US basketball

Religius tapi toleran LGBT, bisakah?

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Religius tapi toleran LGBT, bisakah?
"Saya percaya bahwa dua orang yang saling jatuh cinta semestinya tidak boleh dipisahkan. Entah karena berbeda agama atau karena sama jenis kelamin."

Bagaimana menjelaskan kepada Anda bahwa saya, seorang muslim homophobic yang percaya bahwa praktik homoseksualitas adalah dosa besar, mendukung hak hidup LGBT beserta seluruh hal yang menyertainya adalah sikap politis. Di Indonesia, di mana sikap melulu dibagi menjadi dua, hitam dan putih, Anda akan selalu dipaksa memilih satu pihak dan menegasikan yang lainnya.

Seperti berkata, menolak hukuman mati pada pedagang narkoba sama dengan mendukung peredaran narkoba. Atau mendukung kesejahteraan petani tembakau berarti mendukung industri rokok.

Generalisasi selalu menjadi penyakit yang demikian hebat, sehingga kita kerap gagal memisahkan instrumen-instrumen nalar yang membuat sikap satu individu berbeda dengan yang lainnya.

Beberapa waktu yang lalu, Mahkamah Agung Amerika mengesahkan perkawinan sesama jenis kelamin. Artinya lesbian dan gay berhak menikah seperti juga kaum heteroseksual. Di Indonesia, beberapa orang mengapresiasi positif hal ini. Sherina Munaf misalnya, ia memuji sikap ini. Hasilnya? Tentu saja buruk.

Sherina, mbak cantik yang semestinya bisa jadi pacar saya itu, dihujat dan dihina. Ia dituduh macam-macam, seorang pemilik akun membuat pernyataan keren “Membela Sherina berarti mendukung LGBT”. Ini salah satu alasan, mengapa susah bagi saya menjelaskan kepada Anda, bagaimana seorang pemeluk agama semestinya bersikap pada perbedaan.

Atau lebih konkret lagi: Bisakah kita menjadi pemeluk agama yang teguh namun toleran, tidak harus menerima atau mendukung kelompok LGBT?

Legalisasi pernikahan sesama jenis oleh sebuah negara bukanlah hal yang baru. Pada April 2001, Belanda menjadi negara pertama yang mengesahkan kebijakan ini. Sebelum Amerika, Irlandia juga mengesahkan kebijakan serupa. Menarik karena sampai dengan 1993, homoseksualitas merupakan praktik kejahatan di negara ini.

Irlandia merupakan negara pertama yang mengesahkan pernikahan sesama jenis dengan jalan voting. Maka ketika Amerika, melalui Mahkamah Agungnya, menyatakan bahwa seluruh negara bagian wajib melegalkan pernikahan sesama jenis, ini bukan hal yang baru. 

Saya mengajak Anda untuk memandang hal ini dengan meletakkan kacamata agama. Mengapa? Seperti yang saya sebut di awal, saya meyakini bahwa praktik homoseksualitas adalah dosa besar, ia tak bisa digugat dan ditawar.

Namun sedikit dipahami, bagi negara-negara sekuler, pernikahan bukanlah peristiwa sakral. Ia sekedar proses pelayanan publik, seperti membuat kartu identitas atau layanan kesehatan. Ada pemisah nyata antara negara dan agama, sehingga ia tak bisa kita pahami dengan konteks keagamaan dogmatis.

Maka ketika Bapak Menteri Agama Lukman Saifuddin mengatakan bahwa Indonesia tak akan pernah melegalkan pernikahan sejenis, ia 100% benar. Saya mendukung hal ini. Bukan karena menegasikan hak kelompok LGBT, namun sesederhana karena negara ini belum siap menerima kebijakan sekuler ekstrem semacam itu.

Tapi jangan khawatir, di Indonesia Anda bisa menikahi gadis berusia 16 tahun, dijamin konstitusi, bahkan akan dilindungi oleh pihak keamanan. Bahkan menikahi peri pun bisa. 

Sampai di sini baiknya kita mengambil jeda. Saya percaya homoseksualitas, seperti juga heteroseksualitas, adalah hak individu. Seseorang berhak menjadi apapun yang ia percayai, termasuk menjadi gay, dan ia bukanlah penyakit mental seperti pedofilia. Gay adalah ekspresi gender yang semestinya tidak dinistakan.

