Dirut Freeport: Kami tak mau terlibat polemik

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dirut Freeport: Kami tak mau terlibat polemik
Ada 6 isu strategis dalam amandemen kontrak karya. Kuncinya di isu ke-6. Apa saja?

JAKARTA, Indonesia — Manajemen PT Freeport Indonesia mengakui hubungan perusahaan dengan pemerintah Indonesia memasuki babak baru setelah terjadi pertemuan antara Ketua Dewan Direksi Freeport McMoran James R. Moffett dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang berkaitan dengan kepastian kelanjutan operasional perusahaan tambang asal AS itu.  

“Kini semua jelas. Satu pintu. Dan kami sebagai investor fokus mengerjakan lima hal terkait isu strategis Freeport Indonesia,” kata Direktur Utama Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, Minggu malam, 18 Oktober 2015.  

Isu keenam, kata Maroef, menentukan lima isu lainnya, karena menyangkut nasib investasi Freeport di Indonesia.

Ada enam isu strategis terkait proses negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan PT FI.  

Pertama, soal luas wilayah. Dalam bentuk rencana, menciutkan wilayah dari 212.950 hektar menjadi 90,360 hektar (58% dari total wilayah dikembalikan ke negara).

Kedua, pengutamaan penggunaan tenaga kerja, barang, dan jasa dalam negeri.  

Maroef mengatakan tingkat penggunaan barang dalam negeri dalam operasi Freeport Indonesia sudah mencapai 71%, sedangkan jasa mencapai 90%.  

“Saya mengartikan bahwa penggunaan konten lokal bukan hanya soal barang dan jasa, juga sumber daya manusia,” kata Maroef.  

Saat ini dari sekitar 30 ribu karyawan Freeport, lebih dari 97% adalah orang Indonesia. Dari 12,036 karyawan tetap,  34,68% orang asli Papua. Ada 50 warga asli Papua yang duduk di level manajer senior, 6 di posisi vice president.

Ketiga, pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. PT FI melakukan ekspansi kegiatan pemurnian dengan membangun smelter di Jawa Timur (bekerjasama dengan PT Petrokimia Gresik) dan membangun di Papua.

Keempat, divestasi. Freeport dan pemerintah sepakat dengan mekanisme yang akan ditentukan kemudian.  

Dalam pertemuan dengan forum pemimpin redaksi pada 12 Oktober 2015, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral  Sudirman Said mengatakan tengah membahas bentuk-bentuk divestasi, apakah menyerahkan ke pemerintah melalui kerjasama dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau initial public offering (IPO) alias penawaran saham perdana. 

Kewajiban divestasi bagi pemegang kontrak karya (KK) diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 77 tahun 2014 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Merujuk PP tersebut, Freeport harus melakukan divestasi sebesar 30%.

Sudirman mengatakan, pelepasan saham Freeport rencananya dilakukan secara bertahap. Tahun ini Freeport akan  melepas saham pada tahun ini sebesar 10,64%.  Kepemilikan pemerintah Indonesia di Freeport saat ini adalah 9,36%. Sejauh ini pemerintah belum mengalokasikan anggaran untuk membeli saham Freeport.

Kelima, isu penerimaan negara yang saat ini tengah dalam pembahasan dengan Kementerian Keuangan. Setoran yang diberikan Freeport kepada negara selama ini meliputi royalti, dividen, pajak, dan pungutan lainnya berupa bea, iuran tetap, PPh badan, PPN, PBB, pajak karyawan, bea masuk, serta pajak dan distribusi daerah. 

Freeport membayar PPh badan sebesar 35% dari penghasilan atau di atas tarif yang ditetapkan Undang-Undang PPh sebesar 25%.  

Freeport memang meminta keringanan pajak keistimewaan berupa tarif tetap pajak penghasilan (PPh) badan, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB), serta besaran penerimaan negara bukan pajak.

Soal royalti, menurut Kontrak Karya yang berlaku, Freeport membayar 3,5% untuk tembaga dan 1% masing-masing untuk emas dan perak. Namun demikian, dalam format baru berupa izin Usaha Penambangan Khusus, Freeport membayar royalti 4% untuk tembaga dan 3,75% untuk emas, serta 3,25% untuk perak.

Keenam, status hukum kelanjutan operasi pertambangan yang harus dicari solusinya. Ini yang kemudian dirumuskan dalam jawaban pemerintah terhadap Freeport yang disampaikan pada 7 Oktober 2015, berupa kepastian kelanjutan operasional Freeport sampai kontrak selesai 2021, dan komitmen investasi 18 miliar dolar AS. Kronologi negosiasi Freeport bisa dibaca di sini.

“Jika yang keenam belum ada kepastian, maka sulit bagi kami sebagai investor untuk membahas aspek kesatu sampai keenam,” kata Maroef.  

Dia mengibaratkan posisi perusahaannya seperti dalam ruang gawat darurat sebelum ada jawaban dari pemerintah.  “Makanya, kami fokus pada apa yang jadi kepedulian investor, dan tidak mau ikut dalam polemik di pemerintah,” katanya.

Polemik yang dimaksud adalah kritik Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli yang sempat menyangka bahwa pemerintah telah memperpanjang kontrak karya Freeport sampai 2041, sebagaimana keinginan Freeport Indonesia.

Rizal juga menyoroti aspek lingkungan hidup terkait pembuangan limbah Freeport ke Sungai Amungme. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pernah mengakui sudah lama tidak dilakukan audit lingkungan terhadap Freeport.  

“Kita pernah audit lingkungan Freeport tahun 1990. Setelah itu tidak lagi memakai istilah audit lingkungan tetapi pengawasan tahunan. Pemeriksaan ke lapangan terus dilakukan. Tahun 2011 pengawasannya terhenti,” kata Siti Nurubaya beberapa waktu lalu, seperti dikutip laman mongabay.com.

Siti mengatakan, alasan pemberhentian pengawasan tahunan terhadap Freeport Indonesia karena faktor keamanan.

“Hingga saat ini audit lingkungan maupun pengawasan tahunan terhadap Freeport tidak pernah lagi. Orang dari Kementerian LHK (dulu Kementerian Lingkungan Hidup) tidak ada lagi yang berani ke sana,” kata Siti. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!