Indonesia

Bicara seks: Teman (tapi) tidur

Anindya Pithaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bicara seks: Teman (tapi) tidur
Apa bedanya teman tidur dan tidur dengan teman?


Awal tahun tiba dengan segala ilusi akan “awal yang baru”. Saat segala resolusi masih segar dan semangat masih menggebu.

Salah satu resolusi yang kerap diujarkan di awal tahun adalah “menikah”. Padahal salah satu kunci membuat resolusi adalah buatlah resolusi itu serealistis mungkin. Apanya coba yang realistis dari menikah? Ada begitu banyak ketidakpastian dan variabel yang tidak bisa dikontrol dalam resolusi “menikah”. Mulai dari kapan, waktunya, hingga siapanya. Dalam kepanikan memenuhi resolusi tersebut, orang jadi tergesa “menyambar” siapa saja yang ada. Sedikit memelintir lagu lawas D’Masiv “Syukuri siapa yang adaaa…”.

Kadang menyambar saja orang yang ditemui terakhir saat lulus SD dan tak pernah ditemui sekian puluh tahun, baru terkoneksi lewat grup Whatsapp, ketemu 1-2 kali lalu menikah dengan alasan “sudah 30 tahun” atau “tak ingin sendirian”. Ada juga yang “Ya sudahlah ya sudah kenal lama ini, kenapa tidak dicoba saja”. Dua-duanya sama-sama tidak masuk logika saya.

Sementara itu, ada juga yang masih kejar setoran dan menikmati kesendirian, ada yang masih betah FWB-an dengan diselingi emotional roller coaster, ada yang masih galau ditelpon mantan, ada yang ngajak balikan.

Ada juga yang tiba-tiba, setelah sebuah momen kebersamaan dalam temaram (njir, bahasa gue) mendadak merasa “Anak ini lucu juga sih, kok gue baru ngeh”.

Masalahnya, sekali sebuah ide itu tercetus dalam pikiran, ide itu akan terus berkembang liar, membesar, dan berguling bak bola salju. Mulai deh tuh, menganalisa kenapa bisa tertarik dan kenapa baru sekarang setelah sekian lama. Kenapa baru terasa berbeda setelah bertahun-tahun, bersesi-sesi karaoke, curhat ngalor ngidul tentang mantan, tentang kegagalan, tentang bokep, dan segala hal random lainnya. Dari yang terbiasa memanggil “Nyet!” tetiba rasanya ingin memanggil “Mas” dengan nada mengalun *tsaaah..!!*

Yang kemudian diikuti dengan ketertarikan seksual. Ngga semua ketertarikan diikuti dengan ketertarikan seksual tentu. Tapi jika ada rasa nyaman psikologis, wajar saja jika kemudian diikuti kenyamanan fisik. Atau lebih tepatnya, ingin menyamankan diri secara fisik. “Nyaman secara fisik” ini sebenarnya penghalusan dari “pengen” sih. Pengen yang spesifik (kenapa sih ini, kenapa tiba-tiba saya gagap menyebut “seks”).

Di sinilah kemudian jadi tricky. Ya gimana ngga jadi tricky, kan temen. Kok dia, kok elu, kok bisa. Ngga enak banget kan, menahan pengen. Lagipula ngga semua teman bisa menyikapi dengan dewasa kalau temannya tiba-tiba mengutarakan ketertarikannya. Apalagi jika kemudian mengungkapkan bahwa ketertarikannya semakin mengerucut (ih kenapa sih jadi sok malu-malu begini bilang seks, hahaha). Diperlukan keberanian dan kedewasaan dari kedua belah pihak untuk menyikapinya tanpa jadi awkward atau drama setelahnya.

Pun bila keduanya memutuskan untuk mengambil leap of faith. Momen menembus batas.

Nah, leap of faith-nya ini yang seru. Ada yang sudah dipikirkan masak-masak berhari-hari, ada yang bermaksud awal menghibur dengan pelukan eh lalu kejadian (wow, it rhymes), ada juga yang bertahap perlahan-lahan, ada juga yang impulsif. Atau sebodo amat, “Ah ya sudahlah, sudah sama-sama dewasa ini. Tubuh sama-sama punya kebutuhan, dan toh nyaman dan sudah kenal”.

