Indonesia

Dunia sunyi kekerasan seksual

Olin Monteiro

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dunia sunyi kekerasan seksual
Olin mencontohkan kasus dugaan pemerkosaan penyair Sitok Srengenge yang tak kunjung tuntas.

Dua dekade lepas, kita pernah mendengar banyak cerita soal pacar yang diperkosa dan dibunuh, bahkan sempat menjadi cerita dalam film-film Indonesia.

Tahun lalu seorang guru SD di Garut diperkosa dan dibunuh karena menolak cinta seorang laki-laki. Tetangga sebelah rumah sempat menulis kisahnya. Lelaki itu melakukan pembunuhan kepada pacarnya karena hamil dan menuntut tanggung jawab.

Dan tahun ini, seorang perempuan curhat ke penulis bahwa dia baru sadar telah menjadi korban perkosaan pacarnya. 

Fenomena perkosaan dan kekerasan seksual lainnya pada perempuan Indonesia masih tinggi. Apakah penyebabnya?

Seperti diketahui, sejak jaman dulu, perempuan Indonesia “dibentuk” oleh konstruksi sosial, untuk berlaku pasif, manis dan terhormat. Tidak ada celah bagi perempuan berperilaku melanggar tatanan masyarakat.

Bahkan pacar pun sudah ditentukan. Pacar harus mapan dengan bibit bebet bobot (ungkapan lama soal kualitas pacar yang baik) yang nantinya akan menjadi suami yang tentunya juga “baik”.

Dulu, kita mengenal perjodohan dalam keluarga, di mana dua keluarga menentukan dengan siapa si anak pacaran dan menikah. Perjodohan ini dilakukan oleh banyak budaya di Indonesia baik dari Sumatera, Jawa sampai Indonesia Timur.

Belum diketahui sejak kapan ini berubah. Tapi, pada zamannya dulu, seorang perempuan tidak bisa menolak apabila dinikahkan dengan lelaki beristri, punya perilaku kejam atau penjahat sekalipun.

Konstruksi sosial dan budaya patriarki inilah yang menyebabkan posisi perempuan sejak dulu selalu rentan pada kekerasan terhadap perempuan.

Kekerasan seksual 

Ada 15 jenis kekerasan seksual yang ditemukan Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama 15 tahun (1998–2013) yaitu:

  1. Perkosaan
  2. Intimidasi seksual termasuk ancaman/percobaan perkosaan
  3. Pelecehan seksual
  4. Eksploitasi seksual
  5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
  6. Prostitusi paksa
  7. Perbudakan seksual
  8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
  9. Pemaksaan kehamilan
  10. Pemaksaan aborsi
  11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
  12. Penyiksaan seksual
  13. Penghukuman tidak manusia dan bernuansa seksual
  14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan 
  15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama 

Pelecehan seksual yang mungkin dianggap enteng di manapun, masuk dalam kekerasan seksual. Kebanyakan perempuan mengalami pelecehan, baik di jalan raya, angkutan umum, sekolah juga ruang lingkup bekerja.

Ketika ada perempuan yang protes dianggap mencari masalah dan mencari keributan. Pelecehan seksual dianggap hal biasa. Perempuan juga dianggap sebagai barang yang bisa dipandang atau dilihat dengan pandangan mata laki-laki sebagai pemuas hasrat atau keinginan.

Banyak sekali orang yang tidak tahu, kekerasan seksual seperti perkosaan bisa terjadi dalam pacaran. Bahkan perkosaan dalam rumah tangga oleh suami terhadap istri dianggap bukan bagian dari kekerasan.

Kekerasan seksual dalam pacaran bisa dalam banyak bentuk, baik pemaksaan hubungan seksual, perkosaan, pemaksaan dengan alat, intimidasi dan ancaman. Hal-hal ini terkait dengan perubahan emosional pada pasangan perempuan karena relasi yang tidak sehat.

Lelaki dalam relasi 

Bagaimana laki-laki menjadi pelaku kekerasan seksual? Apakah karena dia lahir dari keluarga begitu? Atau memang karena struktur budaya kita yang melanggengkan pola pikir laki-laki sebagai penguasa dalam konstruksi gender.

Sejak zaman Majapahit, penguasa atau orang yang berkuasa memiliki kebebasan seksual yang mutlak. Ini terlihat dari para raja-raja dan penguasa kerajaan-kerajaan nusantara yang bisa mengambil istri, selir atau perempuan manapun yang mereka inginkan.

Mereka bisa membangun relasi dan berhubungan dengan siapapun yang dianggap “di bawah” mereka dan bahwa perempuan adalah wajib patuh pada situasi ini. Sebab, perempuan adalah obyek kecantikan, obyek pemuas dan juga “pencapaian” dalam kekuasaan.

Relasi ini pun “mengakar” pada berbagai budaya di Indonesia. Di dalam budaya lain seperti di Indonesia timur, para laki-laki di Sumba umpamanya juga bisa mengambil 2 atau 3 istri dan memilih sesuai keinginannya.

