Tiga krisis yang membelit Rakhine, Myanmar

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tiga krisis yang membelit Rakhine, Myanmar
Di sini tinggal komunitas tanpa status kewarganegaraan terbesar di dunia, termasuk Muslim Rohingya

JAKARTA, Indonesia — “Kecuali ada upaya yang terpadu, yang dipimpin oleh pemerintah dan didukung oleh semua sektor dan masyarakat, segera diambil, ada risiko kembalinya siklus kekerasan dan radikalisasi, yang akan memperparah kemiskinan kronis yang menimpa Rakhine State,” kata Kofi Annan, ketua Komisi Penasihat untuk Rakhine State.

Mantan sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa itu menyampaikan kalimat itu dalam bagian awal dari laporan final Komisi Penasihat untuk Rakhine State, yang diterbitkan pada tanggal 24 Agustus 2017, atau setahun setelah State of Counsellor Myanmar, Aung San Suu Kyi, membentuk komisi ini pada 23 Agustus 2016.  

Pemerintah Myanmar yang kini dikuasai partai pimpinan Daw Suu Kyi membentuk komisi beranggotakan sembilan orang, enam di antaranya warga Myanmar.  Kofi Annan yang mendukung komisi ini lewat yayasannya, didapuk menjadi ketua komisi.

Laporan akhir itu menggarisbawahi sejumlah masalah, mulai dari isu struktural yang menjadi penghalang, sampai perdamaian dan kemakmuran Rakhine State, sebuah wilayah pesisir yang ada di bagian barat Myanmar, dan dibatasi oleh pegunungan dari area pusat pemerintahan.

Sejumlah rekomendasi Komisi fokus secara khusus kepada verifikasi status kewarganegaraan, kesetaraan di depan hukum, dokumentasi, pengungsi yang harus meninggalkan rumah dan tinggal di tempat lain,  sampai pembatasan atas kebebasan mobilitas yang menimpa populasi muslim.  

(BACA : CEK FAKTA, Siapa Muslim Rohingya dan mengapa mereka dimarjinalkan?)

Laporan dibuat atas konsultasi dan pertemuan yang dilakukan Komisi sejak September 2016. Komisi melakukan perjalanan secara ekstensif dari Rakhine State, Yangon dan Naypytaw, Indonesia, Thailand, Bangladesh dan Jenewa.

“Komisi telah memberikan rekomendasi yang jujur dan konstruktif yang menurut kami akan memicu perdebatan,” ujar Kofi. “Begitupun, jika (rekomendasi) diadopsi dan diimplementasikan dengan semangat yang dikandungnya, saya sangat percaya bahwa rekomendasi yang kami sampaikan, sejalan dengan isi laporan sementara, dapat menjadi jalan menuju perdamaian yang langgeng, pembangunan, dan penghargaan terhadap peraturan dan hukum di Rakhine State,” kata Kofi.

(BACA : Menlu Retno Marsudi bertemu tokoh Islam sebelum ke Myanmar untuk sampaikan pesan kepada Aung San Suu Kyi)

Komisi juga mengusulkan diangkatnya posisi setingkat menteri yang tugasnya mengkoordinasikan kebijakan untuk Rakhine State, dan memastikan implementasi secara efektif dari rekomendasi Komisi Penasihat Untuk Rakhine.

Tiga Krisis Membelit Rakhine 

Dalam bagian pengantarnya, Kofi menyampaikan rangkuman atas tiga krisis yang membelit Rakhine State, yang berpenduduk sekitar 3,6 juta orang.  Mayoritas beragama Muslim, dan sisanya beragama Buddha.  

Di seluruh Myanmar yang berpenduduk  52,7 juta pada 2016, diperkirakan ada 1,33 juta warga beragama Muslim. Mayoritas beragama Buddha.

Pertama, Rakhine mencerminkan krisis pembangunan. Hal ini ditandai oleh kemiskinan yang kronis. Penduduk yang sengsara dan ketinggalan di semua lini dibandingkan dengan rata-rata kondisi penduduk Myanmar. 

Konflik yang berlarut-larut,  kepemilikan lahan yang tidak jelas dan kurangnya peluang mengakses kebutuhan hidup, menyebabkakan migrasi ke luar area yang signifikan. Ini mengurangi jumlah tenaga kerja dan menjadi kendala prospek pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Pembatasan pergerakan populasi Muslim yang notabene penduduk mayoritas di Rakhine, mempersulit pembangunan ekonomi. Laporan final menyebutkan, kegagalan memperbaiki hubungan antar komunal, segregasi atau pemisahan yang dipaksakan dan ancaman kekerasan dan instabilitas mencegah investasi swasta masuk ke kawasan itu.

“Meskipun Rakhine kaya akan sumberdaya alam, pembangunan yang dilakukan oleh industri ekstraktif seperti investasi di sektor minyak dan gas di Kyawpyuh belum menciptakan jumlah pekerjaan baru dan manfaat lain bagi penduduk lokal,” demikian catatan Komisi.

Baik masyarakat Rakhine maupun masyarakat Muslim merasa dimarjinalkan dan dilucuti peluangnya oleh keputusan yang diambil di Naypyitaw, ibukota pemerintahan Myanmar.

