‘Istirahatlah Kata-Kata’: Wiji Thukul sebagai pengingat utang negara

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘Istirahatlah Kata-Kata’: Wiji Thukul sebagai pengingat utang negara
Mungkin Jokowi perlu mendengar kata-kata Sipon sebelum ‘Istirahatlah Kata-Kata’ usai: yang penting Wiji tetap eksis, ada.

JAKARTA, Indonesia — Nama Wiji Thukul dikenal publik sebagai aktivis buruh pada rezim Orde Baru. Berbagai literatur tentang dirinya pun lebih banyak menyoroti pergerakan menentang rezim Soeharto.

Saat ini, namanya santer disebut-sebut setiap peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM), bersama dengan aktivis lain yang masih hilang ataupun dibunuh. Namun, sedikit yang menyinggung sosok Wiji Thukul sebagai seorang sastrawan. Karena itulah, film Istirahatlah Kata-Kata mengangkat sisi yang jarang terjamah ini.

Periode 27 Juli 1996, ketika Thukul (diperankan oleh Gunawan Maryanto) melarikan diri ke Pontianak, Kalimantan Barat, dipilih sebagai fokus utama film ini.

“Periode ini sangat genting, karena ini pertama kali dia ditetapkan tersangka, buron,” kata produser film Istirahatlah Kata-Kata, Yulia Evina Bhara, saat pemutaran terbatas di Kineforum, Jakarta, pada Senin, 9 Januari.

Thukul, tekanan, dan rasa takut

“Kapan bapakmu pulang?” tanya seorang pria berjaket hitam pada Fitri Nganthi Wani kecil, anak sulung Wiji Thukul. Gadis yang saat itu baru berusia 6 tahun itu hanya diam di pelukan Siti Dyah Sujirah alias Sipon, ibunya (diperankan oleh Marissa Anita).

Saat itu, sedang terjadi perburuan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) setelah Peristiwa 27 Juli 1996. Mereka dituding sebagai dalang pengambilalihan paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jakarta Pusat, yang berujung kerusuhan di beberapa wilayah ibu kota.

Thukul menjadi salah satu nama yang dicari, karena ia termasuk pentolan dari organisasi tersebut. Demi keamanan, rekan-rekan sesama aktivis pergerakan pun mengatur upaya menyembunyikan sang Penyair Pelo di Pontianak.

Di sana, ia berpindah-pindah tempat tinggal di rumah sesama aktivis. Wiji, yang wajahnya masih dihiasi luka bekas poporan senapan tentara, hidup di bawah ketakutan.

Seorang Wiji Thukul, ketakutan. Gambaran yang jarang ditampilkan, saat semua mengagungkan keberaniannya melawan rezim.

Utang negara

Adik Wiji Thukul, Wahyu Susilo, mengatakan film ini berhasil mencapai tujuannya. Karakter Thukul yang diperankan penyair sekaligus aktor teater Gunawan Maryanto sudah mendekati aslinya.

“Spontanitas, penampilan fisik, dan guyonan spontan sudah mirip,” kata Wahyu usai pemutaran. Ia mengaku emosional, meski sudah menyaksikan film ini berulang-ulang.

Meski demikian, Sipon dan anak-anak Thukul belum menontonnya. Menurut Wahyu, mereka masih belum siap.

Baginya, film ini adalah upaya mengingatkan negara tentang utang mereka soal kejelasan nasib Thukul dan aktivis lain yang tak jelas. Fakta kalau Istirahatlah Kata-Kata dikerjakan oleh kru yang usianya tergolong muda—masih belasan tahun ketika Thukul menghilang—dapat menjadi tamparan tersendiri.

“Anak-anak muda ini saja bisa membuat film, mengenang dan menolak lupa. Negara seharusnya bisa lebih dari itu,” kata Wahyu yang juga merupakan seorang aktivis buruh migran.

Sutradara Yosep Anggi Noen sendiri membuat film ini untuk mencatat revolusi dengan cara yang estetik. Sesuatu yang menurutnya jarang dilakukan.

Untuk pemeran, ia sengaja menarik jebolan aktor teater. Gunawan Maryanto sudah mengecap akting bersama Teater Garasi dan Marissa Anita dari Jakarta Players.

Anggi ingin para pemain memaksimalkan kekuatan ruang panggung dalam frame kamera. “Saya kalau shoot satu adegan kan bisa 6-8 menit, pemain harus bisa memanfaatkan ruang yang ada selama itu,” kata Anggi.

Ia juga ingin membuat masyarakat berpikir dan mengingat persoalan-persoalan yang belum selesai. “Bahkan untuk mengingatkan hal yang belum selesai ini adalah utang. Tanggung jawab bersama untuk kemudian dibayarkan pada keluarga yang ditinggalkan, tidak cuma keluarga Wiji Thukul,” katanya.

Alasan itu pula yang membuat tim produksi film akhirnya mengundang Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menonton. Mulai Kamis, 19 Januari 2017, film ini akan diputar di layar lebar untuk kota Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Bandung.—Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!