Dua mahasiswa Unnes terancam dikeluarkan dari kampus

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dua mahasiswa Unnes terancam dikeluarkan dari kampus
Harist dan Julio melihat yang mempermasalahkan kritik mereka adalah pihak rektorat dan bukan Menristek

SEMARANG, Indonesia – Harist Achmad Mizaki menghela napas dalam-dalam saat masuk ke warung kopi belakang kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes), kawasan Sekaran Gunungpati, Selasa siang 1 Agustus. Raut wajahnya tampak lesu pasca mengetahui usai ia dan rekannya, Julio Belnanda Harianja, dilaporkan ke polisi oleh pihak rektorat.

Harist mengaku tidak habis pikir mengapa Rektor Unnes tega melakukan tindak kriminalisasi hanya karena mereka mengkritik kebijakan kampus. Ia kemudian mengisahkan kembali pangkal mula laporan pencemaran nama baik itu dibuat.

Semua diawali ketika rekan-rekan di BEM Unnes mendapat undangan untuk hadir di acara kampus yang menghadirkan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir di auditorium kampus pada Sabtu, 6 Juli.

“Presiden BEM dapat undangan. Kemudian kami mengumpulkan ide untuk menyambut Bapak Menteri. Ide-ide yang tertuang lalu tercetus gagasan untuk mengkritik kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di hadapan bapak menteri,” ujar mahasiswa jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik itu kepada Rappler pada Selasa kemarin.

Harist menilai kebijakan UKT tidak berpihak kepada mahasiswa. Bahkan, mahasiswa pun wajib membayar jika ingin ikut kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN).

“Nah semangat kami, untuk mencerdaskan khalayak umum. Maka tercetus (ide) membuat piagam yang menyindir Menristek. Harapannya, jadi kritik yang membangun,” kata dia.

Namun, saat acara penyerahan piagam berlangsung, tiba-tiba muncul reaksi keras dari pihak rektorat. Bahkan, Rektor Unnes, Faturahman, sempat terlibat adu mulut dengan dua mahasiswa tersebut sembari menghalangi penyerahan piagam kepada Menristek Nasir.

“Saat kejadian, Menristek bilang kepada kami bahwa di mananya kebijakan kampus yang dianggap mencederai. Lalu dijawab sama Adib (Presiden BEM) mengenai kondisi di Unnes. Bahwa, SPI berbayar, program KKN berbayar. Tetapi malah tidak ditanggapi (oleh Menristek) dan (piagam) dikembalikan lagi pada BEM,” kata Julio ikut berkomentar.

Mahasiswa jurusan Ilmu Hukum semester VIII itu melihat ekspresi wajah Menristek yang tidak ramah ketika terjadi penyerahan piagam. Padahal, menurut Julio, seharusnya Menristek jeli mengkaji kebijakan Unnes yang muncul lantaran disindir oleh mahasiswanya sendiri.

Pengembalian piagam itu ditanggapi santai oleh perwakilan BEM. Rekan-rekannya langsung mengevaluasi sedangkan Julio berinisiatif mengunggah gambar piagamnya di jejaring media sosial (medsos).

“Itu atas semangat untuk mengkritik sekaligus memberikan saran kepada kampus. Kita enggak mau melulu demo-demo lempar telur dan lumpur. Ini wujud aksi unjuk rasa kita lewat tulisan medsos,” kata dia.

Sayangnya, ojar Julio, kritik itu bukannya direspons positif oleh pihak kampus. Koordinator satpam justru melaporkan kedua mahasiswa itu atas perintah rektorat ke Polrestabes Semarang.

Padahal, kritik seperti yang tertuang di piagam itu menjadi bentuk kepedulian dan rasa sayangnya kepada pihak kampus. Ia mengaku memang berniat memberi kenang-kenangan berupa kritikan membangun kepada Menristek.

Julio menganggap Menristek cukup dewasa karena menanggapi kritik itu, tidak dengan cara emosi. Oleh sebab itu, mereka mempertanyakan sikap defensif rektorat. Justru dengan mempidanakan kedua mahasiswanya sendiri, nama baik Unnes di mata publik menjadi buruk.

“Beliau (Menristek) enggak mempermasalahkan malahan. Yang jadi tanda tanya kenapa rektor dan satpam berlaku seperti itu. Pihak Universitas seharusnya malu atas kasus ini,” kata Julio.

Ia mengatakan ini merupakan tindak kriminalisasi pertama yang terjadi di Unnes. Oleh sebab itu, mereka bertekad akan mematuhi proses hukum yang berlaku.

“Saya dan kawan-kawan akan menemani Julio hadir di Polrestabes Rabu pagi,” kata Harist.