Kedua, Rakhine juga mencerminkan krisis hak-hak asasi manusia. Di mana semua kelompok masyarakat sengsara dari kekerasan dan pelanggaran HAM, status tanpa kewarganegaraan yang berlarut-larut dan diskriminasi yang luar biasa, telah membuat masyarakat Muslim terutama, rentan terhadap pelanggaran HAM.

“Sekitar 10% penduduk dunia yang tak memiliki kewarganegaraan tinggal di Myanmar, dan warga  di Rakhine adalah komunitas tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia,” demikian laporan itu.

Masyarakat Muslim di Rakhine berhadapan dengan berbagai pembatasan, yang menyebabkan kesulitan mengakses kebutuhan hidup mendasar dan banyak kebutuhan yang diperlukan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Sekitar 120.000 orang masih tinggal di kamp pengungsian karena terusir dari tempat tinggal mereka akibat konflik. “Masyarakat Muslim di Rakhine ditolak keberadaan perwakilannya secara politik, dan praktis dikucilkan dari struktur politik Myanmar,” demikian temuan Komisi Kofi Annan.

Upaya pemerintah pusat untuk memverifikasi klaim kewarganegaraan gagal mendapatkan kepercayaan dari baik Muslim maupun masyarakat Rakhine.

Ketiga, Akhirnya, Rakhine adalah krisis keamanan.

Sebagaimana disaksikan oleh komisi ini dalam sejumlah pertemuan konsultasi di Rakhine State, semua komunitas memiliki rasa ketakutan yang mendalam, akibat trauma kekerasan yang terjadi pada tahun 2012. Trauma itu membekas dalam benak semua orang.

Manakala pengucilan terhadap warga Muslim berlanjut, masyarakat Rakhine khawatir dengan prospek menjadi minoritas dalam negara di kemudian hari. Segregasi memperburuk prospek saling memahami antar pihak.

(Baca:  Kontribusi Indonesia bagi Myanmar)

Komisi mengingatkan Pemerintah Myanmar harus meningkatkan upayanya memastikan agar semua komunitas merasa aman dan dalam melakukan hal itu, menciptakan kembali hubungan erat antar komunitas.

“Waktu saja tak akan mengobati Rakhine. Kecuali tantangan yang ada saat ini ditangani secara segera, radikalisasi dalam kedua komunitas adalah risiko yang nyata,” ujar Kofi Annan.

Setelah penyerangan pos polisi

Dalam laporan final, komisi mengingatkan situasi krisis yang  mendesak untuk ditangani terutama di bagian utara Rakhine State, di mana muncul kelompok militan yang menyerang tiga pos polisi pada 9 Oktober 2016.  

Tindakan ini memicu operasi militer dan polisi dan menyebabkan puluhan ribu Muslim harus meninggalkan kawasan mencoba menembus perbatasan untuk menyeberang ke Bangladesh. 

Mereka berjuang menyelamatkan diri dan keluarganya. Sebagian tenggelam di laut dalam upaya menuju tanah tempat mereka hendak menumpang hidup.

“Myanmar memiliki semua hak untuk mempertahankan teritorinya, tetapi respon besar-besaran secara militer tidak bakal membawa perdamaian di kawasan itu,” demikian Komisi. 

Yang diperlukan adalah pendekatan terukur yang mengkombinasikan antara pendekatan politik, pembangunan, keamanan dan hak-hak asasi manusia, untuk memastikan bahwa kekerasan tidak meningkat dan tensi antar komunitas bisa dikendalikan.

Kofi Annan mengingatkan, “Jika kesengsaraan yang wajar dari populasi lokal dianggap sepi, mereka akan rentan direkrut oleh ekstrimis.”

Komisi juga menyatakan, “Menangani pembangunan dan krisis kemanusiaan akan membantu tangani krisis keamanan.  Menyelesaikan tiga krisis yang membelit Rakhine, yang saling berkaitan satu sama lain, adalah tantangan besar bagi setiap pemerintahan.  Sangat penting untuk mengakui bahwa Rakhine adalah satu dari sejumlah konflik yang sedang terjadi di Myanmar.”

Annan menggarisbahwahi pentingnya untuk menghargai inisiatif yang telah diambil pemerintahan ini dan pemerintahan sebelumnya untuk mengagani masalah di Rakhine.

Pada tanggal 16 Maret 2017, Komisi Rakhine memasukkan laporan sementara, dengan titik berat pada tantangan yang mendesak yang dihadapi Rakhine State. 

Di sana direkomendasikan, para pemimpin politik dan militer perlu membuat visi positif tentang masa depan Rakhine: kesejahteraan ekonomi, keamanan dan kenyamanan, di mana semua komunitas menikmati hak-hak dan kemerdekaan yang mereka layak dapatkan.  Visi yang lebih besar tentang identitas nasional, yang mendapatkan kekuatan dari kemajemukan, harus dibuat.

Pembangunan di Rakhine bukan sebuah permainan menang dan kalah, dan kawasan itu hanya akan maju melalui kebijakan yang inklusif dan terintegrasi.  

“Pertanyaannya bukan apakah mashyarakat Rakhine dan Muslim akan hidup berdampingan bersama, tetapi bagaimana mereka akan hidup berdampingan bersama.  Penyatuan kembali, bukan pemisahan, adalah jalan terbaik untuk stabilitas jangka panjang dan pembangunan di Rakhine,” demikian bagian awal dari laporan final Komisi Annan untuk Rakhine State. – Rappler.com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!