Merayakan kesendirian di Hari Raya Idul Fitri

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Merayakan kesendirian di Hari Raya Idul Fitri

EPA

Sendiri ketika Idul Fitri di Jakarta lebih baik daripada memasang senyum palsu, setidaknya menurut blogger ini. Pandanganmu?

 

Saya benci lebaran. Entah mengapa Idul Fitri seolah menjadi parade kemunafikan. 

Saya bertemu orang-orang yang tidak saya kenal, memasang muka mainan, terpaksa tersenyum seraya mengucapkan lahir batin. Mereka, orang yang hanya saya temui setahun sekali, orang-orang asing yang entah dari mana asalnya, meminta maaf kepada saya untuk kesalahan yang saya tidak tahu kapan terjadi.

Lebaran, bagi saya, semestinya tentang berpikir apakah saya sudah menjadi orang yang lebih baik daripada sebulan lalu. 

Ibu saya adalah orang yang paling bersedih ketika Ramadan berakhir, awalnya saya pikir ibu berlebihan dan sedang melodramatis. Tapi ibu saya serius, ia merasa bahwa hanya ketika Ramadan saja ia bisa demikian total beribadah tanpa mesti memikirkan dunia. Saya tidak pernah paham apa maksudnya, tapi saat lebaran, ketika saya mencium tangan keriputnya untuk meminta maaf, mata ibu saya memerah dan berair. Saya tahu ibu saya tidak rela meninggalkan Ramadan.

(BACA: Ibu dan Ramadan)

Sudah dua tahun terakhir saya tidak pulang merayakan lebaran di kampung halaman. Saya memilih untuk tinggal di Jakarta sendirian. Saya memutuskan tinggal bukan karena tidak rindu ibu dan keluarga, atau tidak ingin bertemu teman-teman. Saya malas untuk kemudian mesti bertemu orang-orang menyebalkan dengan pertanyaan-pertanyaan menyebalkan. 

Kapan kawin? Kenapa pacaran beda agama? Kenapa membela Syiah dan Ahmadiyah? Dan sebagainya dan sebagainya. Mereka tidak pernah meminta jawaban. Mereka sedang menghakimi, apapun jawaban yang saya berikan, mereka tidak akan pernah puas.

(BACA: Jawaban untuk pertanyaan ‘Kapan kawin?’)

Pulang ke rumah setelah bekerja di perantauan barangkali adalah bentuk lain kemewahan. Tapi tidak semua orang punya kemewahan untuk bisa menghadapi keluarga besar. Tapi lebaran, juga setiap kepulangan yang lain, selalu membawa kita pada kondisi apa boleh bikin. Bertemu dengan kawan lama, sahabat lama yang bisa jadi lebih baik, tetap di tempat atau mengalami dekadensi pemikiran yang mengerikan. 

Seorang kawan baik baru-baru ini meminta saya berhenti membela Islam Nusantara, karena ia adalah bentuk Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tidak laku. Ketika ini terjadi, Anda bisa memilih antara mengiyakan atau bahkan menentang. 

Bagi saya sendiri, ada beberapa hal yang memang bisa ditoleransi, dinegosiasikan, dan dibiarkan untuk sesuatu yang lebih baik. Kawan saya ini terlalu berharga untuk sebuah perdebatan atas nama paham yang bahkan saya tidak terlalu setuju keberadaannya.

Di Jakarta ketika Idul Fitri membuat kota ini menjadi demikian manusiawi, jalanan menjadi lengang, udara sedikit lebih baik, kebisingan berkurang, dan tentu saja menjadi sedikit lebih sepi. 

Tapi hey, kesepian dan kesunyian adalah dua komoditas penting di Jakarta. Menjadi sepi dan sunyi barangkali adalah kemewahan yang tidak bisa dimiliki oleh setiap orang. Anda bisa mendapatkan itu ketika lebaran tiba, ketika para perantau pulang ke rumah masing-masing, ketika para pengadu nasib memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. 

Tentu kesepian itu mengerikan. Sendiri di Jakarta tanpa ada keluarga. Tapi saya kira itu harga yang pantas dibayarkan untuk sebuah ketenangan. 

