ILO minta tak ada lagi pekerja anak di proses produksi

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

ILO minta tak ada lagi pekerja anak di proses produksi

EPA

Masih ada 2,3 juta pekerja anak di Indonesia. Bagaimana kisah mereka?

JAKARTA, Indonesia – Menjelang Hari Dunia Menentang Pekerja Anak yang jatuh pada 12 Juni 2016, International Labour Organization (ILO) Jakarta menggelar diskusi bertajuk “Penghapusan Pekerja Anak di Rantai Pasokan.” Di sini, mereka mendorong supaya tak ada satupun pekerja anak yang terlibat dalam proses produksi.

Menurut Direktur ILO Indonesia Francesco d’Ovidio mengatakan saat ini masih ada 168 juta buruh anak di seluruh dunia. “Ada risiko keterlibatan tangan anak-anak dalam siklus rantai pasokan industri di segala sektor,” kata dia di Jakarta pada Rabu, 8 Juni 2016.

Dalam era globalisasi sekarang ini, rantai pasokan tak lagi melibatkan satu negara saja. Ketika investasi masuk lewat perusahaan-perusahaan multinasional, bahan baku suatu barang bisa saja berasal dari negara lain, yang masih banyak pekerja anaknya.

Saat ini, sektor yang paling banyak memperkerjakan anak berusia 5-17 tahun adalah pertanian (59 persen), diikuti jasa (32,2 persen) dan industri (7 persen).

Lemahnya pengawasan

Dalam 10 tahun terakhir, angka pekerja anak sudah turun drastis. Namun, di Indonesia, jumlah pekerja anak masih ada 2,3 juta orang. Sebagian besar berlokasi di bagian timur. Menurut Francesco, tingginya angka ini disebabkan rendahnya pengawasan.

Pelaksana tugas Direktur Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak Kementerian Tenaga Kerja Laurend Sinaga mengakui lembaganya memang masih kurang dalam poin tersebut. “Ada keterbatasan tenaga kerja dan hal lainnya di beberapa daerah,” kata dia.

Belum lagi, anak-anak ini banyak yang bekerja di industri skala kecil hingga makin sulit mendeteksinya.

Faktor lain yang menyebabkan suburnya pekerja anak adalah kemudahan memalsukan dokumen identitas. Hanya dengan modal beberapa ratus ribu, seorang berusia 15 tahun bisa memiliki dokumen yang menunjukkan dirinya sudah lebih dari 18 tahun.

Hal ini diungkapkan Assesment and Remediaton Manager GAP Toni Wahid. Dari ribuan pelamar ke pabrik-pabriknya, sekitar 20-30 persen merupakan anak di bawah umur dengan identitas palsu.

Child labour is disgusting! Makanya kami melakukan verifikasi ganda untuk menghindari kekeliruan,” kata dia. Salah satunya adalah meminta bagian finance untuk menelusuri lebih detail tentang kebenaran data diri seseorang, sebelum dicatat HRD sebagai tenaga kerja.

Dari 93 pabrik GAP yang tersebar di Sukabumi, Jakarta, hingga Jawa Tengah, kasus semacam ini paling banyak terjadi di kota pertama. Karena itu, ia menjamin kalau semua pabrik pelaku industri fashion tersebut tak ada yang memperkerjakan anak-anak.

“Tapi kadang ada juga pabrik yang mengalihkan kerja ke pihak lain yang tidak diverifikasi GAP. Kalau begini ya susah,” kata dia.

Pekerjaan berbahaya

Sorotan lainnya adalah pekerja anak yang beroperasi di lokasi berbahaya. ILO menampilkan kisah Rahmat, seorang remaja tanggung yang belum genap berusia 17 tahun.

Semenjak lulus SD, ia selalu berada di atas kapal penangkap ikan yang mengarungi perairan Jermal, Sumatera Utara. Sejak matahari belum benar-benar muncul, pemuda berambut ikal ini sudah harus bersiap menarik tali kapal, menjemur ikan, dan lain-lain. Demi sepiring nasi dan ikan teri untuk mengganjal perut.

Tak jarang ia menghadapi bahaya. “Waktu itu kapal sempat tumbang. Saya dan kawan-kawan harus berpegangan pada tiang kapal di laut, sampai ada kapal penolong datang,” kata dia mengenang saat itu.

Belum lagi waktu istirahatnya yang sangat minim. “Aku belum puas tidur sudah harus bangun lagi dan kerja,” kata dia yang tak melanjutkan pendidikan lantaran masalah dana.

Ada juga Ema, yang putus sekolah saat SMP karena tak ada uang. Ia harus bekerja sejak pukul 5 pagi di pabrik garmen. Orang tuanya juga tak tampak melarang, bahkan ibunya sangat tegas mendorong dan membangunkan dia untuk bekerja.

Apakah Ema bahagia? “Aku jadi sakit-sakitan, karena alergi debu. Di tempat kerja banyak,” kata dia.

Uangnya sering habis untuk biaya berobat. Menurut tiga dokter yang didatanginya, Ema menderita bronchitis atau TBC. Gadis ini mengaku pasrah.

Belum lagi waktunya bersama keluarga. Ema sering pergi pagi buta dan pulang malam, dengan badan lelah. “Dulu aku sering curhat sama ibu, sekarang sudah enggak sempat lagi,” kata dia.

Pendampingan orang tua dan sanksi

Lantas, bagaimanakah solusi untuk membebaskan anak dari pekerjaan, dan membiarkan mereka menjalankan kewajiban utamanya: belajar?

Francesco mengatakan hukum tenaga kerja di Indonesia, UU nomor 13 tahun 2013 sudah cukup. “Tinggal bagaimana mengawasi semuanya, termasuk di pelosok,” kata dia.

Selain itu, perlu juga ada remediasi terhadap pekerja anak yang sudah dibebaskan. “Apakah mereka memang sepenuhnya belajar atau malah kembali kerja, itu yang harus diawasi,” kata dia.

Indonesia memang memiliki prestasi cukup baik di mata ILO terkait pemberantasan buruh anak. Sejak 2008, sudah ada 80.163 anak yang berhasil dibebaskan.

Untuk perkembangan lebih lanjut, Laurend mengatakan Kemenaker tak bisa bekerja sendiri. Urusan pembebasan dan pengawasan pekerja anak memang menjadi tugasnya. “Tapi kalau pendidikan, itu ditangani Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kami memang ada program bersama,” ujar dia.

Mereka juga akan berfokus pada pekerja anak di bidang berbahaya seperti perikanan, pertanian, dan tembakau. Kategori pekerjaan berbahaya sendiri adalah yang mengganggu pertumbuhan anak, serta membuat mereka tak mengikuti pendidikan.

Pendampingan orang tua juga menjadi faktor penting. Tak jarang anak dipaksa bekerja oleh mereka, seperti kasus Ema. Menurut Laurend, sudah ada 50 titik fasilitasi pendampingan orang tua yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Orang tua yang ketahuan memaksa anaknya bekerja juga bisa dijerat sanksi pidana hingga denda,” kata dia.

Pembenahan data juga menjadi faktor penting. Sebab, Kemenaker tak memiliki jumlah valid pekerja anak di Indonesia. “Masih banyak yang harus kami tata, jadi akan kami mulai dari yang paling fatal saja dulu,” kata dia.

Apapun alasannya, bekerja masih belum menjadi kewajiban anak-anak. Apalagi kalau sampai merenggut kebahagiaan masa kecil mereka.

-Rappler.com

 BACA JUGA: 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!