Indonesia

Kontroversi SE Hate Speech, timing-nya mencurigakan

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kontroversi SE Hate Speech, timing-nya mencurigakan

ANTARA FOTO

Menurut Kapolri, SE itu ditujukan ke internal polisi. Banyak polisi tidak paham mana yang masuk ujaran kebencian.

Rabu siang, saya menghadiri acara makan siang yang diadakan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Badrodin Haiti. Entah berapa kali saya menghadiri acara seperti ini, yang diadakan untuk komunitas media, dari pemimpin redaksi hingga jurnalis yang sehari-hari meliput di lingkungan kepolisian. 

Acara seperti ini biasanya diawali dan diselingin hiburan band yang dimainkan anggota kepolisian. Dalam acara kemarin, komunitas media dihibur oleh lagu-lagu yang dinyanyikan oleh sejumlah polisi wanita. Penampilan mereka tak kalah dengan selebriti.

Badrodin, yang saya kenal ketika masih menjabat Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Palu, dan berpengalaman menangani serangkaian aksi teroris di Poso, rupanya punya agenda khusus dalam pertemuan kemarin. Pertama, dia mengapresiasi kritik dari media terhadap kinerja Polri. 

“Kritik masih dalam koridor kritik yang konstruktif,” kata Badrodin. 

Sebelumnya, kolega saya Timbo Siahaan, pemimpin redaksi Jak TV, mengatakan, masyarakat memandang kinerja Polri dalam bidang pelayanan masih harus diperbaiki. 

“Tapi, kisah Kapolres Cianjur yang membantu warga miskin, patut diapresiasi,” kata Timbo, yang juga mewakili Forum Pemimpin Redaksi.

Kedua, Badrodin memanfaatkan pertemuan kemarin untuk menjelaskan mengenai Surat Edaran (SE) Hate Speech, atau ujaran kebencian. SE itu diterbitkan 8 Oktober 2015, dan memicu kontroversi, terutama di media sosial. Tagar #hatespeech sempat menjadi trending topic di Twitter.

 


Menurut surat edaran tesebut, ujaran kebencian adalah tindak pidana yang berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.

Aspeknya meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan dan kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual.

Ujaran kebencian dapat melalui media kegiatan kampanye, banner atau spanduk, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum atau demonstrasi, ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, dan pamflet.

“Saya mengamati berbagai komentar di media, termasuk televisi.  Saya tertawa kala melihat tanggapan yang berlebihan.  Seperti tidak paham hukum,” ujar Badrodin. 

Dia merujuk kepada pihak-pihak yang menganggap SE Hate Speech adalah sebuah produk hukum baru, padahal sudah ada aturan hukum positif yang mengatur soal pencemaran nama baik maupun ujaran kebencian, baik di UU Informasi dan Transaksi Elektronik maupun di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

 

Badrodin menjelaskan bahwa di lingkungan kepolisian ada 14 jenis surat dinas, di antaranya adalah Surat Edaran, yang dimaksudkan untuk kalangan internal kepolisian. 

“Kalau untuk khalayak luar namanya maklumat,” kata dia. “SE hate speech ini saya buat karena banyak polisi yang tidak bisa membedakan mana ujaran kebencian dan mana yang bukan.  Dengan adanya surat ini, saya berharap polisi lebih percaya diri dalam menangani kasus-kasus terkait mereka yang melakukan ujaran kebencian.”

Badrodin lantas memaparkan bahwa terbitnya SE Hate Speech tak lepas dari rekomendasi dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang menemukan bahwa berdasarkan survei internal yang mereka lakukan, banyak polisi tak percaya diri kala mendapati ada kasus ujaran kebencian. Misalnya, orasi ataupun pidato keagamaan yang mengandung unsur mengajak orang membenci orang lain. 

“Kalau bisa saya sebutkan contohnya, ya yang selama ini dilakukan Abu Bakar Baasyir, lalu hasutan sekjen Jakmania jelang final turnamen sepakbola Piala Presiden, juga kejadian di Aceh Singkil,” kata Badrodin.

 

Ketika diberikan kesempatan tanya-jawab, saya mengatakan bahwa timing, atau saat penerbitan SE hate speech ini menarik.  Dilakukan ketika di media sosial marak kritikan kepada penguasa, dalam hal ini pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. 

Sejumlah tagar yang isinya bernuasa negatif terhadap kinerja setahun pemerintahan Jokowi menjadi trending topic, dan jelas-jelas diinisiasi oleh sejumlah pihak yang anti Jokowi sejak pemilihan presiden 2014. Tapi tagar sebenarnya mudah dibalas dengan tagar pula, apalagi kubu Jokowi didukung sejumlah influencer di media sosial. 

