Mengajak Eva bermain: Gadis kecil Rohingya yang kini sebatang kara

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengajak Eva bermain: Gadis kecil Rohingya yang kini sebatang kara
Anak perempuan 9 tahun itu masih mengalami trauma. Tim Medis Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengadakan trauma healing untuk pulihkan kondisi psikologis anak-anak Rohingya

JAKARTA, Indonesia — Trauma masih terlihat jelas di wajah Eva, seorang anak perempuan Rohingya berusia 9 tahun. Ketika ditemui di kamp pengungsian Balukhali, Cox’s Bazar, sebuah kota pelabuhan di Bangladesh, Eva lebih banyak diam. Tatapannya kosong.

Gadis kecil ini nampak belum mengerti mengapa kejadian ini menimpa dirinya.

Dalam penyerbuan oleh tentara Myanmar di negara bagian Rakhine, Eva harus kehilangan ayah, ibu, dan empat adiknya sekaligus.  Saat itu, tentara melarang penghuni rumah ke luar, kemudian menembaki rumah yang ada dan membakarnya. 

Eva yang ketakutan lari ke hutan dan bertemu dengan pengungsi lainnya, hingga akhirnya berhasil tiba di kamp pengungsian di Bangladesh. Sayang, seluruh anggota keluarganya tidak bisa berkumpul bersamanya lagi.

“Setiap anak mungkin akan melakukan hal yang sama seperti Eva jika mereka berada di posisi yang serupa,” kata dr Rizal dari Tim Medis Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kamp Balukhali melalui siaran pers yang diterima Rappler.

Setiap malam Eva masih kerap menangis mencari dan memanggil ayah-ibunya. Ia juga kerap menolak makanan yang diberikan kepadanya. 

Dr Rizal mengungkapkan, Eva selalu mencari sang ibu saat malam tiba. Layaknya anak kecil yang masih butuh belaian sang ibu, Eva begitu merindukan keluarganya, hingga terkadang lupa mereka telah pergi dan masih mencarinya. 

Kini Eva sebatang kara, hanya Tusmina, seorang perempuan satu kampung yang kini menemaninya di kamp pengungsian. 

Tusmina, yang membawa Eva ke kamp pengungsi mengatakan, Eva masih belum bisa melupakan tragedi yang membuatnya jadi yatim-piatu. 

“Eva lolos dari maut karena saat tentara myanmar datang ke kampungnya, ia tengah berada di luar rumah,” ujar Tusmina. 

Di kamp pengungsi yang beralaskan tanah, berdinding plastik, Eva adalah satu dari ratusan ribu anak-anak Rohingya lainnya yang harus kehilangan orangtua dan sanak saudara. 

Pada Minggu, 15 Oktober, lalu, Tim Medis ACT di Kamp Balukhali mengadakan “Hari Anak-Anak” bagi para yatim piatu di sana.

Selain memberikan pelayanan kesehatan bagi para pengungsi Rohingya, Tim Medis ACT juga memberikan perhatian khusus bagi anak-anak pengungsi di sana. Mereka menggelar kegiatan trauma healing untuk memulihkan kondisi psikologis anak-anak. 

Membawa Eva berkumpul bersama anak-anak lainnya diharapkan bisa membantu pemulihan trauma bagi Eva. 

Minggu itu ada permainan Ram Tam Tam yang menunggu anak-anak tersebut. Tim Medis ACT lantas mengajak mereka membuat suatu lingkaran. Berada di dalam lingkaran itu, mereka lalu mulai menyanyikan lagu Ram Tam Tam sembari memperagakan gerakan tarian. 

“Ram tam tam, guli..guli..guli,” teriak anak-anak Rohingya serempak. 

Tawa renyah mereka menyelingi kegiatan permainan tersebut. Bayangan horor kematian orangtua dan sanak saudara di kampung halaman mungkin terlupakan untuk sejenak. Masih banyak yatim piatu Rohingya yang kini berada di Bangladesh. 

Seperti Eva, tak jarang dari mereka yang menghabiskan setiap harinya dalam lamunan. Meringkuk di tenda pengungsian, memutar ulang kejadian nahas yang menimpa kedua orang tua serta sanak saudara mereka. 

Jika Anda ingin membantu derita etnis Rohingya yang tengah mengalami krisis kemanusiaan, Anda dapat memberikan donasi melalui laman kitabisa.com atau meng-klik tombol donasi di bawah ini. 

—Rappler

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!