Nasib Tina dan 226 WNI yang terancam hukuman mati

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Nasib Tina dan 226 WNI yang terancam hukuman mati

EPA

Rencana eksekusi Mary Jane dan 8 terpidana narkoba menyisakan pertanyaan besar soal nasib WNI kita. Validitas data yang diumumkan Jokowi juga dipertanyakan.

 

Ada kasus yang mirip-mirip Mary Jane Veloso, yang hari ini menghadapi jam-jam menjelang eksekusi hukuman mati, gara-gara dijebak menjadi kurir pembawa narkotika. Seorang warga negara Indonesia (WNI) tengah hadapi ancaman hukuman mati di Mahkamah Tinggi Kulai, Johor, Malaysia. ST, demikian inisial WNI itu, menjalani proses hukum di negeri jiran karena menjadi kurir sabu.  

Pemerintah Indonesia menunjuk kantor pengacara Norisah & Co. untuk mendampingi ST dan mengajukan banding untuk membebaskannya dari tuntutan. “ST dikenai tuduhan Peredaran Narkoba (39 B Akta dadah Berbahaya) dengan ancaman hukuman mati,” seperti dikutip dalam keterangan pers KJRI Johor Baru, Malaysia, 16 April 2015. 

Saya membaca berita ini di laman detik.com. Info ini luput dari percakapan publik di media sosial.

Saya mengajak media dan kita semua untuk membangun percakapan intensif di media sosial atas setiap kasus ancaman hukuman mati yang menimpa WNI kita, sehingga nasibnya tidak seperti Mary Jane Veloso, di mana dukungan baru menguat setelah grasi ditolak. Saya membaca, bahkan di internal Filipina, terjadi kritik kencang dari publik atas bagaimana pemerintah Filipina menangani kasus Mary Jane. Lambat. 

Tapi, kita lihat, dalam dua pekan terakhir semua forum, termasuk forum Konferensi Asia Afrika di Jakarta dan Pertemuan Puncak ASEAN di Kuala Lumpur, digunakan Presiden Benigno Aquino III dan Wakil Presiden Jejomar Binay untuk Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.

Saya yakin bahwa organisasi yang sangat gigih mengadvokasi buruh migran kita, seperti Migrant Care, mengikuti semua kasus ini. Kita perlu beri dukungan lebih besar kepada teman-teman di Migrant Care.
Dalam rentang waktu 2009-2014, di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ada 214 kasus WNI yang dibebaskan dari hukuman mati di Malaysia. WNI dituntut hukuman mati di Malaysia umumnya karena kasus pembunuhan atau peredaran narkoba.

Jika malam ini Mary Jane jadi dieksekusi, padahal tak kurang dari Presiden Filipina berbicara langsung kepada Jokowi meminta pengampunan, sulit dibayangkan Jokowi memiliki landasan moral untuk menyelamatkan WNI yang terancam hukuman mati, termasuk untuk ST.  

Kasus lain adalah menyangkut nasib Tina, tenaga kerja wanita yang terancam hukuman mati karena dituduh membunuh  majikannya di Kuching, Serawak, Malaysia. Tina, perempuan di bawah umur asal Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat itu, ditahan polisi diraja Malaysia sejak empat tahun lalu. 

Saat ditangkap, Tina berusia 15 tahun. Awal pekan lalu, 21 April, kakek Tina, Aswandi, meminta pemerintah menyelamatkan cucunya dari hukuman mati. 

Direktur Jenderal Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Muhammad Iqbal mengatakan bahwa saat ini ada 227 WNI terancam hukuman mati. Sebanyak 37 orang di Arab Saudi. Terbanyak di Malaysia, yang memiliki proses litigasi mirip dengan Indonesia. Mereka ada dalam tahapan kasus yang berbeda, tapi dakwaan awalnya termasuk kategori diancam hukuman mati.

Eksekusi mati Karni dan Siti Zaenab di Arab Saudi dilakukan tanpa informasi terlebih dahulu kepada pihak Indonesia. Pemerintah dianggap kurang gigih dalam memperjuangkan nasib TKI yang dihukum mati di luar negeri. Kementerian Luar Negeri membantah, begitu pula Wakil Presiden Jusuf Kalla.  

