SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
JAKARTA, Indonesia—Suti adalah seorang perempuan yang dengan enteng tetapi tegar menyaksikan dan menghayati proses perubahan masyarakat pramodern ke modern yang dijalaninya ketika bergerak dari sebuah kampung pinggir kota ke tengah-tengah kota besar.
Ia bergaul dengan gerombolan pemuda berandalan maupun keluarga priyayi tanpa merasa kikuk, dan melaksanakan apa pun yang bisa mendewasakan dan mencerdaskan dirinya.
Suti terlibat dalam masalah yang sangat rumit dalam keluarga Den Sastro, yang sulit dibayangkan ujung maupun pangkalnya.
Itu adalah penggalan dari Novel Suti karya Sapardi Djoko Damono yang akan diluncurkan hari ini, Sabtu, 21 November, serentak di seluruh Indonesia.
Sapardi sebenarnya merupakan maestro puisi yang lahir 75 tahun silam di Surakarta, tepatnya pada 20 Maret 1940.
Karya-karyanya dinikmati lintas generasi, karena bahasanya yang ringan tapi menyentuh. Ia banyak terinspirasi oleh alam, seperti hujan, daun, dan bunga.
Berikut sajak-sajak Sapardi pilihan Rappler untuk kamu:
“Aku ingin mencintamu dengan sederhana”
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
“Hatiku selembar daun”
Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput
Nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring di sini
Ada yang masih ingin ku pandang
Yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
Sebelum kau sapu taman setiap pagi
“Kuhentikan Hujan”
Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan
Ada yang berdenyut dalam diriku
Menembus tanah basah
Dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga
“Hujan di bulan Juni”
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
“Yang fana adalah waktu”
Yang fana adalah waktu
Kita abadi
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
—Rappler.com
BACA JUGA
- Beradu kata dalam Poetry Slam di Jakarta
- ‘Orang-orang di persimpangan jalan’
- ‘Catatan pinggir nesia’
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.