Gempa Aceh: Lolos dari reruntuhan, Agam kini sebatang kara

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Gempa Aceh: Lolos dari reruntuhan, Agam kini sebatang kara
Keluarga Agam dimakamkan dalam satu lubang yang sama, termasuk adik yang tak pernah dilihatnya

PIDIE JAYA, Indonesia – Namanya Zainul Abdilah alias Agam. Usianya baru 13 tahun. Tapi dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Ayah, ibu, serta dua adik perempuannya tewas tertimbun puing saat gempa 6,5 SR menghantam Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Rabu pagi, 7 Desember 2016.

Dua hari setelah gempa, Rappler menemuinya di Kuta Gelumpang, Desa Teupin Perahu, Meureudu, Pidie Jaya. Memakai kemeja lengan panjang, jejak duka masih tergurat jelas di wajahnya. Sesekali ia melirik reruntuhan puing yang menumpuk tak jauh dari tempatnya berdiri.

Di bawah puing-puing itu ia pernah terjebak selama hampir dua jam. Di bawah puing-puing itu pula ayah (M Nur, 45), ibu (Siti Sahrum, 40), dan kedua adiknya (Intan Sofia, 12 dan Nur Azizah, 5) terkubur. 

“Saya pikir saya tidak akan selamat,” kata Agam mengenang peristiwa mengerikan yang dialaminya pada Rabu pagi itu, ketika gempa meruntuhkan rumah dua tingkat yang selama ini ditinggalinya. 

Saat gempa dahsyat itu terjadi, Agam baru saja bangun dari tidur. Ia terkejut melihat dinding rumahnya bergoyang-goyang. Atap langit-langit seketika ambrol dan jendela lepas dari engselnya. “Mau berdiri ga bisa lagi,” kata Agam.

Dalam hitungan detik, rumah dua tingkat itu ambruk. Agam seketika terjebak di antara tumpukan beton. Gelap langsung menyergapnya. Tak ada yang bisa dilakukannya selain berteriak lirih, “Tolong..tolong..Ma Wa (bibi)..Ma Waa (bibi)..Agam di dalam.”  

Bibi yang dipanggil oleh Agam adalah Nurjana. Ia tinggal tak jauh dari rumah Agam. Saat itu Nurjana juga sedang panik. Gempa membuatnya berhamburan ke luar rumah. Ketika itulah sayup-sayup ia mendengar suara Agam meminta tolong. 

CRIES OF HELP. Nurzana describes the scene right after the quake, explaining the house crumbled and she heard faint voices crying for help. Photo by Diego Mahameru/Rappler

Butuh beberapa waktu bagi Nurjana untuk mencari posisi Agam. Sebab, selain tumpukan beton yang rapat, kondisi saat itu juga masih subuh, masih gelap, dan gempa baru saja memutuskan aliran listrik.

Dengan bantuan cahaya senter, Nurjana kemudian menelusuri setiap celah reruntuhan hingga akhirnya ia bisa memastikan posisi Agam. “Tunggu di situ,” kata Nurjana. 

Wanita berusia 45 tahun ini lantas berlari mencari bantuan. Tak jauh dari lokasi ia menemukan becho atau escavator, alat berat yang biasa digunakan untuk mengeruk. “Tapi operatornya ga ada,” kata Nurjana kebingungan. 

Ia lantas kembali ke tempat Agam tertimbun. Saat itu ia melihat banyak orang berlari ke arah gunung. Dari mereka, Nurjana mendapat kabar ada tsunami. “Saya tidak ikut lari karena keponakan saya sedang terjepit, biar mati saja di sini,” katanya.

Syukurlah, tsunami tak benar-benar datang. Namun Agam masih terjepit. Nurjana akhirnya menemukan operator becho. Satu jam kemudian Agam berhasil dievakuasi. “Masih hidup dia. Cuma lecet tangan dan kaki,” kata Nurjana sedikit lega.  

Namun lepas dari himpitan beton justru membuat Agam semakin terpukul. Sebab, beberapa saat setelah itu, ayah, ibu, dan kedua adiknya ditemukan. Tak satupun dari mereka ada yang masih bernafas. 

“Saya pikir masih hidup, rupanya sudah meninggal,” kata Agam dengan mata berlinang.  

Nurjana mengatakan dirinya sempat mendengar Ayah dan Ibu Agam meminta tolong dari balik reruntuhan. “Saya dengar minta tolong. Bininya sekali, Abang sekali. Setelah itu hilang, nggak ngomong lagi,” kata Nurjana.

RUBBLE. The two-storey house was reduced to rubble by the 6.5-magnitude earthquake. Photo by Natashya Gutierrez/Rappler

Seorang warga yang membantu evakuasi juga mengatakan dirinya sempat mendengar dering telepon ayah Agam dari balik timbunan puing. Ia pun mendengar suara Ibu Agam meminta tolong beberapa kali sebelum akhirnya suara itu lenyap.

“Karena korban tertindih beton, jadi perlu alat berat (untuk mengeluarkannya),” kata warga tersebut. Jika saja alat berat datang lebih cepat, barangkali Agam tak harus kehilangan ayah, ibu, dan kedua adiknya.

Ironisnya, ayah Agam adalah kontraktor sukses yang memiliki tiga becho. Namun saat gempa terjadi, ketiga becho tersebut tak ada di tempat. “Beliau sebenarnya punya becho tiga, cuma ketiganya lagi di luar karena ada proyek,” kata warga tersebut.

Ayah, ibu, serta kedua adik Agam dimakamkan di Kuta Gelumpang, Desa Teupin Perahu, Meureudu, pada Rabu malam sekitar pukul 21.00 wib. Mereka dibaringkan dalam satu liang.

Selain ayah, ibu, serta kedua adiknya, masih ada satu lagi yang ikut terkubur, yakni janin dalam kandungan Siti Sahrum. “Istrinya (ibu Agam) sedang hamil lima bulan,” kata Nurjana. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!