Aksi Kamisan dapat Rekor MURI

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mereka semua mengharapkan keadilan, sebelum kematian datang menjemput.

AKSI MENUNTUT KEADILAN. Inisiator Aksi Kamisan, Maria Catarina Sumarsih dan Suciwati Munir menunjukkan piagam penghargaan dari MURI untuk Aksi Kamisan, atas konsistensi selama 10 tahun. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

JAKARTA, Indonesia — Aksi diam di depan Istana Negara yang dikenal sebagai Aksi Kamisan akan mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Gerakan ini disebut sebagai aksi perjuangan membongkar fakta dan mencari keadilan yang tak pernah putus.

Salah satu koordinator Aksi Kamisan, Maria Catarina Sumarsih, mengatakan penghargaan akan diberikan pada peringatan 10 tahun yang berlangsung Kamis, 19 Januari 2017. “Piagam akan diberikan tepat saat aksi berlangsung,” kata dia di Jakarta pada Rabu, 18 Januari 2017.

Diawali pada Kamis, 18 Januari 2007, aksi ini sudah berlangsung sebanyak 476 kali; dan peringatan 10 tahun ditandai dengan yang ke-477. Para peserta yang didominasi keluarga korban hingga aktivis Hak Asasi Kemanusiaan (HAM) rutin berdiri membawa payung hitam di depan Istana Negara, untuk mengingatkan pemerintah kalau ada masalah kemanusiaan yang belum tuntas.

Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, aksi ini sudah berlangsung sebanyak 378 kali, dan sudah dilayangkan 339 pucuk surat. “Sebanyak 27 mendapat tanggapan dari Sekretariat Negara berupa surat tembusan,” kata Sumarsih.

Sementara pada masa pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, kegiatan sudah berlangsung 137 kali, dan 136 pucuk surat dilayangkan. Hingga saat ini, belum ada tanggapan apapun kendati Jokowi pernah menjanjikan penuntasan kasus HAM saat ia berkampanye.

Sumarsih sendiri memperjuangkan keadilan hukum atas kematian anaknya, Benardinus Realino Norma Irawan, yang tewas terkena peluru tajam saat peristiwa Semanggi I. Ia hanya satu dari segelintir orang yang terus-terusan mencari kebenaran.

AKSI KAMISAN. Peringatan 10 tahun Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta, pada Kamis, 19 Januari 2017. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

Saat ditemui pada Aksi Kamisan ke-477, ia tampak sumringah sembari membawa piagam yang baru saja diserahkan langsung oleh Pendiri MURI Jaya Suprana. Hari itu, hampir 100 orang turut hadir, tampak beberapa wajah aktivis HAM seperti Melanie Subono hingga Sandyawan Sumardi.

Meski demikian, masih belum tampak itikad baik pemerintah terhadap para pencari keadilan ini. Sumarsih mengatakan tak ada pihak istana yang akan hadir, sekedar menemui.

“Tidak kami undang juga, kok,” kata dia sambil tertawa.

Mengingatkan Jokowi

MENUNTUT KEADILAN. Foto eserta Aksi Kamisan berdiri diam di depan Istana Negara, mengingatkan pemerintah ada utang sejarah yang harus mereka lunasi. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

Sumarsih dan keluarga korban maupun peserta aksi lainnya hendak mengingatkan Jokowi soal janji kampanyenya. Harapan mereka sempat melambung, ketika perayaan hari HAM pada Desember 2015 lalu.

“Bapak Presiden menyatakan: untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, jalan keluarnya adalah keberanian dari semua pihak untuk membuat terobosan.’” kata Sumarsih meniru ucapan Jokowi saat itu. Jalan keluarnya, lanjut dia, adalah keberanian semua pihak untuk membuat terobosan.

Hingga saat ini, semua keluarga korban, ataupun korban yang masih hidup, menunggu bentuk keberanian dari Jokowi sendiri. Seperti misalkan, mengadili para penjahat HAM yang saat ini berada di sekelilingnya; ataupun menghapuskan kebijakan yang memberikan mereka impunitas.

Untuk peringatan ini, Sumarsih dan kawan-kawan mengajukan 5 rekomendasi untuk pemerintah:

1. Menggunakan UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM sebagai payung hukum dalam penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat di mana keberadaan dan fungsi UU ini telah diperkuat dengan putusan MK Nomor 8/PUU-V/2007 dan Nomor 75/PUU-VIII/2015.

2. Menginstruksikan kepada Jaksa Agung untuk membentuk tim penyidik ad hoc untuk menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM atas kasus Kerusuhan Mei 98, Trisakti-Semanggi I dan II, penghilangan paksa, Talangsari, dan pembantaian massal 1965 sebagaimana termuat dalam visi, misi, dan program aksi presiden dan wakil presiden. Untuk selanjutnya menerbitkan Keppres pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Trisakti, Semanggi I dan II, penghilangan paksa, dan kerusuhan Mei 1998 mengingat kasusnya belum terlalu lama.

3. Menugasi instansi terkait untuk mencari ke-13 orang yang dinyatakan telah hilang sesuai rekomendasi DPR periode 2004-2009

4. Merehabilitasi dan memberi kompensasi pada korban dan keluarga korban Tragedi Tanjung Priok sebagaimana kasus ini kuga tercantum dalam visi dan misi Jokowi dan JK pada 2014 lalu.

5. Mengajukan RUU perubahan UU Pengadilan Militer yang sering dipakai menghindarkan anggota TNI dan Polri dari pengadilan independen atau sipil.

Harapan mereka, tentu adanya jawaban dan jalan keluar pasti dari kasus-kasus pelanggaran HAM yang masih gelap. Pemerintah harus beraksi cepat, karena para korban maupun keluarga sudah mulai menua, sakit-sakitan, bahkan ada pula yang keburu meninggal.

“Padahal kasusnya masih belum tuntas,” kata Suciwati Munir, istri aktivis HAM Munir Said yang tewas diracun arsenik. Hingga saat inipun, dalang pembunuhan suaminya masih tak tersentuh.

Sebagian besar keluarga korban maupun korban yang hadir saat perayaan 10 tahun Aksi Kamisan sudah berusia tua. Tak sedikit yang kepalanya dihiasi rambut putih. Mereka semua mengharapkan keadilan, sebelum kematian datang menjemput.

“Pak Presiden perlu menemui mereka semua, yang beraksi di depan Istana Negara. Untuk tahu keadailan itu konsisten dan jelas,” kata Koordinator KontraS Haris Azhar.

Saat negara tidak bertanggung jawab, ada warga negara yang bertanggung jawab dan konsisten memperjuangkan keadilan.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!