 Jutaan masyarakat Indonesia mudik ke kampung halaman untuk rayakan Hari Raya Idul Fitri. Foto oleh EPA

Lebaran di kampung bisa jadi lebih ramai daripada Pekan Raya Jakarta. Saat di mana seluruh keluarga besar datang, kawan-kawan SD, SMP, SMA mampir. Tentu ada yang rindu, tentu ada yang ingin tulus bertemu denganmu karena sekian tahun tak jumpa. Namun, beberapa dari mereka ingin bertemu karena ingin membandingkan kesuksesan, membandingkan nasib, atau bahkan menertawakan kesialan orang lain.

Pun mereka yang pulang terkadang ingin menunjukan bahwa mereka telah satu derajat lebih kota daripada mereka yang memutuskan tinggal di kampung halaman. Bahwa kota telah membuat mereka menjadi modern, maju, dan bermartabat. Seolah-olah tinggal di kampung halaman zaman akan berhenti, pemikiran mandeg, dan informasi tersendat. Kepongahan yang kerap hinggap di beberapa orang kota yang kena tempeleng gaya hidup urban kekinian.

Jakarta kehilangan beban ketika lebaran tiba. Gedung-gedung perkantoran menjadi lengang, pasar sepi, dan tiba-tiba kita menjadi jatuh cinta pada kota ini. Kota yang membuatmu berharap agar kelengangan dan kesepian ini abadi. Pembangunan dihentikan dan pohon-pohon menjadi rimbun. 

Tapi tentu saja ini mustahil. Jakarta adalah kerakusan itu sendiri. Kota ini menggusur penduduk aslinya hingga ke perbatasan, menghilangkan identitasnya untuk kemudian dipaksa terpuruk karena tidak mampu bersaing dengan para pendatang.

(BACA: Pernahkah kamu jatuh cinta pada Jakarta?)

Sudirman, Kuningan, Gatot Subroto, Tendean, dan seluruh simpul kemacetan Jakarta terurai. Tidak ada lagi umpatan motor goblok, mobil setan, Metro Mini sialan, dan sejenisnya. Para pengendara bernyanyi riang mengikuti irama radio, beberapa bersiul-siul, pengendara roda dua menjadi berakal, angkutan umum tidak lagi penuh sesak dengan penumpang. Sebuah utopia yang telah berpuluh tahun ingin dicapai berbagai gubernur hanya bisa tercapai ketika lebaran tiba.

Malam lebaran di Jakarta petasan bertebaran seolah menjadi alat komunikasi. Kampung-kampung beradu ledakan, warna-warni kembang api menghadirkan imaji bahwa kota ini masih sedikit waras. Penduduknya bergembira, kampung-kampung menjadi hidup dengan pertemuan-pertemuan. 

Jalanan Jakarta lengang saat lebaran. Foto dari Twitter/@TommyPrabowo

Hari Raya di Jakarta adalah penanda bahwa orang Betawi masih ada, mereka masih hidup, bertahan, dan tetap menjaga tradisi mereka. Memanusiakan manusia, memuliakan tamu, dan menghargai saudara.

Pernahkah kamu merayakan lebaran bersama orang-orang Betawi di Jakarta? Keramahan mereka, ketulusan mereka, juga tawaran yang tak mungkin Anda tolak untuk menikmati hidangan yang mereka buat.

Jakarta ketika lebaran adalah sebuah pemandangan yang lain, yang membuat anda akan merasa bahwa, “Ah, ibu kota tidak membuat manusia menjadi kejam”. Ibu kota masih menyediakan manusia-manusia tulus yang mau menerima tamu, yang mau memuliakan mereka yang ditinggalkan dan sendirian.

Sendiri ketika Hari Raya di Jakarta membuatmu berpikir lebih banyak dan lebih panjang. Kesepian mengajarkanmu untuk menghargai kebersamaan. Sementara kesunyian membuatmu belajar memuliakan pertemuan. Kota ini demikian kejam pada mereka yang lemah hati, namun pada saat yang sama mengajarkan kita tentang pentingnya menjadi manusia. 

Sendiri di Jakarta ketika lebaran bisa jadi menyedihkan. Ketika Anda sedang jatuh cinta, merindu, atau bahkan berharap. Kesendirian adalah karib paling baik dari rasa pedih. Jakarta menghadirkan banyak kesempatan, tapi juga menyediakan banyak kekecewaaan. 

Kamu bisa saja pura-pura optimis dan getir dengan menuliskan sebuah artikel tentang betapa munafiknya perayaan lebaran di kampung halaman, padahal jauh di dalam hatimu, kamu berharap bisa pulang untuk merayakan lebaran bersama orang yang kamu sayang. 

Ah, tapi siapa sih yang tidak suka pura-pura? —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!