Indonesia

Kasus Patrialis Akbar, hadiah turun peringkat indeks korupsi 2016

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Survei TII menunjukkan skor CPI Indonesia tahun 2016 naik tipis ke 37, sementara peringkatnya turun ke 90. Perlu lebih serius tangani korupsi politik, korupsi hukum, dan korupsi bisnis

Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar (kanan) terjaring OTT KPK pada 25 Januari 2017. Foto dokumentasi oleh M Agung Rajasa/Antara

JAKARTA, Indonesia – Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif mengatakan bahwa faktor yang mendorong turunnya peringkat indeks persepsi Indonesia (CPI) tahun 2016 adalah indeks penegakan hukum (rule of law). 

Transparency International Indonesia (TII) pekan lalu mengumumkan CPI Indonesia tahun 2016 yang naik satu poin sebesar 37, dibandingkan tahun 2015 yang mendapat skor 36 dari skor tertinggi 100.  Secara global, Indonesia turun peringkat dari 88 tahun 2015 ke peringkat 90 pada tahun 2016, dari 176 negara yang disurvei.

“Tentu saya mensyukuri ada kenaikan satu poin dalam skor CPI. Tapi kenaikan satu poin tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan rumah pemerintah RI masih banyak. Khususnya dalam perbaikan pelayanan publik dan perbaikan, serta peningkatan kualitas aparat penegak hukum kita [polisi, jaksa, dan hakim],” kata Laode ketika dikontak Rappler, sesaat setelah pengumuman oleh TII pada 25 Januari.

Ia menunjukkan catatan dari World Justice Project (WJP) terhadap penegakan hukum di Indonesia, serta menilai penyalahgunaan kewenangan publik pada kalangan eksekutif, yudisial, polisi/militer, dan legislatif.

Sejak tahun 2015, angka dari WJP untuk Indonesia masih tergolong rendah. 

Tahun 2016, International Country Risk Guide (ICRG) memberikan skor 50, World Economic Forum (WEF) 40, IMD 39, Economic Intelligence Unit (EIU) 37, BTI 36, Property and Environment Research Center (PERC) 35, GI 34, dan WJP 26.  

Skor rata-rata global untuk CPI 2016 adalah 43, sementara skor rata-rata untuk Asia Pasifik adalah 44.  Sebagai anggota G-20, Indonesia juga masih tertinggal jauh dibandingkan skor rata-rata anggota G-20, yaitu 54.

Menurut Laode, skor dari WJP yang mengukur ketaatan sebuah negara dalam penegakan hukum menyangkut kinerja polisi, jaksa, dan hakim. Benar saja, beberapa jam sesudah TII mengumumkan peringkat CPI Indonesia, pada hari yang sama, KPK melakukan penangkapan terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar

Patrialis tertangkap tangan oleh KPK menerima uang suap sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura. Uang tersebut diduga terkait dengan judicial review UU No. 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Laode mengatakan bahwa KPK akan berupaya keras agar tahun depan CPI naik signifikan. Di ASEAN, cenderung turun semua. Di atas Indonesia, ada Singapura dan Malaysia yang peringkatnya menurun dibanding tahun 2015.  

Di antara negara Asia Tenggara, skor Indonesia masih berada di bawah Malaysia (49 poin), Brunei (58), dan Singapura (85), tetapi masih berada di atas Filipina (35), Thailand (35), Vietnam (33), Myanmar (28 poin), dan Kamboja (21). 

“Intinya pekerjaan rumah masih banyak. Dukungan presiden, parlemen, dan yudikatif adalah syarat mutlak untuk perbaikan CPI,” ujar Laode. 

Saat wawancara dengan Rappler pada tahun lalu, Laode mengatakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo mendukung target KPK mencapai target CPI dengan skor 50.          

  

Reformasi birokrasi lambat

Laporan TII menyebutkan skor 37 poin ini didapat dari survei yang dilakukan di 10 kota di Indonesia.  Saat mengumumkan survei CPI 2016, Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko mengatakan, skor yang naik satu poin menunjukkan tren positif pemberantasan korupsi.

“Peningkatan lima poin dalam rentang waktu lima tahun dinilai terlalu lambat untuk mencapai target 50 pada akhir 2016,” kata Dadang.

