Rumah untuk pulang

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Rumah untuk pulang
Bagaimana rasanya terusir dan kemudian dianggap penyakit yang mesti dibersihkan?

Bagi beberapa orang, rumah adalah tujuan, sementara bagi yang lain rumah adalah impian.

Bagaimana membayangkan seorang manusia atau bahkan satu keluarga tanpa rumah? Bisakah mereka hidup layak? Saya masih belum bisa membayangkan jika saya menjadi pengungsi Ahmadiyah di Lombok yang telah 10 tahun menjadi pengungsi tanpa kepastian.

Saya juga barangkali tidak bisa membayangkan menjadi pengungsi Syiah di Sampang, Madura. Mereka yang terusir, menjadi pariya di tanah kelahirannya sendiri.

Mereka dahulu memiliki rumah, tempat tinggal yang meskipun sederhana dan bobrok adalah milik sendiri. Bagaimana rasanya terusir dan kemudian dianggap penyakit yang mesti dibersihkan?

Masalah tanah di negara ini demikian mengerikan. Anda bisa saja terusir atas nama pembangunan, bisa saja diusir atas nama iman dan yang mengerikan dipaksa pindah dengan kekerasan atas nama kepentingan bangsa.

Sebenarnya, apa sih kepentingan bangsa itu? Bagaimana cara mengukur sebuah kepentingan lebih tinggi atau lebih rendah dari kepentingan yang lainnya?

Saya masih belum bisa membayangkan jika saya menjadi pengungsi Ahmadiyah di Lombok yang telah 10 tahun menjadi pengungsi tanpa kepastian.

Pengusiran bisa melalui banyak cara. Perebutan ruang dan tanah telah menjadi pertikaian abadi di Papua perlahan tanah adat direbut satu persatu atas nama pembangunan.

Kita tentu kerap melihat visualisasi masyarakat Papua yang berpakaian lusuh, berladang seadanya, atau kadang serangkaian foto yang diklaim sebagai kemiskinan Papua menjadi dalih untuk mendukung pemerintah melalui program “pengentasan kemiskinan”.

Tapi konteks dan pemahaman kita tentang kondisi sosio-historis Papua dan Jawa membuat kita kerap tidak adil. Kita menganggap bahwa hidup layak adalah memiliki rumah berdinding semen, beralas keramik, dengan makan tiga kali sehari menggunakan nasi.

Maka ketika kerangka itu diterapkan kepada masyarakat Papua, atau Suku Anak Dalam misalnya, jelas kita akan menganggap mereka sebagai orang miskin yang perlu dientaskan.

Tapi apakah itu kemiskinan? Apakah itu kemapanan? Kemiskinan jelas berbeda dengan gaya hidup.

Ketika masyarakat adat yang sudah ada jauh sebelum republik ini merdeka dipaksa mengikuti standar kenyamanan modern, hasilnya tentu mengerikan. Mereka bisa saja kehilangan identitas kultural dan yang paling mengerikan dianggap sebagai beban.

Semestinya kita bisa membedakan antara kemiskinan dan kebudayaan hidup. Bahwa beberapa masyarakat telah mapan dengan tradisi berburu, memakan hasil hutan, dan juga berpakaian seadanya.

Ketika sumber kehidupan Suku Anak Dalam terhimpit karena rakusnya sawit, mereka kemudian dipaksa mapan dengan standar hidup masyarakat kota. Kita tentu punya rasa iba, beri saja mereka rumah tinggal, diberi beras, dan diberi pekerjaan, seolah-olah itu adalah obat mujarab penyembuh masalah.

Dalam sebuah sengketa tanah, misalnya, satu keluarga dipaksa pindah ke tempat yang oleh satu kelompok mapan dianggap tempat yang baik. Tapi apakah tempat yang baik itu selalu bisa diterima siapapun? Sebut saja apartemen, kita memberinya rumah ganti, apakah ia siap?

