Filipino comic strips

Strategi martabak bisnis penerbangan

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Strategi martabak bisnis penerbangan

AFP

Harga minyak dunia turun ke titik terendah dalam enam tahun. Harga avtur mengikuti. Mengapa ongkos transportasi tidak turun?

 

Jika Anda suka bepergian, mestinya ini hari-hari yang menggembirakan. Harga minyak yang turun, terbukti ikut menurunkan harga bahan bakar pesawat terbang, avtur. Kamis (8/1) ini harga minyak Brent, yang diproduksi dari Laut Utara, menyentuh angka US$ 51 per barel. Adapun minyak jenis WTI harganya di kisaran US$ 47 per barel.

Di laman aviation.pertamina.com kita bisa menyaksikan, harga avtur memang diturunkan, mengikuti pergerakan harga minyak internasional.

Di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta, untuk periode 1-14 Januari harga avtur adalah Rp 8.239 atau seharga US$ cent 65,52 per liter. Tapi untuk penerbangan internasional, harganya lebih murah, US$ cent 59,40 per liter. Di Papua, untuk penerbangan internasional, harganya lebih mahal, yakni US$ cent 72,90, lebih mahal 13 sen, alias sekitar Rp 1.500 per liter.

Avtur memakan biaya cukup besar bagi industri penerbangan, sekitar 30 persen dari total biaya. Ini yang menjadi salah satu alasan bagi Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional (INACA) menaikkan harga tiket tahun lalu. Kalau harga minyak atau avtur menggila, organisasi ini termasuk paling cerewet mendesakkan kenaikan harga.

Saya membaca di berbagai situs pemberitaan, pada awal September lalu hampir semua maskapai penerbangan mengalami kesulitan akibat anjloknya nilai tukar rupiah. Tingginya harga avtur dinyatakan membuat biaya operasional maskapai penerbangan nasional makin membengkak.

Kata Ketua Umum INACA Arif Wibowo waktu itu, biaya bahan bakar pesawat di Indonesia tergolong paling tertinggi dari negara ASEAN lainnya. “Biaya avtur Indonesia kira-kira 13 persen di atas negara ASEAN,” ujar Arif kepada wartawan di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Saya mengutip pernyataan Arif ini dari situs merdeka.com.

Menurut Arif ketika itu, salah satu penyebab tingginya harga avtur adalah ketergantungan terhadap impor. Faktor lain ialah pungutan avtur melalui BPH Migas yang mencapai 0,3 persen. Ia mengatakan, maskapai penerbangan meminta peran pemerintah untuk membantu industri penerbangan menghadapi persaingan internasional, dengan cara menekan harga avtur.

Arif Wibowo ketika itu Direktur Utama Citilink, anak perusahaan Garuda Indonesia. Kini ia menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia.

Oktober lalu, ketika harga tiket dinaikkan, asumsinya adalah sebagai berikut: Harga avtur Rp 12.000 per liter, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar Rp 13.000.

Kini, ketika harga avtur benar-benar turun, jauh di bawah Rp 12.000, dan dolar tidak menembus Rp 13.000, akankah harga tiket juga ikut berkurang? 

Mohon maaf, saya belum membaca pernyataan INACA untuk mendesak pemerintah agar menurunkan harga avtur di tengah rendahnya harga BBM ini.

Rupanya, di dunia penerbangan ini juga berlaku rumus yang sama dengan angkutan kota, dan pedagang  martabak. Di banyak kota di Indonesia, tarif angkutan kota yang terlanjur membubung, gara-gara pemerintah menaikkan harga BBM pada 18 November lalu, tak ikut turun setelah harga premium dan solar turun per 1 Januari 2015. Alasannya bermacam-macam. Di antaranya, harga suku cadang juga tak turun. Di Bogor ada upaya menurunkan tarif angkot.

Semalam saya membeli martabak bangka di dekat rumah. Saya kaget, harganya naik cukup banyak. Bulan Juni lalu, martabak dua telor harganya Rp 20.000. Ketika November lalu pemerintah menaikkan harga BBM, harganya naik menjadi Rp 22.000.

Tak sampai sebulan, harganya naik lagi menjadi Rp 24.000 per 1 Januari 2015. Kok bisa, bukankah harga BBM malah turun? Jawab si penjual: telur harganya naik, elpiji naik, dan biaya angkot tak juga turun. 

Alasan yang sama saat kami menegosiasikan harga pembuatan lemari dapur. “Harga bahan baku naik setelah kenaikan BBM, Bu. Ongkos tukang juga naik. BBM turun, harga barang lain nggak mau turun, Bu,” kata tukang mebel tetangga belakang rumah.