Ketika relasi kuasa ini menjadi pegangan budaya hidup, maka relasi dalam pacaran atau dalam pernikahan pun menjadi sama. Dalam hubungan pacaran, laki-laki dianggap yang harus bertanggung jawab, mengurus dan menjaga perempuan.

Relasi dalam pacaran pun kebanyakan menjadi relasi antara yang berkuasa (laki-laki) dan yang dikuasai (perempuan). Pada saat relasi itu berjalan seperti itu, maka perempuan rentan untuk menjadi yang ditindas dan diatur sesuai keinginan yang lebih berkuasa.

Banyak sekali contoh, perempuan tidak berani memotong rambutnya karena lelaki lebih senang perempuan rambut panjang. Atau sekarang perempuan harus memakai jilbab sehingga pacarnya senang.

Semua aturan yang dibangun terkadang tidak melibatkan perempuan dalam proses pilihan, bahkan akhirnya menjadi beban dan terpendam.

Kalau dulu kasus perkosaan dilihat sebagai sesuatu yang hanya terjadi hit and run di jalan raya, seorang laki-laki secara acak menargetkan seorang perempuan untuk diperkosa, maka sekarang sudah tidak seperti itu.

Seorang pacar bisa membangun relasi, menjaga dan memelihara pacarnya dengan baik di awal pacaran. Kemudian perkosaan terjadi dan perempuan sering tidak berani bicara karena takut.

Apabila kemudian terjadi kehamilan, biasanya perempuan atau keluarga perempuan akan menempuh jalur kekeluargaan untuk dinikahkan. Akan tetapi tidak sedikit yang berakhir buruk, seperti aborsi tidak aman, perseteruan keluarga sampai kejahatan pembunuhan.

Hukum dan Keberpihakan pada korban

Banyak yang tidak tahu bahwa media sosial pun sekarang menjadi salah satu celah dari berbagai macam kekerasan seksual yang terjadi.

Sudah ada beberapa kasus perkosaan terhadap perempuan muda, karena dipancing oleh laki-laki tidak bertanggung jawab.

Kejahatan atau kriminalitas yang sudah muncul sejak lama, baik di ruang publik maupun domestik tidak semuanya tercatat. Catatan yang dimiliki seperti fenomena puncak gunung es.

Catatan kecil itu dikantongi Komnas Perempuan maupun lembaga seperti Yayasan PULIH yang damping korban dan LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan).

Selain itu, kasus-kasus kekerasan seksual masih sangat sulit diselesaikan melalui sistem hukum Indonesia.

Kasus RW, perempuan muda yang diperkosa oleh tersangka kasus sastrawan SS sudah dilaporkan ke polisi pada 2013. Banyak yang kontra dan sosialisasi di media juga menyebar bahwa tidak ada perkosaan yang terjadi.

Pemerkosaan dalam kasus ini dianggap hubungan dua manusia yang berpacaran lalu bermasalah. Bahkan dunia sastra pun membela pelaku karena dia menjadi teman lama banyak komunitas seni.

Banyak yang tidak tahu SS melakukan “pemeliharaan” dan pendekatan kepada RW dan pelbagai perempuan lain di komunitas sastra atau seni di Jakarta, sehingga korbannya akhirnya percaya dan lumayan dekat dengan pelaku. Setelah mereka dekat, dia akan menjebak korban di kos dan memperkosa.  

Sampai saat ini, kasus mandek walaupun SS sebagai pelaku sudah menjadi tersangka. Berkas mondar mandir antara kepolisian dan kejaksaan. Advokasi kasus yang terjadi juga mandek, karena masih kurangnya bukti menurut pihak kepolisian.

Kesaksian dari RW, kesaksian dua korban lainnya rupanya bukan menjadi bukti yang cukup bagi sistem hukum Indonesia.

Saat ini Komnas Perempuan bersama banyak jaringan NGO perempuan melakukan advokasi untuk draft Rencana Undang-Undang Anti Kekerasan Seksual yang sudah mulai masuk ke meja DPR RI.

Diharapkan UU ini nantinya akan lebih berpihak pada perempuan korban kekerasan seksual apapun, juga mengakomodasi kasus hukum pidana terkait yang belum masuk dalam UU KUHP kita.

Pada saat ini RW sebagai korban melanjutkan hidup harus bekerja dan menafkahi anaknya. Hukum belum bisa berpihak pada RW korban perkosaan dan juga korban perkosaan lain di Solo, NTT dan banyak provinsi lain di Indonesia.

Maka RW penyintas harus bangkit dan memperjuangkan dirinya sendiri didukung gerakan perempuan. —Rappler.com

 

Olin Monteiro adalah aktivis hak perempuan, penulis, produser dokumenter dan penerbit buku-buku perempuan. Ia bisa disapa di Facebook Olin Monteiro dan Twitter @namasteolin.

 

BACA JUGA

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!