
PURWAKARTA, Indonesia — Ratusan orang memenuhi meja-meja di Sate Maranggi Haji Yetty, di Jalan Raya Cibungur, Purwakarta, Jumat siang, 25 Maret.
Melihat penuhnya sentra kuliner kebanggaan Purwakarta itu, agak pesimis bisa dilayani cepat. Padahal perut sudah lapar, udara panas, dan jalan dari Pintu Tol Pondok Gede Jakarta ke lokasi lumayan macet. Sekitar 4,5 jam menempuh jarak 75 kilometer baru tiba di lokasi.
Libur panjang di akhir pekan ini, karena tanggal merah perayaan Kenaikan Isa Almasih, menyebabkan arus lalu lintas dari Jakarta melalui Cikampek sangat padat. Sebagian yang mengambil jalan lama, mampir untuk menikmati Sate Maranggi di Cibungur.
Beruntung, ada satu meja yang ditinggalkan pengunjung yang usai santap siang. Saya dan keluarga duduk, dan memesan 50 tusuk sate kambing, 20 tusuk sate sapi, 10 tusuk sate ayam, satu asinan, semangkok sop kambing, dan tiga gelas es kelapa muda.
Penyaji menaruh beberapa bungkus nasi yang sudah dibungkus daun pisang dan empat gelas teh tawar hangat. Seporsi, isinya 10 tusuk, dengan harga Rp 40.000. Lima menit setelah pesanan dibawa penyaji, sate sudah siap di meja kami. Wow! Pelayanan cepat.
Jumlah penyaji cukup banyak, dan melayani semua gerai. Selain sate sebagai menu andalan, ada gerai karedok, gado-gado, sop dengkul sampai asinan.
Dulu kami sering makan di Sate Maranggi Cibungur ini jika pergi ke Bandung. Lokasinya luas, dikelilingi pepohonan Jati. Kini bangunan makin bagus, dilengkapi dengan toko cinderamata dan oleh-oleh. Mushola juga tersedia.
Saya lupa berapa lama tak ke lokasi. Makanya agak pangling melihat perkembangannya. Saya memang mengikuti dari media sosial bahwa pemerintah kabupaten giat mendorong promosi kuliner andalan ini.
Pakar periklanan Subiakto Priosoedarsono bahkan diminta pemerintah daerah untuk menjadi konsultan “branding” bagi usaha kecil dan menengah Sate Maranggi. Bahkan, saat Presiden Joko “Jokowi” Widodo ke Washington DC, AS, Oktober 2015, pakar kuliner William Wongso memasak menu Sate Maranggi untuk acara di sana.
Apa yang istimewa? Beberapa tahun lalu, seingat saya, ukuran dagingnya cukup besar. Kini mengecil, tapi saya memahami karena harga daging juga mahal. Sate Maranggi tak perlu bumbu kacang atau bumbu kecap cabe sebagaimana kebiasaan kita makan sate kambing.
Daging kambing, sapi, maupun ayam sudah dibumbui. Agak manis. Saya pernah membuat sate manis, saya bumbui dengan bawang merah, bawang putih, ketumbar, garam, gula merah, jahe dan kecap manis.
Apakah ini bumbunya? Terus-terang saya tidak cek. Sate Maranggi Cibungur melengkapi sajiannya dengan semacam sambal tomat. Irisan tomat dominan.
Pak Haji Deden, salah satu senior di Sate Maranggi Cibungur mengatakan bahwa pada hari libur, mereka menyiapkan satu ton daging. Ini dua kali lipat dibandingkan hari biasa.
“Kebanyakan memesan sate kambing. Tapi sate sapi dan sate ayam juga lumayan,” ujar Haji Deden, sambil membalik deretan sate yang tengah dibakar.
Melihat “dinamika” di dapur tempat menyiapkan makanan di resto ini, terutama ribuan tusuk daging sate, kita bisa membayangkan sukses sebuah usaha yang dimulai sejak 1985.
Nah, mumpung akhir pekan, mengapa Anda tidak mencoba ke kuliner ini? Kalau pas waktu berangkatnya, bisa terhindar dari macet, lho. Selain kelezatannya, nikmat menyantap sate ini karena suasananya. Siap-siap berkeringat. —Rappler.com
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.