Kita menjerumuskannya dalam masalah baru, membayar biaya hidup lebih mahal daripada sebelumnya.

Pekerjaan yang dahulu dekat dengan rumah, kini menjauh, biaya hidup membengkak, sementara pemasukan tetap. Tidak diduga niat baik membantu ternyata menjadi bentuk lain pemiskinan yang lebih buruk.

Pekerjaan yang dahulu cukup untuk biaya hidup sehari-hari, kini mesti dipotong untuk membayar sewa. Rumah yang dahulu dianggap milik sendiri (tapi ternyata ilegal) sudah hancur dan rata.

Semua yang awalnya setengah mati diperjuangkan untuk bertahan hidup, kini berubah menjadi mati-matian bertahan hidup. Meminjam bahasa sutradara film dokumenter Dandhy Dwi Laksono, seseorang yang tadinya “tinggal makan dan tidur”, harus menempuh jalan yang jauh memutar agar bisa makan dan tidur dengan gaya standar orang lain.

Jika menolak opsi pindah dalam sengketa, kita dihadapkan pada dua pilihan, menyerah dengan kekerasan atau dianggap kriminal pesakitan.

Warga miskin tadi boleh jadi salah, ia menduduki secara ilegal tanah negara dan mengganggu normalisasi Kali Ciliwung pada kasus Kampung Pulo. Sementara di Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah, petani dianggap menduduki tanah milik TNI AD.

Metode penyelesaian keduanya beragam. Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama mencoba dialog, meski pada dasarnya ia telah menentukan vonis.

“Kalau saya ditanya apa HAM Anda? Saya ingin sepuluh juta orang hidup, bila dua ribu orang menentang saya dan membahayakan sepuluh juta orang, (maka dua ribu orang itu-red) akan saya bunuh di depan Anda,” kata Ahok.

Sementara Pangdam Diponegoro mengancam dengan kalimat yang samar bahwa “TNI akan bertindak bila warga bertindak”.

Keduanya sama, Anda harus pidah, dengan atau tanpa kekerasan. Jika pilihan damai ditolak, maka jangan salahkan negara menggunakan kekerasan. Tapi apa standar yang bisa disepakati sebuah kekerasan dapat diterima?

Jika kemudian Anda berdalih, “Kan sudah ada pembicaraan damai, ada tawaran pindah, ada ini-itu. Tapi kalau keras kepala, ya jangan protes kalau digebukin,” maka sebenarnya kita tidak sedang bicara sebagai manusia. Kita sebenarnya bicara dengan logika hewan. Jika tidak bisa diperintah halus, maka hajar saja.

Sebuah peradaban atau akal sehat akan menjadi sia-sia ketika alternatif pilihan solusi hanya dibatasi oleh kesabaran gebuk menggebuk.

Kekerasan boleh digunakan apabila:

1. Warga sudah dirayu tapi tak mau

2. Warga sudah dikasih solusi tapi enggak mau

3. Warga sudah diperingatkan tapi tetap tak mau

4. Kita sudah mengancam tapi tetap tak mau

5. Hajar hajar hajar hajar hajar hajar hajar atas nama hukum dan kepentingan publik.”

Beberapa orang beruntung memperoleh rumah pengganti, uang santunan ganti rugi, sementara beberapa yang lain tidak mendapatkan apapun. Kini mereka di ambang batas penantian, terus bertahan dengan stigma salah yang terlanjur menempel, atau memulai hidup baru entah bagaimana caranya. 

Salah satu poin yang membuat saya dan banyak kawan pada pemilu lalu mendukung Presiden Joko “Jokowi” Widodo adalah janjinya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

Sampai hari ini, janji itu sepertinya semakin mustahil digenapi. Impunitas dipertontonkan dan pelanggaran HAM baru dibiarkan — atau pada beberapa kasus — dibenarkan.

Lantas apa yang bisa kita perjuangan dari pemerintah ini? —Rappler.com

BACA JUGA:

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!