Bukankah Jokowi memenangi pilpres karena dukungan relawan termasuk di media sosial?  Masih ingat tagar #AkhirnyaMemilihJokowi yang antara lain didorong oleh selebriti Sherina Munaf yang memiliki 12 juta pengikut di Twitter?

Jika memang polisi peduli dengan dampak bahaya maraknya ujaran kebencian, apakah polisi pernah menindak penceramah di tempat ibadah yang kerapkali ‘menghalalkan’ darah orang lain yang dianggap berseberangan dengan ideologi dan kepercayaan yang dianut diri dan kelompoknya? 

“Bisakah polisi menunjukkan bahwa selama ini ada tindakan, bahkan misalnya  pelarangan untuk mereka yang terbukti sering melemparkan ujaran kebencian yang bisa membahayakan jiwa orang lain? Kog baru sekarang merasa perlu membuat surat edaran, di tengah kecaman terhadap penguasa?”

BADRODIN. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti bersalaman dengan Wakapolri Komjen Budi Gunawan dalam acara silaturahmi dengan pemimpin redaksi media, Kamis, 5 November 2015. Foto dari Antara

Kapolri Badrodin menanggapi dengan mengulangi penjelasannya, bahwa selama ini polisi tidak paham, dan sulit membedakan mana yang ujaran kebencian. SE ini ditujukan untuk kalangan bintara dan tamtama Polri. 

Baiklah, tapi ini memprihatinkan bagi saya. Ujung tombak penegakan hukum Polri, ada di tingkat kepolisian sektor, yang biasanya dipimpin polisi lulusan akademi polisi (Akpol). Untuk masuk Akpol cukup sulit, begitu juga lulus dari sekolah khusus taruna kepolisian ini. 

Apa yang disampaikan Kapolri Badrodin membuat saya berpikir, mungkinkah sepanjang bersekolah di Akpol para taruna tidak diajarkan bagaimana membedakan mana ujaran kebencian mana yang bukan?  Lantas, bagaimana peran dari komando-komando di semua tingkatan di kepolisian dalam mengajari prajurit lulusan tamtama dan bintara mengenai hal ini?

Bahkan masyarakat biasa pun peka terhadap mana ujaran kebencian dan mana yang bukan. Dan itu yang kita lihat terjadi di media sosial, ketika terjadi proses wisdom of crowd, koreksi sesama pengguna manakala ada yang menyebar ujaran kebencian.

Saya memang khawatir dengan kecenderungan menyeret kembali pendulum kemerdekaan berekspresi yang kita perjuangkan bersama saat Reformasi 1998, ke titik sebelum itu. Memang mulainya pelan-pelan. Bisa dimulai dengan SE internal, dengan peraturan-peraturan lokal yang membatasi penyampaian ekspresi kepada publik, misalnya.  

Dalam pertemuan dengan pemimpin redaksi, Jokowi sempat mengeluhkan pemberitaan media yang kurang kondusif terkait kondisi ekonomi. Menambah ketidakpercayaan publik.

Ketika sedikit demi sedikit dibiarkan, menjadi pintu masuk kembalinya demokrasi terpimpin. Mereka yang tidak sepaham dengan saya akan menganggap saya berlebihan.

Tapi saya mengingat kembali diskusi dalam sebuah grup diskusi demokrasi di ASEAN yang saya ikuti di Bangkok, tahun lalu. Peserta dari Thailand mengingatkan, negeri Gajah Putih itu pernah menikmati 20 tahun masa paling demokratis di kawasan ini. 

Begitu juga medianya. Kini, 20 tahun sesudah era itu, mereka kembali ke era kekuatan bersenjata. Junta militer. Tahun ini kita menikmati 17 tahun reformasi.

Bukannya saya setuju pada ujaran kebencian. Tetapi di banyak negara demokrasi terjadi debat mengenai hal ini. Di era digital, cara terbaik memerangi ujaran kebencian di ranah digital (yang nampaknya menjadi dasar kuat terbitnya SE Hate Speech ala Kapolri), adalah memproduksi tandingannya, ujaran positif.

Profesor Heinze  dikutip oleh Gavin Philipson dalam tulisannya, Hate Speech Laws: What they should and shouldn’t try to do, mengatakan bahwa belum ada bukti empiris soal efektivitas dari aturan pelarangan hate speech, terutama di negara yang demokratis, makmur dan stabil. Mungkin kita belum sampai ke sana? – Rappler.com 

BACA JUGA:

Uni Lubis adalah seorang jurnalis senior dan Eisenhower fellow. Dapat disapa di @UniLubis

  

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!