“Peningkatan skor CPI lambat karena pemberantasan korupsi selama ini hanya fokus pada sektor birokrasi saja. Reformasi birokrasi memang berkontribusi terhadap perbaikan integritas layanan publik dan menyumbang kenaikan skor CPI rata-rata 1 poin setiap tahun. Strategi pemberantasan korupsi nasional masih belum memberikan porsi besar terhadap korupsi politik, korupsi hukum, dan korupsi bisnis,” ujarnya.

Ketua Dewan Eksekutif TII Natalia Soebagjo mengatakan, “Dalam konteks peningkatan daya saing dan kemudahan berusaha, fokus pada korupsi birokrasi memang penting, tapi bukan satu-satunya strategi percepatan pemberantasan korupsi nasional”.

“Korupsi birokrasi erat kaitannya dengan korupsi politik, korupsi hukum, dan korupsi bisnis. Praktik korupsi birokrasi hanya gejala (symptom) atas praktik korupsi korupsi politik, korupsi hukum, dan korupsi bisnis yang lebih besar (grand corruption),” ujar Natalia.

ia menyinggung kasus Panama Papers meningkatkan kesadaran publik atas penyalahgunaan perusahaan cangkang untuk menyamarkan korupsi, pencucian uang, dan kejahatan lintas negara.

Panama Papers meningkatkan tuntutan publik agar perusahaan serius mengimplementasikan program antikorupsi, transparan dalam kepemilikan dan struktur perusahaan, dan transparan dalam pelaporan keuangan perusahaan, khususnya dalam kaitan transaksi lintas negara.

“Ketiga tuntutan di atas harus dimasukkan dalam agenda pemberantasan korupsi nasional agar skor CPI bisa meningkat tajam. Sementara itu pada konteks nasional munculnya inisiatif dan target pada program Tax Amnesty diharapkan mampu memberikan kontribusi positif pada nilai-nilai antikorupsi, bukan hanya pada sektor penerimaan negara,” ujar Natalia.

Sektor swasta perlu dibenahi

Dadang menilai, walaupun reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah menyumbang kenaikan indeks persepsi korupsi, lambatnya peningkatan terjadi karena fokus pemberantasan korupsi hanya pada sektor birokrasi dan masih belum menyentuh sektor swasta. 

“Skor 37 ini, akan lebih cepat ke depan lagi tumbuhnya, kalau pembenahan sektor swastanya dilakukan dengan lebih. Sekarang mereka sudah diajak berbenah, perusahaan besar itu mulai membenahi diri, tetapi sebagian besar belum,” ujar Dadang.  

Peraturan Mahkamah Agung yang baru dikeluarkan mengatur tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, menurut Dadang, bisa digunakan untuk membehani sektor swasta.  

Pada November 2016, MA menerbitkan Perma No. 13 tahun 2016 tentang Pidana Korporasi. 

Dalam aturan itu, disebutkan dalam kasus korupsi, perusahaan bisa kena pidana jika terbukti menggunakan sumber daya, fasilitas, stuktur organisasinya untuk menyuap. 

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani sepakat bahwa swasta harus segera dibenahi.  

“Saat ini terlalu banyak wacana untuk kampanye anti-korupsi. Kenyataan di lapangan justru jauh berbeda. Stop korupsi tidak dengan perkataan tapi dengan perbuatan,” kata Shinta kepada Rappler, pada Selasa, 31 Januari. 

Shinta adalah CEO Sintesa Group dan juga ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia.

Anggara Suwahju, peneliti senior pada Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengatakan, Perma saja tidak cukup untuk mengatur pidana korporasi. 

“Mestinya dibuat dalam bentuk undang-undang,” kata Anggara kepada Rappler, Selasa.

Menurutnya, dalam konteks sistem peradilan pidana, perubahan harus dilakukan secara sistemik karena menyangkut hukum acara.  

“Banyak yang perlu diubah untuk mengatasi korupsi di kalangan penegak hukum,” ujar Anggara.  Ia mengatakan, berkaitan dengan pidana korporasi, pemerintah bisa mulai dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam catatan Komisi Yudisial, sejak Januari hingga Mei 2016 sudah ada 11 aparat pengadilan yang terdiri atas tiga pejabat pengadilan dan delapan hakim yang kasusnya mengemuka ke publik atau media, belum lagi yang tidak terjangkau publikasi.  

Ditangkapnya Patrialis Akbar menambah deretan penegak hukum yang terseret kasus dugaan korupsi dan harus meringkuk di tahanan KPK. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!