INCB: Perang terhadap narkotika jangan membabi-buta

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

INCB: Perang terhadap narkotika jangan membabi-buta

ANTARA FOTO

Zat psikotropika yang dibutuhkan oleh dunia medis harus tetap ada.

Barang bukti alat hisap narkoba dihadapkan bersama para tersangka pemakai narkoba di Makodam I/Bukit Barisan, di Medan, Sumatera Utara, Sabtu, 20 Februari 2016. Foto oleh Irsan Mulyadi/ANTARA

JAKARTA, Indonesia – Badan Pengawas Narkotika Internasional (INCB) pada Kamis, 3 Maret, mengeluarkan laporan tahunan mengenai penggunaan narkotika secara global. Berdasarkan hasil konvensi mengenai narkotika tahun 1961, pengawasan terhadap narkoba internasional tidak memandatkan perang yang begitu membabi buta terhadap narkoba.

Wakil Presiden INCB Sri Suryawati mengatakan jenis narkotika dan psikotropika tertentu dibutuhkan untuk kepentingan medis dan konvensi 1961 menjamin ketersediaan mereka. 

“Jangan sampai karena ada perang mati-matian untuk memerangi psikotropika yang ilegal, justru yang legalnya malah tidak tersedia di pasaran. Hal tersebut menyebabkan kondisi pasien yang membutuhkan psikotropika tersebut semakin memburuk,” ujar Sri ketika ditemui Rappler di Jakarta pada Kamis, 3 Maret.

Dia menjelaskan, perang melawan narkoba harus dipilah-pilah. Jenis psikotropika yang dibutuhkan untuk medis harus tetap tersedia, sementara yang tidak maka keberadaannya dibatasi.

Salah satu jenis psikotropika yang dibutuhkan dalam dunia medis adalah morfin sebagai obat penenang. Namun, di lain pihak morfin tersebut juga kerap disalahgunakan oleh sebagian orang sehingga menyebabkan ketergantungan.

Contoh psikotropika lainnya yang dibutuhkan pasien adalah opioid analgesics.

“Tingkat penggunaan analgesics di Indonesia masih rendah untuk kepentingan medis. Sementara, psikotropika itu dibutuhkan untuk menghilangkan rasa sakit sedang hingga parah. Bayangkan kalau ada pasien kanker stadium lanjut yang membutuhkan. Sementara, di farmasi pasokannya sulit, dokter pun tidak tahu harus memberikan resep apa,” papar Sri.

Dia tetap mendukung pemberantasan narkoba dan psikotropika yang sifatnya ilegal. Namun, jangan sampai jenis psikotropika yang dibutuhkan dunia medis malah ikut diberantas.

Ancaman sabu-sabu

Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh INCB tahun 2015, jenis narkoba yang masih menjadi ancaman terbesar di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara adalah tipe amfetamin tipe stimulan, khususnya sabu-sabu. INCB menyebut jumlah pangsa pasar yang tinggi dan adanya kebijakan pasar bebas di ASEAN dijadikan peluang bagi kelompok tertentu untuk menyelundupkan narkoba ke kawasan tersebut.

Berikut laporan INCB tahun 2015: 

Jenis narkoba lainnya yang juga banyak diperdagangankan adalah methamphetamine.

“Methamphetamine itu diselundupkan ke Asia Timur dan Asia Tenggara dari kawasan lain. Artinya, ada rute penyelundupan baru yang telah ditemukan penyelundup sehingga bisa menghubungkan pasar di area lain,” tulis INCB.

Methamphetamine diketahui berasal dari Afrika, Asia Barat dan negara Amerika. Berdasarkan laporan INCB, ada dua bentuk methamphetamine yang sering disita di negara di kawasan Asia Tenggara yakni tablet dan kristal.

“Methamphetamine bentuk tablet sering kali ditemukan di negara-negara sepanjang Sungai Mekhong. Sementara, yang berbentuk kristal penyebarannya lebih luas,” kata INCB.

Myanmar dianggap sebagai negara asal penyebaran methamphetamine jenis tablet. Berdasarkan informasi penyitaan narkoba itu di Thailand dan Tiongkok, methamphetamine diketahui diperdagangkan dari Myanmar. Pada tahun 2014, polisi berhasil menyita 113 juta Methamphetamine tablet. Sementara, 248 methamphetamine tablet disita di Singapura.

Tiongkok menurut laporan INCB merupakan asal dari methamphetamine kristal. Sebagian besar narkoba tersebut diproduksi di Provinsi Guangdong. Berdasarkan hasil penyitaan tahun 2013, lebih dari 80 persen diperoleh dari kota Shanwei dan Jieyang.

Indonesia pun tidak luput dari peredaran methamphetamine jenis kristal ini. Angka penangkapan pengedar narkoba jenis tersebut terus meningkat sejak tahun 2012.

Dijaga buaya

Lalu, bagaimana Pemerintah Indonesia menghadapi peredaran narkoba yang semakin meluas bahkan di kawasan Asia Tenggara? Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Budi Waseso pernah melontarkan ide agar terpidana mati kasus narkoba dipindahkan ke pulau terpencil dan dijaga oleh buaya. Tapi apa itu akan direalisasikan?

“Kenapa tidak. Ide ini sudah disampaikan di hadapan anggota DPR dan Presiden. Mereka menanggapi positif. Kalau ditanya mengapa harus dijaga buaya, karena hewan itu tidak bisa disuap dan diajak bernegosiasi,” ujar Direktur Kerjasama BNN, Ali Johardi di Jakarta pada Kamis, 3 Maret.

Dia menyebut ide itu dilontarkan BNN karena banyak terpidana yang sudah dibui namun masih tetap bisa mengendalikan peredaran narkoba dari dalam penjara.

Kebijakan lain yang diberlakukan Indonesia untuk menekan peredaran narkoba yakni dengan menghukum mati napi kasus tersebut. Sejauh ini Indonesia sudah mengeksekusi 14 napi. Masih ada 50 napi lain yang menunggu giliran.

Tetapi, apakah kebijakan itu berhasil menekan peredaran narkoba? Ali menyebut tidak ingin beropini soal hal tersebut.

“Pada dasarnya hukum positif di Indonesia masih mengadopsi hukuman mati. Para tersangka pun sudah diberikan haknya mulai dari berkonsultasi dengan pengacara hingga mengajukan banding sampai ke tingkat Mahkamah Agung,” papar Ali.

Dia meminta publik untuk tidak mempertimbangkan dari sisi pengedar, tetapi juga korban yang tewas akibat mengkonsumsi narkoba. – Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!