Penggusuran warga Kampung Pulo: Ahok dan tangan besi

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Penggusuran warga Kampung Pulo: Ahok dan tangan besi

GATTA DEWABRATA

Apakah kekerasan yang digunakan untuk menggusur warga Kampung Pulo dapat dibenarkan?

Kegilaan Hitler terjadi bukan karena ia adalah fasis keji yang megalomania, namun karena ketiadaan kritik dan kontrol dari para pendukungnya. Ketika Hitler menggunakan kekerasan, ia menjadi simbol kekuatan. Jerman yang kalah dan dipermalukan menemukan kembali kebanggaannya melalui kekerasan.

Ia dipuja karena tegas, ia dipuji karena punya nyali, tapi kita tahu setiap kekerasan yang dibuat selalu mengorbankan akal sehat.

Fasisme di Eropa setelah Perang Dunia I banyak orang yang merasakan ketidakberdayaan. Beberapa kemudian beralih kepada ide-ide nasionalisme yang mengarah pada fasisme. Manusia macam Benito Musolini dan Hitler menemukan panggungnya. Mereka yang memiliki kharisma tegas, tanpa kompromi, dan yang jelas tidak segan menggunakan kekerasan.

Para pendukungnya dibuat terpukau dengan sikap tegas itu, mereka menanggalkan nalar, meninggalkan hati nurani, dan yang paling buruk, membunuh empati. Mereka membiarkan kelompok minoritas rentan ditindas untuk “kepentingan bersama”, “kepentingan bangsa”, “stabilitas umum”, dan “kebaikan yang lebih banyak”.

Tapi apakah kita harus membenarkan ini?

Munculnya pemimpin tegas dengan kharisma yang melonjak-lonjak memang memberikan harapan. Seseorang yang mampu menyelesaikan masalah, seseorang yang tanpa ampun, seseorang yang tidak bisa dikendalikan. Menyingkirkan mereka, sampah, pariya, dan kelompok yang tidak diinginkan. Mereka kelompok miskin yang jadi lintah, bodoh, penipu, dan hanya menjadi benalu sistem.

Sosok pemberani ini selalu dirindukan. Karena kita sendiri tidak berani mengatasi mereka, kita tidak punya nyali untuk menghadapi kelompok ini secara langsung. Kita meminjam tangan orang lain untuk menyingkirkan orang yang tidak kita sukai, hanya karena ia mengganggu rasa nyaman kita. Mereka yang “jualan di atas trotoar,” “pendatang yang bikin macet”, “maling yang menduduki tanah negara”, dan sebagainya dan sebagainya. 

Cuma orang yang taklid buta yang membenarkan setiap kebijakan yang dibuat oleh idolanya, ia menutup ruang alternatif pilihan penyelesaian masalah.

Kita, ah tidak, saya terlalu pengecut untuk datang langsung menghadapi mereka, bertanya langsung, mengetahui dari sumber pertama, kenapa mereka jadi benalu, mengapa mereka jadi beban, mengapa mereka menyerobot tanah negara. Saya mungkin hanya tahu mereka ini menduduki tanah negara, tanpa ada kepedulian untuk paham, dari mana mereka berasal, mengapa mereka menduduki tanah ini?

Kita malas untuk peduli, kita ogah untuk peduli, karena kita sudah merasa nyaman dengan apa yang kita miliki. 

Jika memiliki banyak dukungan atau didukung banyak orang sama dengan benar, maka betapa celakanya peradaban kita. Hari-hari ini akun sosial media Teman Ahok mengatakan bahwa kejadian Kampung Pulo menuai popularitas, jika biasanya hanya mampu mengumpulkan sedikit KTP, akibat kejadian ini, tiba-tiba pengumpulan KTP melonjak. 

Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama butuh KTP warganya agar ia bisa maju lagi dalam pemilihan kepala daerah 2017 nanti, mengingat dirinya kini tak berpartai setelah keluar dari Gerindra tahun lalu.

Tidak ada yang mengatakan bahwa melonjaknya dukungan pemberian KTP itu karena tindakan brutal Ahok pada penduduk Kampung Pulo. Hanya orang dungu yang mengonstruksi bahwa dengan kekejaman seseorang mesti dibela. Saya menolak kekerasan, menolak merelakan akal sehat untuk menerima kekerasan sebagai solusi. Dengan dalih apapun, kekerasan hanya akan menumpulkan nalar dan nurani.

