
JAKARTA, Indonesia—Polemik pasal “penghinaan presiden dan wakil presiden” dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terus berlanjut.
Kali ini, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara lewat akun twitternya @SBYudhoyono. Menurut SBY, kebebasan berpendapat memang dijamin oleh demokrasi, tapi bukan berarti orang dengan bebas menghina.
(BACA: Pasal penghinaan presiden boleh ada, asal delik aduan)
“Menanggapi apa yang sedang diperdebatkan masyarakat, penghinaan terhadap presiden, izinkan saya menyampaikan pandangan saya,” kata SBY.
“Prinsipnya, janganlah kita suka berkata dan bertindak melampaui batas. Hak dan kebebasan ada batasnya. Kekuasaan juga ada batasnya. Di satu sisi, perkataan dan tindakan menghina, mencemarkan nama baik dan apalagi memfitnah orang lain, termasuk kepada presiden, itu tidak baik.”
Penggunaan hak & kebebasan, tmsk menghina orang lain, ada pembatasannya. Pahami Universal Declaration of Human Rights & UUD 1945. *SBY*
— S. B. Yudhoyono (@SBYudhoyono) August 9, 2015
Dlm demokrasi memang kita bebas bicara & lakukan kritik, tmsk kpd Presiden, tapi tak harus dgn menghina & cemarkan nama baiknya. *SBY*
— S. B. Yudhoyono (@SBYudhoyono) August 9, 2015
Yudhoyono menceritakan pengalaman dia sendiri ketika menghadapi penghinaan dan pencemaran nama baik.
“Foto resmi Presiden dibakar, diinjak-injak, mengarak kerbau yang pantatnya ditulisi ‘SBY’ dan kata-kata kasar penuh hinaan di media dan ruang publik.”
SBY mengatakan kalau dia menggunakan haknya untuk mengadukan mereka ke polisi dengan delik aduan, mungkin ratusan orang sudah diperiksa dan dijadikan tersangka.
“Barangkali saya juga justru tidak bisa bekerja, karena sibuk mengadu ke polisi. Konsentrasi saya akan terpecah,” katanya.
“Andai itu terjadi, mungkin rakyat tidak berani kritik, bicara keras. Takut dipidanakan, dijadikan tersangka. Saya jadi tidak tahu apa pendapat rakyat.”
Kalau pemimpin tak tahu perasaan & pendapat rakyat, apalagi media juga diam & tak bersuara, saya malah takut jadi “bom waktu”. *SBY*
— S. B. Yudhoyono (@SBYudhoyono) August 9, 2015
Dia menilai apa yang dialaminya, penghinaan maupun pencemaran nama baik, tersebut tidak dialami oleh Jokowi, baik dalam bentuk unjuk rasa yang disertai penghinaan terhadap presiden maupun berita yang menurutnya “kasar” di media.
Ini pertanda baik. Perlakuan “negatif” berlebihan kpd saya dulu tak perlu dilakukan kpd Pak Jokowi. Biar beliau bisa bekerja dgn baik. *SBY*
— S. B. Yudhoyono (@SBYudhoyono) August 9, 2015
Dalam situasi yang menurutnya lebih baik tersebut, Yudhoyono mengingatkan Jokowi agar tidak menggunakan kekuasaan dengan berlebihan, dengan memperkarakan orang yang dinilai menghina.
“Sebaliknya, pemegang kekuasaan jangan obral dan salah gunakan kekuasaan. Kita sepakat, negara dan penguasa tak represif dan main tangkap,” kata SBY. “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan tidak untuk “menciduki” dan menindas yang menentang penguasa.”
Para pemegang kekuasaan (power holders) tak boleh salah gunakan kekuasaannya. Presiden, parlemen, penegak hukum, pers & juga rakyat. *SBY*
— S. B. Yudhoyono (@SBYudhoyono) August 9, 2015
Kesimpulan: demokrasi & kebebasan penting, namun jangan lampaui batas. Demokrasi juga perlu tertib, tapi negara tak perlu represif. *SBY*
— S. B. Yudhoyono (@SBYudhoyono) August 9, 2015
— Rappler.com
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.