Pilkada Surabaya: Sulit hentikan laju Risma-Whisnu

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pilkada Surabaya: Sulit hentikan laju Risma-Whisnu

ANTARA FOTO

Isu yang patut dicermati dalam Pilkada Kota Surabaya bukan lagi soal rivalitas para pasangan calon. Sebab, kemenangan bagi petahana hanya soal waktu

SURABAYA, Indonesia – Pertanyaan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Surabaya yang digelar pada Rabu, 9 Desember, mendatang bukan lagi siapa yang menang dari dua pasangan calon, Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana dan Rasiyo-Lucy Kurniasari, melainkan berapa persen suara kemenangan Risma-Whisnu.

April lalu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sudah menggelar survei internal. Hasilnya, elektabilitas pasangan tersebut sudah di atas 80 persen. 

“Angkanya sekitar itu dan trennya terus naik,” kata Sekretaris Pemenangan Risma-Whisnu, Adi Sutarwijono, kepada Rappler, Kamis, 3 Desember. 

Rasiyo-Lucy memang bukan lawan yang sepadan bagi Risma-Whisnu. Bahkan mungkin tidak pernah ada yang bisa melawan sang incumbent. Karena itu, wajar jika lawan-lawan Risma-Whisnu maju mundur. 

(BACA: Pilkada Surabaya: 5 hal tentang pasangan ‘serasi’ penantang Risma)

Sebelumnya, pasangan bakal calon wali kota dan wakil wali kota Dhimam Abror dan Haries Purwoko batal di hari terakhir pendaftaran. Haries mendadak menghilang dan mundur karena —dalihnya— tidak diizinkan orang tua. 

Dhimam masih maju tapi sebagai calon wakil wali kota, berpasangan dengan Rasiyo. Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surabaya menganulir pencalonan Dhimam karena tidak memiliki surat bebas tunggakan pajak dan surat rekomendasi dari Partai Amanat Nasional (PAN) bermasalah.

Akhirnya, PAN mengajukan Lucy Kurniasari. Pencalonan Rasiyo-Lucy sempat bakal kembali bermasalah karena ijasah SMA Lucy. Namun, keduanya akhirnya lolos tahap pencalonan. Risma-Whisnu pun punya lawan.

Pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya nomor urut satu, Rasiyo (kiri) dan Lucy Kurniasari (kanan) ketika melakukan kampanye akbar di JX International Surabaya, Jawa Timur, pada 29 November 2015. Foto oleh M. Risyal Hidayat/Antara

Rasiyo-Lucy adalah calon dari dua partai, Partai Demokrat dan PAN. Gubernur Jawa Timur Soekarwo sebagai ketua DPW Partai Demokrat Jatim mendukung penuh pencalonan ini. Maklum, Rasiyo adalah “anak emas” Soekarwo saat masih duduk sebagai Kepala Dinas Pendidikan Jatim dan Sekda Jatim. 

Meskipun begitu, para pemikir politik Soekarwo mengakui bahwa pencalonan Rasiyo-Lucy bukanlah pertempuran untuk menang. Sebab, mereka tak mungkin mengalahkan wali kota perempuan pertama dalam sejarah Surabaya tersebut. 

“Risma ini ibarat meteor. Dia tidak bisa dihentikan,” kata salah seorang penasehat politik Soekarwo, yang namanya tak mau disebutkan.

Pengamat politik dari kampus negeri di Surabaya itu mengakui, Rasiyo-Lucy bakal kalah. “Pakde Karwo tahu itu. Tapi, bagaimanapun dia tetap harus mendukung pasangan ini sebagai bagian dari partisipasi politik Demokrat,” katanya, merujuk pada julukan Soekarwo.

Juru bicara tim sukses Rasiyo-Lucy, Herlina Harsono Njoto, mengaku pihaknya sudah melakukan surveiinternal. Hasilnya, pasangan Risma-Whisnu lebih unggul. Tapi, berapa angkanya, dia tak bisa menyebutkan. 

“Bukan bagian saya untuk mengatakannya,” kata Herlina. 

Ketua Komisi A DPRD Surabaya itu menampik anggapan bahwa pihaknya sudah siap kalah. “Kami akan kejar selisih suara kami dalam pekan terakhir ini dengan banyak program,” katanya. 

Apa saja program itu? “Banyak pokoknya. Saya tidak ingat,” kata Herlina. 