Ada banyak cara untuk menyelesaikan masalah, tentu tindakan tegas adalah salah satunya, namun tegas bukan berarti menggunakan kekerasan secara brutal. Anti-kekerasan bukan berarti anti-kemajuan. Mendukung kemajuan bukan berarti membenarkan kekerasan. Cuma orang yang taklid buta yang membenarkan setiap kebijakan yang dibuat oleh idolanya, ia menutup ruang alternatif pilihan penyelesaian masalah.

Maka ketika konflik Kampung Pulo terjadi, saya kira ada jalan untuk menyelesaikan masalah. Apa solusinya? Saya tidak tahu, saya kan hanya penulis yang hanya bisa mengkritik.

Warga Kampung Pulo, Jakarta Timur, terlibat bentrokan dengan Satpol PP dan Polisi. Bentrokan terjadi karena warga menolak dipindahkan untuk normalisasi kali Ciliwung. Foto oleh Gatta Dewabrata/Rappler

Manusia-manusia genit yang ogah berpikir menuntut solusi tanpa ada keinginan untuk memahami masalah. Mereka menuntut penyelesaian cepat, namun pernahkah mereka mengambil jeda untuk berpikir, pelan memahami masalah, dan berusaha mencari jalan keluar bersama? Jika melulu kekerasan dan cepat adalah satu satunya jalan, maka apa gunanya otak dan pengetahuan?

Kekerasan adalah salah satu solusi penyelesaian masalah, tapi ia bukan yang paling utama. Sejarah mengatakan bahwa republik ini selalu keras menghajar kaum marjinal miskin, tapi menjilat pantat dan menghamba pada kelompok berkuasa kaya. Solusi cepat dan mudah memang menggunakan kekuatan, tapi apakah ia selalu harus jadi yang paling utama dipilih?

Tindakan tegas dan keras kerap kali hanya memangsa orang-orang yang lemah, hampir jarang orang yang mapan jadi tumbal. Ketika Ahok memutuskan untuk menggusur warga Kampung Pulo, beberapa pendukungnya membenarkan hal itu. Mereka bilang kadang pemimpin tangan besi diperlukan agar keadaan jadi benar. Lebih dari itu sumpah serapah diberikan kepada warga Kampung Pulo. 

Mereka yang menuntut ganti rugi dianggap semaunya sendiri, mereka yang menduduki tanah dituduh penyerobot lahan, ini dilakukan tanpa melakukan verifikasi terhadap warga. Sesederhana membaca judul berita, mempercayainya sebagai sebuah kebenaran, kemudian ikut-ikutan mengutuk mereka yang ngotot menolak penggusuran sebagai orang yang tidak tahu diri.

Saya ingat beberapa kejadian yang serupa. Dalih tangan besi bisa digunakan untuk itu, misal ketika kasus Penembak Misterius, Kedung Ombo, Tragedi Santa Cruz, DOM Aceh, atau bahkan kelompok yang dituduh komunis. Jika mereka yang mendukung Ahok memutuskan menggunakan argumen tangan besi untuk kemakmuran bersama, apakah saya bisa gunakan argumen yang sama untuk kekerasan yang lain?

Penggusuran selalu dimaksudkan untuk kebaikan, atau setidaknya niat baik membuat keadaan lebih nyaman untuk kepentingan bersama. Bahwa Jakarta adalah etalase Indonesia, wajah negara, sehingga menjadi pembenaran untuk menyingkirkan mereka yang buruk rupa. 

Tapi Indonesia yang mana? Negara yang mana? Yang tidak ragu menghajar kaum miskin kota? Ini kepentingan bersama, kepentingan negara, dan kepentingan publik. Tapi kepentingan siapa? Saya ingat puisi Rendra yang mempertanyakan maksud baik.

Maksud baik saudara untuk siapa? Saudara berdiri di pihak yang mana?

Kenapa maksud baik dilakukan, tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.

Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.

Perkebunan yang luas, hanya menguntungkan segolongan kecil saja.

Alat-alat kemajuan yang diimpor, tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.

Tentu kita bertanya, “Lantas maksud baik Ahok untuk siapa?” —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

 

 

 

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!