Dan semuanya mempunyai sensasi momen pertama yang kira-kira sama. Canggung. Awkward. Deg-degan. Clueless. Nih ya, kamu bisa saja sudah “veteran” dalam dunia percintaan dan seks, fuck buddy tinggal scroll contact di hape, atau jajan dimana-mana. Tapi sama teman, selalu ada momen “tidak percaya”, mempertanyakan “kenapa” dan “kok bisa”. Tentu saja rasa nyaman yang ada bertahun-tahun membantu memperhalus proses transisi (iya iya, foreplay maksudnya). Tapi ya itu. Aneh ngga sih, sudah biasa lihat seseorang berpakaian lengkap, eh lalu lihat setiap jengkalnya. Lalu lihat ekspresi paling absurd-nya, yang bahkan kalau dibayangkan malah merasa bersalah, saking sudah jadi temen. Berpikir “Kok bisa gue tiba-tiba sampai di sini?” dan begitu banyak pikiran terlintas, lalu ketawa-ketawa ngga jelas saking deg-degannya. Dan baru ngeh dengan apa yang terjadi beberapa hari kemudian. Semacam “Jadi. Kemaren. Itu. Apa ya?”.

Bagaimanapun rupanya kertas tipis bernama “pertemanan” itu rupanya masih cukup tebal. Lhoh iya dong, kalau ngga cukup tebal ya ngga akan pake acara canggung lah. Langsung eksekusi cuy.

Setelah leap of faith itu, tentu tidak ada yang bisa menjamin kelanjutan kisahnya. Ada yang setelah itu peristiwanya tak pernah dibicarakan, tetap berteman biasa saja seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ada pula yang lalu berkembang menjadi teman hidup. Ada pula yang dilupakan seiring waktu. Dan ada yang lantas menyadari ternyata lebih cocok berteman daripada berpasangan.

Lalu ada teman yang bertanya apa bedanya teman tidur dan tidur dengan teman. Jawabnya jelas. Intensinya dan prosesnya. Dari awal, teman tidur memang diniatkan untuk ditiduri. Teman cuma embel-embel saja. Soalnya kalau bayar jadinya kan jajan. Teman tidur kerap berakhir dengan nestapa. Perasaan berkembang liar tak terkendali karena tak bisa dipisahkan dari hormon yang berantakan pasca seks tanpa komitmen.

Sedangkan kalau tidur dengan teman ya, sama sekali ngga ada niatan buat nidurin. Pada awalnya lho yaaa.. Awalnya ya tentu saja murni pertemanan. Nyambung dan nyaman tanpa debar romansa. Namun bisa jadi seksnya lebih berkesan daripada FWB. Lebih tidak barbar dan bukan cuma pelampiasan (apa dong, ngga terpikir kata lain). Karena entah bagaimana masih ada keinginan bawah sadar untuk melindungi dan membuat satu sama lain nyaman. Dan setidaknya, dibanding FWB, ada komitmen dasar yang bisa dipegang: pertemanan. Apapun polemik yang muncul masih bisa dibicarakan karena ada satu hal yang masih bisa dipertahankan.

Oiya. Ketertarikan sama teman ngga harus selalu ketertarikan seksual sih. Bisa saja ketertarikan yang romantis. Apapun itu, biar sama-sama enak sih, baiknya memang dibicarakan. Daripada menahan emosi hahaha. Toh kalau sudah berteman lama, tahu lah gimana cara ngobrol yang enak. Lagipula, biasanya dengan teman, kita biasanya justru bisa jauh lebih santai dan lebih jujur.

Dipikir-pikir daripada menikah lalu memaksakan menjalin hubungan, coba untuk “lebih jujur dengan diri sendiri dan orang lain apapun konsekuensinya”. Sepertinya terdengar lebih mudah dan lebih masuk akal kan? —Rappler.com

Anindya Pithaloka adalah seorang copywriter yang percaya pada kekuatan lipstik merah.

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!