Komitmen Jokowi untuk HAM kembali dipertanyakan

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Komitmen Jokowi untuk HAM kembali dipertanyakan
Aparat membubarkan acara sosialisasi hasil putusan panel hakim International People's Tribunal 1965

JAKARTA, Indonesia – Komitmen Presiden Joko “Jokowi” Widodo menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kembali dipertanyakan. Pada Selasa, 1 Agustus 2017 lalu, aparat membubarkan acara sosialisasi hasil putusan panel hakim International People’s Tribunal 1965 (IPT 65) di Jakarta Timur.

Menurut panitia lokakarya yang juga terlibat dalam proses sidang IPT 65, beberapa jam sebelum acara dimulai Kasat Intel Polres Jakarta Timur, aparat Koramil, serta Lurah Jakarta Timur meminta bertemu. “Katanya dapat aduan dari warga setempat dan acara ini tidak ada izinnya,” kata Koordinator Lokakarya Dianto Bachriadi saat memberikan keterangan pers di Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu, 2 Juli 2017.

Panitia lantas bingung karena lokakarya tersebut bersifat tertutup dan tidak dipublikasikan. Peserta yang hadir pun hanya berjumlah kurang lebih 30 orang dan merupakan penyintas ataupun korban peristiwa 1965 dari berbagai kota. Kegiatan tersebut memang bertujuan untuk memberitahukan perkembangan upaya menyelesaikan kejahatan HAM 1965-66, dan panitia secara khusus menyewa sebuah wisma di kawasan Klender, Jakarta Timur.

Mereka kemudian meminta aparat untuk mempertemukan dengan warga pelapor, namun ditolak dengan dalih ‘panitia tidak perlu tahu’. Lebih lanjut, Kasat Intel menegaskan kalau kegiatan apapun yang berlangsung di area tersebut harus berizin Kepolisian.

Padahal, bila merujuk pada Juklap Kapolri No. Pol / 02 / XII / 95 tentang perizinan dan pemberitahuan kegiatan masyarakat, pertemuan tersebut tidak membutuhkan izin. Peserta lokakarya tidak berjumlah 300-500 orang, tidak akan menggunakan kembang api, apalagi menggelar panggung musik atau ketoprak.

“Dia (polisi) pakai dasar ‘pokoknya, pokoknya,’ begitu,” kata Dianto. Peserta yang hadir pun merasa tertekan karena polisi sempat menginterogasi terkait rincian kegiatan dan meminta surat undangan kegiatan.

Salah satu panitia penyelenggara, Reza Muharam, menghitung kira-kira ada 15 anggota aparat berpakaian preman yang berada di lokasi. Tak hanya peserta, penyedia lokasi juga merasa terintimidasi karena kedatangan aparat ini.

Melihat kondisi tersebut, panitia memutuskan untuk pindah lokasi ke kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Mereka kemudian menpertanyakan sikap pemerintah yang masih terkesan takut dengan komunis.

“Selalu dihembuskan isu ada upaya membangkitkan kembali partai komunis tanpa ada bukti yang jelas. Padahal ini adalah upaya rehabilitasi korban,” kata Dianto.

Dampak panjang 

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyayangkan peristiwa ini. Menurut dia, setelah Simposium 65 yang diinisiasi pemerintah pada tahun lalu, seharusnya tidak ada lagi pembubaran diskusi, rapat, apalagi pertemuan.

“Ini kan menjadi kemunduran,” kata dia. Lembaganya sudah menyoroti isu pelarangan ini apalagi setelah terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas yang dianggap masalah baru dalam kebebasan berekspresi.

Awalnya, pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo terlihat memiliki niatan baik untuk menuntaskan masalah HAM lewat simposium. Namun setelah pergantian Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) yang menjadi sorotan pegiat HAM, komitmennya mulai dipertanyakan. “Apalagi dalam setahun ini setelah Wiranto menjabat progres penyelesaian kasus HAM juga mandek,” kata Reza.

Meski demikian, penyelenggara IPT 65 maupun Usman masih menaruh harapan pada Jokowi. Terutama setelah ia menuliskan lewat Twitter kalau ‘penanganan kasus-kasus korupsi, penganiayaan, pelanggaran HAM, dll yg belum selesai, harus dipercepat demi rasa keadilan masyarakat.’

“Kalau dirujuk lewat medsos berarti komitmen tersebut masih ingin diperlihatkan. Harusnya komitmen di bawah juga diperlihatkan. Tindakan pembubaran kemarin bukti aparat di tingkat bawah melawan keinginan atau komitmen presiden sendiri,” kata Usman. Ia pun berharap pelarangan kegiatan diskusi dapat berhenti setelah ini.

Dalam catatan SAFENet, sejak 2015 hingga Mei 2017 tercatat 61 kasus pelarangan dan pembubaran paksa kegiatan; di mana 80 persennya dengan alasan ‘karena berkaitan dengan korban atau penyintas 1965-66 maupun kebangkitan komunisme.’ Tak hanya kegiatan dalam negeri, pada 19 Juli kemarin pun acara peluncuran buku putusan hakim IPT 1965 di Bangkok, Thailand, juga dibatalkan karena ada permintaan dari KBRI Bangkok. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!