gubernur dan bupati untuk segera melaksanakan itu.”

2. Penundaan pengadaan tanah akan membuat negara rugi

Kalau seandainya pembangunan PLTU itu tidak dibarengi dengan Perpres 71/2006, menurut saksi bagaimana dampaknya?

“Kalau terlambat dibangun maka akan menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Maka akan dihidupkan lagi diesel-diesel, masyarakat akan kembali padam lampunya, listriknya dan industri tidak bisa berjalan dan itu kerugiannya puluhan triliun. Keterlambatan saja bisa merugikan negara Rp 17 triliun.”

3. Percepatan pengadaan tanah termasuk dalam program

Apakah tadi saksi jelaskan dalam program Perpres perlu ada percepatan dalam mengatasi krisis energi listrik, apakah terkait pengadaan tanah itu bagian percepatan?

“Ya, pasti termasuk bagian. Karena kalau lahannya tidak dibebaskan tentu tidak bisa membangun proyek listrik di situ.”

4. Harga di atas NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) tidak menyalahi aturan 

Sudah dijelaskan proyek 10 megawatt. Saksi katakan ada Perpres yang digunakan untuk proyek ini. Dan itu bisa di atas NJOP. Apa dasar dipakai sehingga diperbolehkan di atas NJOP?

“Ya, harus karena kita tidak boleh merugikan hak-hak rakyat sehingga yang harus dibayar adalah hak nilainya pada waktu itu. NJOP itu bisa terlambat karena NJOP itu seperti yang saya jelaskan tadi adalah hak rata-rata. Nilai jualnya untuk orang bayar pajaknya, PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) dan sebagainya. Lagipula belinya itu bisa berbeda-beda sesuai keadaan aturan pasar pada saat itu. Aturannya demikian.”

Jadi menurut saksi itu diperkenankan di atas NJOP?

“Diperkenankan hampir semua pembebasan lahan, jalan tol di mana pun di atas NJOP” —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!