Setidaknya menurut penelitian yang dilakukan oleh American Psychiatric Association, homoseksualitas bukan lagi kelainan mental sejak 1973. Hal serupa juga pernah disampaikan oleh Sigmund Freud yang mengatakan bahwa homoseksualitas bukanlah sesuatu yang perlu disayangkan.

Pendukung pernikahan sesama jenis di Manila, Filipina. Foto oleh George Moya/Rappler

Anda juga tidak harus mendukung pernikahan sesama jenis. Namun saya menawarkan sebuah pemikiran, bahwa menolak tidak harus membenci, dan tidak sepakat pada pilihan orientasi seksual seseorang tidak harus menyakiti.

Sekian banyak alasan untuk menolak pernikahan sesama jenis ini, melulu bersandar pada dasar teologi. Tentu saya sepakat. Namun jika kita bisa sedikit saja berpikir untuk meletakkan keyakinan hanya untuk diri kita sendiri, maka argumen-argumen tersebut sebenarnya konyol. Beberapa di antaranya, tidak hanya konyol, namun terlalu menggelikan untuk ditanggapi.

Seseorang mengatakan kepada saya bahwa pernikahan sesama jenis akan membuat sebuah bangsa punah, karena tidak ada reproduksi. Ini bisa terjadi, dengan asumsi, bahwa tiap-tiap warga negara yang ada menjadi gay dan tidak ada reproduksi.

Faktanya Belanda sebagai negara pertama yang melegalkan kebijakan ini, tingkat kelahirannya lebih tinggi daripada Jepang, Singapura, Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan yang tidak melegalkan perkawinan sesama jenis.

Pernikahan sesama jenis tidak natural, tentu, jika Anda dan saya sepakat bahwa kebencian tanpa alasan juga tidak natural. Berapa banyak teman gay yang Anda miliki? Apakah sebelum membenci Anda sudah memahami apa yang Anda benci?

Lantas apakah natural dan tidak natural? Jika natural adalah dua lelaki saling membunuh ketimbang dua lelaki saling menyayangi, well, saya dan Anda memiliki prioritas berbeda tentang merayakan hidup.

Dalam sebuah diskusi singkat dengan seorang kawan yang menempuh studi agama dengan serius, maksudnya santri yang memiliki pemahaman Bahasa Arab mumpuni, membaca banyak kitab dan pemikiran yang progresif, saya bertanya, apa yang membuat homoseksualitas dosa.

Ia dengan mantap mengatakan perzinahan, praktik seksualitas seperti sodomi itulah yang membuat mereka berdosa.

Lantas jika dua orang gay bersama tanpa melakukan hubungan seks bagaimana? Ada sebuah buku yang mencoba menjawab itu. Homoerotika menjadi kajian penting dalam buku Scott Siraj al-Haqq Kuggle Homosexuality in Islam (2010). Ia mengatakan bahwa praktik homoerotika, bukan sodomi tentu saja, adalah sebuah bentuk lain kasih sayang.

Maka ia berargumen jika homoseksualitas dilakukan tanpa adanya persenggamaan semestinya bisa ditoleransi. Tapi, saya menolak, bisakah mencintai tanpa seks? Saya gak bisa.

Anda tidak harus mendukung pernikahan sesama jenis. Lebih dari itu, Anda berhak bersikap bahwa praktik LGBT adalah sebuah penyimpangan, perlawanan terhadap Tuhan, sesuatu yang hina, salah dan tidak alami. Itu adalah hak Anda, saya menghormatinya, bahkan mungkin kita ada dalam satu barisan.

Namun jika kemudian dengan sikap itu Anda melakukan tindakan kekerasan, membenci tanpa alasan, lantas memusuhi dengan tendensi melenyapkan kelompok ini, maka Anda adalah seorang bigot yang mencemari oksigen dari peradaban yang maju.

Akhirnya seperti yang saya kemukakan di awal, saya percaya homoseksualitas adalah dosa. Sebagai muslim, saya menolak membenarkan praktik ini, namun sebagai manusia, saya percaya bahwa dua orang yang saling jatuh cinta semestinya tidak boleh dipisahkan.

Entah karena berbeda agama atau karena sama jenis kelamin. Mencintai, jatuh cinta dan jadi bodoh bersama-sama adalah kebahagiaan yang selayaknya dirasakan tiap orang. Apapun agama dan orientasi seksnya.—Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!