Julio mengaku tak gentar dengan ancaman hukum yang disampaikan oleh Rektor Unnes. Ia tegas mengatakan dirinya tidak bersalah.

“Kalau benar kenapa harus takut. Pak rektor malah kesannya tidak ksatria dan arogan sebab menyuruh orang lain melapor ke polisi,” tutur dia.

Pasca kejadian itu mencuat di publik, Julio dan Haris mengaku tidak pernah dipanggil oleh pihak rektorat. Mereka justru menuding rektorat telah menyebarkan berita bohong dengan mengumbar pernyataan di media bila telah memanggil keduanya.

Lambat merespon

PIAGAM. Piagam yang semula akan diserahkan BEM Unnes kepada Menristek Mohamad Nasir pada tanggal 6 Juli, namun dicegah oleh pihak kampus. Foto oleh Fariz Fardianto/Rappler

Sementara, kuasa hukum terlapor dari LBH Semarang, Samuel Rajagukguk, akan mendampingi kasus tersebut hingga dua mahasiswa itu lolos dari jerat hukum. Ia menilai kriminalisasi yang menjerat kliennya jadi bukti adanya kemunduran demokrasi serta pengekangan kebebasan berekspresi di lingkungan kampus.

Ia sangat menyayangkan sikap Menristek yang cenderung apatis melihat kasus itu. Oleh sebab itu, mereka mendorong Menristek melakukan intervensi, agar kedua kliennya bisa bebas.

“Inilah bukti pola-pola rezim Orba yang diterapkan lagi pada era pemerintahan Presiden Jokowi. Apalagi Menristek telat meresponnya. Dia kan punya kapasitas, jika dia diam saja maka ini jadi pembiaran sehingga kasusnya berlarut-larut. Julio itu sering diancam sama kampusnya sendiri loh,” kata Samuel.

Ia menyoroti adanya pelanggaran HAM dalam kasus kriminalisasi terhadap dua mahasiswa Unnes. Yang pasti, kata Samuel, kampus telah membatasi gerak kebebasan mahasiswa yang selama ini dianggap vokal.

“Kami berusaha sekuat tenaga biar Julio dan Harist jangan sampai terkena pidana,” katanya.

Kasus pecemaran nama baik dan UU ITE ternyata tak cuma terjadi sekali saja. Samuel menemukan tujuh kasus serupa dengan pola yang sama. Beberapa di antaranya muncul di Jateng.

“Aktornya dijerat pidana setelah menyampaikan pendapatnya di medsos dengan ragam tulisan. Pemerintah tidak pernah hadir dalam ruang untuk meredam konflik tersebut,” kata dia.

Dihantui skors dan DO

Di lain pihak, Unnes mengancam akan menjatuhkan sanksi bagi kedua Harist dan Julio karena dianggap melakukan tindak pencemaran nama baik terhadap Menristek. Kepala UPT Pusat Hubungan Masyarakat Unnes, Hendi Pratama menyatakan ada empat sanksi berat atas kasus yang menimpa mahasiswanya.

“Sanksi pertama kami bisa saja membatalkan sidang tugas akhirnya, bila yang bersangkutan sudah membuat skripsi,” ujar Hendi.

Sanski kedua, skorsing perkuliahan selama dua semester. Sanksi ketiga, drop out dengan keterangan pernah kuliah dan sanksi terakhir, drop out tanpa ada keterangan pernah menuntut ilmu di Unnes.

“Itu baru opsi-opsi bagi hukuman akademik mereka,” katanya.

Namun, sejauh ini, Harist dan Julio masih diizinkan kuliah. Keduanya masih aktif mengikuti pelajaran di semester VIII.

“Mereka masih kuliah sambil proses hukumnya tetap berjalan,” kata dia.

Pihak kampus mengklaim telah berulang kali memanggil dua mahasiswanya. Tetapi, justru mereka sering berhalangan hadir.

“Sudah tujuh kali kami panggil mereka, tetapi keduanya kadang hadir, kadang memilih mangkir. Kalau pun hadir yang bersangkutan seolah tidak merespon sikap kami. Ya mereka merasa itu bukan kewajibannya,” kata Hendi.

Ia mengaku pemanggilan juga dilakukan pihak dekanat maupun komite sidang etik kampus. Dalam sidang etik ditemukan pelanggaran akademik yang dilakukan mahasiswanya.

“Sudah sering mereka melanggar aturan akademik. Ini adalah puncak atas ulah mereka. Kami juga mendapati mereka tidak mengerjakan skripsi namun memilih melakukan hal-hal tidak berguna seperti itu,” katanya lagi. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!