Toleransi umat Hindu dan Islam saat Nyepi di Malang

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Toleransi umat Hindu dan Islam saat Nyepi di Malang
Umat Hindu tetap Nyepi, umat Islam melakukan salat wajib dan sunah dengan suara pelan

MALANG, Indonesia – Warga Dusun Karang Tengah, Desa Glanggang, Kabupaten Malang tampak sibuk membersihkan halaman rumah dan tepi jalan di depan kediaman mereka pada Senin, 7 Maret.

Beberapa pemuda sibuk menghias ogoh-ogoh, patung perwujudan raksasa perlambang keburukan yang akan dibakar pada Selasa petang, saat upacaraTaur Agung Kesanga.

Dusun Katang Tengah memiliki 161 kepala keluarga yang sebagian besar beragama Hindu. Terdapat masing-masing satu pure, satu masjid dan satu musalla di dusun tersebut. Mereka akan melakukan catur bratase panjang Rabu, 9 Maret, hingga Kamis, 10 Maret, sementara warga muslim berencana menggelar salat gerhana matahari pada hari yang sama.

“Kami akan salat seperti biasa, hanya pengeras suaranya diperkecil dan tak terlalu lama saat menggunakan pengeras suara,” kata Sukri, warga Muslim di Dusun Karang Tengah, Senin 7 Maret.

Dusun ini memiliki 161 KK dengan sekitar 800 jiwa dan lebih dari 70 persen di antaranya beragama Hindu. 

Membakar Ogoh-Ogoh

Pada Selasa, 8 Maret 2016, warga Hindu akan melakukan upacara Taur Agung Kesanga di lapangan desa setempoat . Ada puluhan boneka kertas berukuran besar atau ogoh-ogoh dengan berbagai bentuk menyeramkan dibuat sendiri oleh masing-masing penduduk. Tiruan dari Buta Kala atau unsur alam yang negatif itu berbentuk beragam. Ogoh-ogoh akan dibakar sebelum umat Hindu memulai puasa menjelang nyepi, pada Rabu petang hingga Kamis petang.

“Maknanya kami memohon batara kala atau unsur negatif di alam tidak mengganggu kami saat melakukan Nyepi,” kata Sucipto, Kepala Dusun Karang Tengah Senin.

Warga juga akan memasang takir atau sesajen di setiap sudut desa sepanjang Selasa. Isinya beras yang dimasak dengan lima warna, yaitu hitam, putih, merah, kuning dan dadu atau gabungan dari empat warna itu. Ada pula potongan rempah, air dan daun serta dupa mengisi wadah takir dari daun pisang, sarana yang disebut berasal dari budaya lokal Malang,

“Hindu itu mengenal ajaran Desa Kala Patra. Desa berarti tempat, kala itu waktu dan patra adalah situasi. Sarana ibadah disesuaikan dengan situasi yang berkembang di tempat itu, tetapi untuk doa dan ajaran Hindu harus sesuai dengan kitab,” katanya. 

Pada Rabu, umat Hindu akan melakukan ibadah catur brata, berpuasa dari empat hal yaitu api atau cahaya, tidak bekerja, tidak bepergian dan tidak mendengarkan atau melakukan hiburan duniawi. Warga Hindu kebanyakan akan berdiam diri di rumah atau di pure untuk memperbanyak ibadah sejak pukul 00:00 Rabu 9 Maret 2016 hingga pukul 00:00 Kamis 10 Maret 2016.

“Kami akan berada di rumah selama 24 jam itu, pemuda biasanya berkumpul di pure untuk beribadah,” kata Sucipto, Kepala Dusun Karang Tengah. 

Warga Karang Tengah merangkai janur untuk penjor. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka  Sepanjang Nyepi itu, warga Muslim dan agama lain di Karang Tengah tetap melakukan kegiatan masing-masing. Masjid tetap menyuarakan panggilan salat lima waktu dalam sehari. Hanya saja ada yang berbeda saat Nyepi sedang berlangsung di kampung itu.

“Biasanya suaranya lebih kecil dan waktu menggunakan pengeras suara juga lebih pendek. Kalau mereka mau salat gerhana pada Rabu pagi ya silahkan saja, kami tidak mempermasalahkan hal itu, namanya juga beribadah,” kata Sucipto.

Selain suara, masjid juga bertoleransi saat menyalankan lampu pada malam hari. Lisrik akan menyala saat salat Magrib dan Isya saja. Seperti halnya lampu penerangan di jalan protokol yang hanya menyala hingga pukul 00:00 sebelum dimatikan oleh warga setempat.

“Bentuk toleransi dari warga, lampu jalan protokol juga ikut dimatikan saat tengah malam. Kalau rumah kami semua pasti padam lampunya,” lanjutnya.

Anjangsana Setelah Nyepi

Usai Nyepi, pada Kamis 10 Maret, warga Hindu akan bersembahyang ke Pure terbesar, di antaranya di Candi Badut, Kabupaten Malang untuk melangsungkan upacara Ngembak Geni, menyalakan api kembali untuk beraktivitas setalah menjalani nyepi.

Di kampung Karang Tengah, warga juga saling mengunjungi satu dengan yang lain. “Ini seperti hari raya Idul Fitri, kami mengunjungi tetangga kami yang Muslim. Saat Nyepi mereka yang mengunjungi kami, tujuannya sama untuk meminta maaf dan saling memaafkan,” tuturnya. 

Tak hanya anjangsana, warga juga saling mengirim makanan kepada tetangganya. Ada opor ayam dan berbagai masakan lain yang sering ada saat hari raya Idul Fitri.

Warga Hindu juga menggunakan janur saat merayakan Nyepi. Meskipun bentuknya berbeda. Janur dipasang sebagai penghias penjor di depan rumah dan pada sesaji, sementara saat Idul Fitri janur digunakan untuk membungkus ketupat.

“Nyepi adalah hari raya besar kami, seperti Idul Fitri untuk muslim,” urai Sucipto.  

Menurutnya, tradisi itu sudah berlangsung turun temurun saat pertama kali agama Hindu masuk di tahun 1960 an, hingga saat ini. “ Dulu Kepala Desa pertama orang asal Tengger, beliau beragama Hindu. Setelah itu banyak warga yang beragama Hindu hingga saat ini,”urainya.  – Rappler

BACA JUGA:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!