PDI-P berharap Pilkada Surabaya bantu dongkrak suara di Pileg 2019

Lantas, berapa persen target kemenangan Risma-Whisnu? 

Risma dan pasangannya calon Wakil Wali Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana membaca buku yang dibagikan KPK ketika mengikuti pembekalan dan deklarasi calon kepala daerah dan penyelenggara Pilkada Jatim di Unesa, Surabaya, Jawa TImur, pada 12 November 2015. Foto oleh Zabur Karuru/Antara

Anggota tim sukses Risma-Whisnu, Adi Sutarwijono, mengatakan isu utama kubunya bukan lagi soal bagaimana memenangi pilkada Surabaya, tapi berapa banyak suara kemenangan Risma. Tim sukses tetap bekerja keras karena semakin tinggi elektabilitas Risma, popularitas PDI-P juga ikut terkerek.

Adi mencontohkan dalam survei pada April tersebut. Elektabilitas PDI-P juga meningkat dari 32 persen menjadi 46 persen. “Padahal itu belum sampai setahun,” katanya.

Ia mengatakan, pihaknya menyusun grand design Surabaya dengan bertahap. Setiap tahapan politik dilakukan untuk sekaligus menyiapkan tahapan berikutnya. Dalam Pilkada Surabaya 2015, pihaknya sudah berancang-ancang menyiapkan pemilihan legislatif Surabaya pada 2019.

(INFOGRAFIS: Rasiyo-Lucy vs Risma-Whisnu Pilkada Surabaya)

Adi optimisitis, tren elektabilitas Risma-Whisnu terus meningkat dengan Hari-H pilkada yang semakin dekat. Dia menargetkan pasangan tersebut meraih suara 93%. Dengan demikian, suara PDI-P bisa naik hingga di atas 50%. 

“Kami ingin menjadi single majority pada 2019. Dengan dominasi di parlemen, pengambilan keputusan bakal lebih mudah,” katanya. “Sebagai partai dominan di Surabaya, wajar dong kami berpikir begini,” imbuhnya. 

Risma bakal berubah di periode kedua

Selama memimpin Surabaya, Risma memang berhasil menjawab ekspektasi publik Kota Pahlawan tersebut. 

Dia mampu menggratiskan sekolah, instalasi air bersih hingga 92 persen wilayah penduduk, dan pembangunan sejumlah ruas jalan baru, termasuk Middle East Ring Road (MERR) yang mampu menggairahkan pembangunan Surabaya Timur. 

”Risma ini ibarat meteor. Dia tidak bisa dihentikan.”

Namun, kepemimpinan Risma tetap mendapat kritik. Di periode pertama jabatannya, alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu dianggap tidak mampu merangkul elemen kekuasaan di sekitar dirinya. Terbukti, beberapa kali konflik antara Risma dan PDI-P kerap terjadi. 

Selain itu, kebijakan Risma juga dianggap terlalu banyak pendekatan otoritas alias top-down. Akibatnya, partisipasi publik sangat minim di Surabaya. Itu belum termasuk pendekatan “galak” ala Risma pada beberapa instansi yang melempem.

Adi mengakui itu. Namun, dia tidak bisa menjamin Risma akan lebih “lunak” di periode kedua. Sebab, itu sudah jadi karakter kepemimpinan Risma. “Masing-masing punya gayanya. Pak Bambang D.H. (wali kota sebelum Risma) juga berbeda dari Risma,” katanya. 

Ia menyadari bahwa Risma perlu proses untuk menjadi pemimpin politik. Apalagi latar belakang dirinya adalah birokrat, bukan politikus. Karena itu, di periode pertama Risma selalu bersikap kaku terhadap parpol.

Namun, di periode kedua, kata Adi, mulai ada kesadaran politik dari Risma. “Sekarang, Bu Risma mulai memiliki kesadaran bahwa mengurus partai tidak bisa sendirian. Harus kolektif,” katanya.

Risma kini juga mulai bersedia tampil di depan publik atas nama partai. Bahkan, beberapa kali dia ikut menyambangi pengurus kecamatan partai berlambang kepala banteng tersebut. 

“Ini semua akan mewarnai kepemimpinannya di periode kedua,” katanya. 

Apakah ini kabar baik, atau buruk? —Rappler.com 

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!