Pesantren gelar nobar film G30S, para santri protes pemotongan adegan

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pesantren gelar nobar film G30S, para santri protes pemotongan adegan
Dandim Zainur Bahar mengatakan pemotongan dilakukan supaya para santri tidak ketakutan

 

SEMARANG, Indonesia – Tak seperti biasanya, Farid Lutfi tampak terburu-buru menuju halaman Pondok Pesantren (Ponpes) Sunan Gunung Jati Ba’alawy di Kampung Malon Gunungpati, Semarang pada Jumat petang, 22 September.

Di halaman pesantren, para santri sudah berkumpul untuk menyaksikan pemutaran film tragedi Gerakan 30 September (G30S). Belasan anggota TNI tampak membaur di tengah kerumuman para santri.

Tak lama kemudian, film yang dinantikan diputar pihak panitia.

“Pertama kali menonton kelas VI SD. Awal-awal sangat takut, apalagi ada adegan mata para jenderal disilet. Makanya sekarang mau nonton lagi kayak apa filmnya,” kata Farid kepada Rappler di sela pemutaran film besutan Arifin C Noer tersebut.

Farid menganggap film G30S cukup penting untuk diputar kembali karena memuat sejarah dan politik bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan bidang studinya di Jurusan Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang (Unnes).

Muhammad Faiz Zainal, seorang santri lainnya, berpendapat beda. Semula, dia yang baru pertama kali menyaksikam film G30S itu berharap bisa menonton sampai tuntas agar dapat menggali sejarah yang sebenarnya.

Namun apa yang ditampilkan justru sebaliknya. Santri 16 tahun tersebut menyoroti banyak adegan yang dipotong sehingga membuat cerita film G30S menjadi membingungkan.

“Saya malah bingung. Banyak yang disingkat-singkat, tadi yang dibunuh dan ditembaki itu siapa juga ndak mudeng,” kata pria asal Purwodadi ini.

Ia mengaku kecewa karena pihak panitia memangkas durasi film G30S. Sejumlah santri bahkan tak segan memprotes ulah pihak panitia saat film itu selesai diputar.

“Sadis, sadis,” teriak seorang santri tatkala film G30S telah selesai diputar.

Di samping itu, terdapat sejumlah santri yang tertidur pulas karena menganggap film itu sangat membosankan. “Bosan, Mas. Jadinya saya malah ngantuk,” timpal Ahmad Fauzan, salah seorang santri.

Durasi film tiba-tiba dipangkas

Dandim 0733/BS Letnan Kolonel Zainur Bahar membenarkan adanya pemangkasan durasi film G30S yang diputar di Ponpes Sunan Gunung Jati. Ia menyampaikan pemangkasan durasi dari tiga jam menjadi satu jam 10 menit itu dilakukan supaya para santri tidak ketakutan. 

“Tapi tetap tidak mengurangi makna sejarahnya. Mereka bebas menonton,” kilahnya.

Jika ada santri yang kecewa dengan film G30S, kata Zainur Bahar, pihaknya tidak mau disalahkan sebab tujuan pemutaran film itu hanya untuk mengingatkan sejarah saja.

“Saya ingin memperkokoh tegaknya NKRI yang berazaskan Pancasila. Mungkin ini jadi pengalaman yang baik buat para satri di sini untuk memperdalam sejarah pemberontakan PKI,” terangnya.

Ia menuturkan acara nonton bareng film G30S bertujuan menyikapi ancaman paham komunisme yang mulai merongrong persatuan rakyat Indonesia.

Paham komunis, menurutnya sudah menyusup dalam sendi kehidupan bernegara dan berbangsa. Ini yang ia maksud sebagai proxy war. Maka dari itu, saat diputar ulang, anggota BAIS, kelompok pemuda desa dan tokoh-tokoh agama juga turut menyaksikannya.

“Demi meningkatkan jiwa patriotisme serta mengingatkan lagi bahwa negara ini punya sejarah pahit, kami memutuskan memutar ulang film G30S di semua kecamatan sesuai instruksi Panglima TNI,” ujar Zainur.

Dengan luas lautan 5,8 kilometer persegi ditambah kemajemukan suku dan ribuan pulau, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi bangsa terbesar di dunia. Sehingga, kemajemukan luar biasa itulah yang patut dipertahankan.

“PKI dengan komunisnya pernah melukai bangsa ini. Mereka memberontak tahun 1948 dan 1965 silam. Dan saat ini ajaran tersebut disusupkan lagi. Saya rasa harus ditanamkan lagi pedoman dan perekat yang kuat yakni Pancasila sebagai ideologi bangsa,” kata Zainur.

Perangi komunisme

KH Muh Nasroni, sebagai Pengasuh Ponpes Sunan Gunung Jati Ba’alawy, menjelaskan dengan memutar ulang film itu, pondok pesantrennya tetap eksis menjaga keutuhan NKRI bersama personel TNI.

Selain itu, ia ingin menanamkan jiwa nasionalisme dalam benak para santrinya. Karena itu dia beranggapan film yang memuat adegan penumpasan PKI sangat layak ditonton meski para santrinya masih di bawah umur.

“Kita putar lagi di sini agar tidak ternoda dengan penyebaran ajaran komunisme. Sebab, saya khawatir jika tidak bersatu maka cinta tanah air dalam diri kita akan luntur,” kata Nasroni.

Ia berharap pemutaran film G30S mampu meningkatkan disiplin para santri dan menumbuhkan rasa cinta tanah air.

“Banyak pendahulu kita yang menjadi korban keganasan PKI. Jangan sampai kita teraniaya karena negara kita jadi korban kebiadaban mereka pada masa mendatang,” ujar Nasroni lagi.

“Kepada semua santri, saya mengimbau agar jangan mudah terprovokasi oleh informasi yang vulgar. Kita harus punya filter yang kuat agar jati diri kita tidak disusupi paham komunisme,” sambungnya.

Ia mencontohkan ada banyak informasi yang mencerminkan ajaran komunis. Dengan merujuk pada pembicaraan yang berkembang di tengah masyarakat, ia menyebut slogan Revolusi Mental merupakan salah satu contohnya.

“Yang namanya Revolusi Mental. Kita dianggap tidak punya mentalitas lagi. Akhirnya dengan mudah dimasuki ajaran komunisme yang baru. Inilah yang diwaspadai,” jelasnya.

Ia melanjutkan masih banyak jargon-jargon yang diusung pejabat pemerintah daerah saat ini yang dianggap tidak tepat. Banyak ucapan yang dilontarkan pejabat saat ini dituding telah memancing kemarahan umat Muslim. Akibatnya ketidakpercayaan rakyat terhadap pimpinan meningkat dan memicu penyebaran fitnah.

“Ciri-ciri menyusupnya paham komunis sudah nyata. Masyarakat harus waspada mulai sekarang,” tegasnya. – Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!