Indonesia

Sosok Munir dalam ingatan seorang gadis

Karolyn Sohaga

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sosok Munir dalam ingatan seorang gadis
Kekerasan, ketidakadilan, keserakahan, dan kebencian adalah musuh utama Munir dalam perjuangannya

Usiaku belum genap empat belas tahun ketika pada satu hari yang samar, aku menonton kilasan berita di televisi, seorang aktivis kemanusiaan Indonesia telah meninggal.

Namanya Munir Said Thalib, lebih sering dipanggil Munir.

Aku tidak mengenal Munir, pun hal-hal hebat yang ia lakukan untuk memperjuangkan hak-hak kemanusiaan dan keadilan di Indonesia — yang aku baca dan dengar di kemudian hari — karena saat itu aku masih seorang gadis kecil yang lebih suka memanjat pohon belimbing di belakang rumah tetangga ataupun membaca buku petualangan Lima Sekawan karya Enid Blyton di kamar ketika keluargaku telah dalam perjalanan menuju bunga tidur mereka.

Aku yang belia tidak mengenal Munir, pun kakak perempuanku atau ibuku. Namanya sama sekali tidak mengendap di hatiku, begitu kiraku, karena tampaknya perihal kemanusiaan bukanlah masalah yang begitu penting di pulau kelahiranku. Tak pernah singgah di kepalaku tentang pentingnya orang yang mampu berani untuk menentang kekuasaan dan kekerasan. Orang yang berjuang menebas ketidakadilan bagi orang-orang kecil yang tidak mampu untuk membayar segala ancaman dan tekanan yang ia terima dari pihak-pihak yang tidak menginginkan ia berjuang dan membuka topeng kejahatan yang mereka lakukan. Orang yang tak gentar dan masih mampu melemparkan humor ketika ia menerima sekuntum bom di depan pintu rumahnya.

Yang kupedulikan hanyalah air asin yang berombak-ombak, istana pasir serta daun nyiur yang dapat digunakan untuk berayun. 

Namun sepuluh tahun kemudian, Munir datang mengetuk ingatanku. Ketika secara tak sengaja aku menemukan sepotong surat elektronik dari Goenawan Mohammad untuk Sutan Alief Allende dan Diva Suki Larasati. Keduanya adalah anak Munir, buah cintanya dengan Suciwati.

Rasa sendu dan tidak berdaya menghinggapiku ketika membaca surat Goenawan kepada Alief dan Diva. Setiap kata yang ia gulirkan begitu lembut dan pedih sehingga seakan-akan akulah yang mengalami kehilangan. Seakan-akan surat itu ditujukan kepadaku. Dan mungkin perasaan ini memang sungguh benar adanya, perasaan kehilangan seseorang yang berjuang di tengah hiruk-pikuk perebutan kekuasaan. Ketika tak banyak orang yang melihat ke bawah karena tajamnya bau kertas-kertas bernominal yang ditawarkan, Munir adalah sosok yang menuruni tangga itu ke bawah, menjemput dan bersama-sama mereka memperjuangkan keadilan, sebuah hak yang jarang diperhatikan penguasa negeri ini. 

Aku tak mengenal Munir, namun perjuangan yang ia torehkan dan terpaksa terputus oleh arsenik membuatku merasa kehilangan karena aku yakin, seperti meyakini politik selamanya berujung uang, Munir adalah sosok yang belum tentu dapat kau temukan di antara satu miliar manusia. 

Munir adalah seorang yang tak takut akan gelap, namun memiliki kecemasan akan kelam karena baginya kelam adalah sebuah kegetiran yang pasrah, sebuah keputusasaan. Kelam itu adalah yang ingin dilawan Munir bukan karena ia adalah manusia paling berani yang pernah lahir ke dunia, seperti yang dituturkan Goenawan “[…] Seperti kami semua, ia juga gentar melihat semua itu”, namun ia melawan kegentarannya dan dengan tubuhnya yang ringkih ia berjuang untuk menerabas empat penunggang kuda bernama Kekerasan, Ketidakadilan, Keserakahan, dan Kebencian.

Empat hal itu, masih ada hingga sekarang. Masih ku alami ketika hidupku tak lagi tentang laut, karang dan pohon kelapa. Panas aspal, gedung-gedung, selokan, perumahan kumuh, lubang jalanan, wajah sangar, sikut tajam, pengemis kota, mata buta, tangan renta, knalpot rusak, tawa kering, dahak merah…

Derap yang ditinggalkan empat penunggang kuda itu berserakan dimana-mana. Tumbuh subur, seperti ilalang. 

Bahwa hingga kini kasus pembunuhan Munir belum selesai dan sama sekali belum menemui titik terang, memberikan bukti bahwa keadilan yang ia cita-citakan belum terwujud. Namun, dengan begitu banyak orang yang terinspirasi akan semangat juang serta tekad yang seakan kebas kepada rasa takut, melalui lukisan, pantomimik, puisi, dan bahkan lagu, suatu hari mungkin hari itu akan tiba. Munir seperti kata Goenawan, telah memberikan yang paling baik dari dirinya, karena itu Goenawan berkabung, mereka berkabung, dan aku berkabung. 

Munir bukan hanya seorang pahlawan, namun ia juga merupakan sebuah jejak lain akan langkanya keadilan di sini. Di khatuliswa ini. 

Seperti sepuluh tahun yang lalu, aku tidak mengenal Munir. Namun aku merasakan semangat dan perjuangannya yang mahal. Dan seperti Alief dan Diva, aku merindukan sosoknya yang mungkin tak akan tergantikan. Karena, aku mengakui kebenaran kata Goenawan, aku pun gentar melihat kelam  yang menaungi negeriku ini.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!