Harga tiket penerbangan tampaknya juga tidak akan turun. Oktober lalu, tatkala harga avtur dalam tren menurun, pemerintah, melalui Menteri Perhubungan, malah menaikkan batas atas tiket, rata-rata 10%. Jakarta-Jogja, misalnya, naik menjadi Rp 1,06 juta. Jakarta-Semarang menjadi Rp 989.000.

Di dunia penerbangan, sama halnya dengan dunia angkot dan dunia martabak, harga rupanya bisa naik. Tapi sulit untuk turun.

Januari ini, tatkala harga BBM juga turun, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan malah menaikkan batas bawah tarif penerbangan sebanyak 40%. Kini tak ada lagi promo tiket murah, yang selama ini juga cuma marketing gimmick bagi maskapai low-cost carrier (LCC), alias maskapai berbiaya murah.  

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan saat konferensi pers terkait hilangnya pesawat AirAsia QZ8501 di Bandara Juanda, Surabaya, pada 28 Desember 2014. Foto oleh EPA

Relatif murah, karena beda harga tiket paling Rp 100.000 – Rp 200.000 dibandingkan dengan harga tiket Garuda Indonesia. Bagi yang bepergian dalam grup, misalnya satu keluarga, memilih maskapai LCC terasa membantu.

Gara-gara perang harga, ini masih kata bekas Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia ini, banyak maskapai mengabaikan keselamatan. “Biaya perawatan pesawat ada yang menggunakan mata uang dolar, atau euro,” katanya.  

Padahal unsur keselamatan biasanya tidak dinegosiasikan. Dan ini tugas Jonan dan anak buahnya untuk memeriksa setiap penerbangan. Bagaimana aspek keselamatan? Cadangan avtur? Ban pesawat sudah gundul atau masih layak? Dan seterusnya. Otoritas penerbangan jangan menutup mata dan leha-leha.  

Yang membuat maskapai LCC bisa menjual tiket lebih murah karena efisiensi frekuensi terbang, jumlah kursi, tidak menyajikan makan dan minuman, tiket online, tidak ada hiburan dalam pesawat, dan semacam itu. Layanan yang kita temui di maskapai Garuda Indonesia.

Terus kapan harga tiket pesawat turun?

Ada berbagai alasan kenapa harga tiket penerbangan tak turun. Saya kutipkan berita dari Reuters, edisi Kamis (8/1). Kantor berita itu memberitakan, dua maskapai kondang dari Amerika Serikat, Delta dan Southwest, ternyata menderita rugi miliaran dolar. Southwest adalah LCC.

Secara teori, penerbangan merupakan industri yang paling banyak diuntungkan: Hanya dalam tempo enam bulan, harga minyak turun hampir separuhnya. Avtur juga ikut turun. Pemakaian avtur merupakan komponen paling besar, sekitar sepertiga dari biaya penerbangan. Itu yang membuat banyak maskapai mengganti pesawatnya dengan tipe lebih baru, demi penghematan bahan bakar.

Delta dan Southwest dikenal pintar dengan program lindung nilainya.Tatkala banyak maskapai yang direpotkan oleh harga avtur mahal, keduanya bisa tetap tersenyum karena mereka sudah lebih dahulu melakukan hedging. Harga minyak dipatok pada nilai tertentu.

Sayangnya, kini harga sudah murah. Padahal mereka sudah terlanjur membayar asuransi yang cukup mahal, untuk mematok harga avtur.

Strategi hedging yang dipakai kedua perusahaan ini disebut sebagai “costless collar” alias “kerah tanpa biaya”. Intinya, mereka membeli asuransi untuk melindungi maskapai dari gejolak harga. Enam bulan lalu, tatkala harga masih di atas US$100 per barel, strategi itu masuk akal. Ketika sekarang harga rontok, maskapai membayar asuransi untuk sesuatu yang tak diperlukan.

Kalau ada berita baiknya, syukurlah baik Delta maupun Southwest tidak melakukan hedging seluruh bahan bakarnya. Karena itu, mereka tidak merugi sepenuhnya atas harga yang rendah ini.

Meski demikian, apakah harga akan turun? “Ini sedang kami kaji,” kata juru bicaranya. 

Bagaimana dengan Indonesia? Masalah yang tengah dihadapi maskapai di Indonesia lebih rumit nampaknya. Semoga Menteri Jonan tidak menambah kerumitan itu. —Rappler.com

Uni Lubis, mantan pemimpin redaksi ANTV, nge-blog tentang 100 Hari Pemerintahan Jokowi. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!