Validitas data pengguna narkoba

Setelah eksekusi mati bagi terpidana narkoba secara “gelondongan” dalam jumlah besar yang dilakukan pemerintahan Jokowi sejak Januari tahun ini, dan akan berlanjut dengan sembilan orang hari ini, lagi-lagi pertanyaannya, bagaimana argumentasi Jokowi saat memperjuangkan WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri jika pemerintahannya terus melakukan eksekusi mati? 

Jokowi tidak bisa mengelak dengan mengatakan, “Saya tidak mau membicarakan soal hukuman mati lagi, tanya Jaksa Agung,” padahal kewenangan memberikan pengampunan ada di tangannya. Proses hukum dan hukum Indonesia memang masih mencantumkan hukuman mati bagi terpidana narkoba, tetapi sebagai pemimpin dan kepala negara, Jokowi diberikan hak konstitusi untuk menimbang siapa yang layak dieksekusi mati. Jokowi bahkan dalam posisi yang strategis untuk melakukan moratorium hukuman mati, karena menghapusnya perlu perubahan Undang-Undang.

Tapi itu tidak dilakukannya.

Dalam wawancara dengan Al-Jazeera TV untuk 100 Hari Pemerintahan Jokowi-JK presiden mengatakan bahwa sikap kukuhnya untuk menolak grasi terpidana narkoba, yang membuka jalan atas eksekusi hukuman mati oleh kejaksaan, didasari atas kepeduliannya atas masa depan generasi muda kita.  

Jokowi menyebut angka 50 orang tewas setiap hari akibat narkoba. Saat ini ada 4,5 juta dalam rehabilitasi narkoba di Indonesia dan 1,5 juta di antaranya tidak bisa lagi diobati karena sudah kecanduan sangat parah.

Jokowi bahkan meminta dukungan media di Indonesia atas kebijakannya mengeksekusi mati terpidana narkoba.

Saya mengapresiasi maksud baik Presiden Jokowi. Yang saya pertanyakan adalah, dari mana data itu? Asumsinya dari Badan Narkotika Nasional (BNN), sebagai lembaga yang mengurusi soal narkotika, termasuk pencegahan dan penindakan. Jika ada 4,5 juta orang yang tengah direhabilitasi, berapa banyak panti rehabilitasi yang harus disediakan?

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pernah mengatakan, panti rehabilitasi yang ada saat ini hanya mencukupi 8% dari kebutuhan nasional. Dari total 105 unit panti rehabilitasi yang ada di seluruh Indonesia, dua unit dikelola oleh Kementerian Sosial. 

“Masing-masing panti itu sudah dipenuhi 180 pengguna. Jumlah itu tidak mampu tertangani oleh konselor. Seharusnya satu konselor men-cover 10 pengguna, tapi di sini, satu konselor men-cover 45 orang,” kata Khofifah.  

Menggunakan angka yang disampaikan Khofifah, maka kira-kira jumlah pecandu narkorba yang dirawat di panti-panti yang ada 18.900 orang, dari 4,5 juta angka yang disebut Jokowi. Jadi, di mana sisanya dirawat? Di rumah masing-masing? Di pesantren? Bagaimana BNN, atau pemerintah, bisa mengakses mereka? Melalui rukun tetangga? Kelurahan? Rumah Sakit? 

Claudia Stoicescu, kandidat Phd dari Universitas Oxford, di bidang intervensi sosial menulis soal kekhawatiran Jokowi menggunakan data yang salah. Claudia menulis bahwa angka 4,5 juta pengguna narkoba diambil dari proyeksi jumlah pengguna narkotika pada 2013. Proyeksi dikalkukasi oleh Pusat Riset Kesehatan Universitas Indonesia dan BNN, sebagai bagian dari laporan survei penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada tahun 2008. Survei itu melibatkan 2,143 responden.  

Menurut Claudia, angka 4,5 jutaan itu bukan estimasi dari jumlah aktual orang yang tidak bisa mengelola kecanduan dan membutuhkan bantuan (misalnya rehabilitas). Juga tidak bisa digeneralisasi mewakili prevalensi pengguna narkoba di kalangan penduduk Indonesia. Melalui akun @Claudia85, dia berkomentar, “Pemerintah memilih-milih data untuk mendukung pernyataan darurat narkoba dan membenarkan kebijakan yang tidak efektif.”

Saya tertarik mengetahui validitas angka yang disampaikan presiden. Ini menyangkut kredibilitas data yang digunakan kepala pemerintahan. Soalnya, angka-angka ini menjadi alasan mengapa narkoba dianggap sebagai ancaman serius, bahkan Indonesia sudah dinyatakan sebagai “darurat narkoba”.    

Aparat penjara tak juga jera

Tahun 2007, divisi Current Affairs ANTV pernah memenangi Mochtar Lubis Award dan penghargaan khusus dari Asian Television Award atas investigasi “Bisnis Narkoba di Penjara” di program Telisik.

Aparat yang korup dan pengadilan yang korup, menurut saya, adalah penyebab utama mengapa bisnis narkoba ini marak, meskipun pernah ada eksekusi hukuman mati terhadap terpidana narkoba. Jika melihat penangkapan yang terus terjadi dan maraknya bisnis narkoba sampai hari ini, maka bisa dikatakan, bahkan terungkapnya supermarket narkoba di dalam penjara sebagaimana liputan investigasi tahun 2007 itu, tidak menyurutkan minat melakukan dan membiarkan kejahatan yang sama. 

Efek jera bagi pejabat yang harusnya bertanggungjawab atas pelanggaran seperti ini, tidak ada.

Kita tahu dari kasus Freddy Budiman, aparat terlibat. Yang dicokok adalah level sipir. Kepala Lapas sejauh yang diumumkan ke media, cuma dicopot. Menurut saya, jika ditemukan ada bisnis narkoba yang dikendalikan dari dalam penjara, kepala lapas dan semua sipir di sana, masuk kategori berbisnis juga. Hukuman bagi mereka bukan sekedar hukuman administratif seperti dicopot atau pemecatan.

Tapi bahkan Jokowi yang diharapkan membawa angin segar penegakan HAM, memilih jalan pintas: eksekusi. Dor!

Pembenahan pengelolaan penjara narkoba mendesak dilakukan, karena ini akar utama tidak adanya efek jera. Bukan eksekusi hukuman mati. Dalam pertemuan tingkat tinggi Komisi Hak-Asasi Manusia PBB, tahun lalu, Asisten Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa Ivan Simonovic mengungkapkan studi bahwa tidak ada bukti bahwa hukuman mati memberikan efek jera.

Jokowi sia-siakan peluang?

Tahun lalu, Indonesia terpilih lagi menjadi anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2015-2017. Pemungutan suara dilakukan di forum Majelis Umum PBB. “Terpilihnya kembali Indonesia sebagai anggota Dewan HAM merupakan kado istimewa di hari kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo,” kata Desra Percaya, Duta Besar Indonesia untuk PBB, melalui keterangan persnya, saat itu. 

Kado istimewa yang dijawab dengan menyiapkan pasukan penembak mencabut nyawa terpidana, termasuk seorang kurir narkoba.

Kemiskinan adalah soal lain yang menjadi penyebab. Ini yang kita baca dengan mendalam dalam laporan media terkait Mary Jane. Mengapa kasus ini menarik perhatian publik dan dukungan dari lembaga swadaya masyarakat bahkan Komnas Perempuan? Karena kasus ini adalah bukti kasat mata eksistensi kejahatan lain yang juga sulit diberantas selama ini: perdagangan manusia.

Presiden Jokowi punya peluang menjadikan kasus Mary Jane sebagai pintu masuk untuk menggebrak semua aparatnya membongkar kasus perdagangan manusia. Tapi itu tidak dilakukan. Jawaban Jokowi sederhana. Legal formal. “Hormati supremasi hukum. Hormati kedaulatan masing-masing negara.”  

Maka bersiaplah kita untuk mendapat jawaban yang sama kala mencoba memperjuangkan 227 WNI kita yang tengah hadapi eksekusi mati di luar negeri. Masih punya kredibilitaskah kita untuk duduk Dewan HAM ini? 

Pengajar Universitas Indonesia, @RockyGerung berkicau, “Demi HAM semua partisan, setelah menang HAM dihinakan.  Tapi tak satupun berminat pamitan. Politik cendekia seharusnya tak begitu”.

Kita perlu lebih serius membela ST, Tina, dan 225 WNI lainnya, sebelum mereka menjadi Karni, Siti Zaenab, dan Mary Jane, dan terpidana mati lainnya. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!