Philippine basketball

Webseries ‘Anak Artis’: Kehidupan sempurna remaja ibu kota?

Nadia Vetta Hamid

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Webseries ‘Anak Artis’: Kehidupan sempurna remaja ibu kota?
Whether you like it or not, 'Anak Artis' akan terus eksis.

Pernah nonton webseries ‘Anak Artis’? Kamu termasuk yang ngefans atau menghujat (tapi tetap nonton)? Apapun pendapatmu mengenai webseries yang sedang naik daun ini, tampaknya mereka akan terus membuat ‘Anak Artis’ sampai season 500.

Mengapa? Karena kekepoan dan hujatan kalian tetap menambah views di Youtube hingga akhirnya sponsor berdatangan dan numpang beriklan di antara drama kehidupan anak-anak dari para public figure ini.

Ketika banyak orang bilang kalau format ‘Anak Artis’ mengikutin ‘Keeping Up With The Kardashians’ (KUWTK), menurut saya ini lebih mirip dengan ‘Rich Kids of Beverly Hills’ yang sama-sama tayang di E! Channel. Sama juga sih formatnya: establishing shots, scene mereka ngobrol, scene mereka ngobrol lagi, lalu diselingi dengan wawancara masing-masing cast di studio dan beberapa adegan “Hey guuuys,” setiap kali mereka saling sapa.

Ada hal yang paling striking di ‘Anak Artis’, episode apapun itu dari season pertama hingga kedua: they’re mostly speaking in English, or Indonglish. Hal ini juga yang tampaknya cukup sering dipermasalahkan oleh netizen yang memberikan komentar di Youtube: “Ini kan di Indonesia, ngomongnya pake bahasa Indonesia dong!”

Ehm. Saya termasuk orang yang suka mencampur-campur bahasa kalau lagi ngomong jadi saya agak ‘jleb!’ begitu baca komentar seperti itu. Nggak cuma saya tapi sahabat-sahabat saya, rekan kerja saya, dan juga ibu saya kalau lagi ngomel. Penggunaan Indonglish memang sudah umum terutama di kota-kota besar di Indonesia, dan para cast ‘Anak Artis’ adalah contoh kecilnya. Meskipun sepertinya sebagian besar dari mereka mengenyam pendidikan di sekolah national plus.

Setiap kali saya menonton webseries yang disutradarai oleh Sean Monteiro ini, saya jadi bercermin ke diri sendiri ketika berusia 17 tahun. Saat itu saya masih duduk di kelas XI SMA, kerjaan saya cuma bolak-balik kantin-perpustakaan-kelas-dan restoran mie ayam depan sekolah. Seragam saya selalu kedodoran dan saya nggak tinggi-tinggi amat, nggak kayak Dek Valerie yang semampai dan seragamnya ngepas di badan (saya bukan hater, kok! Saya malah sirik sama badannya Valerie).

Terkadang saya jalan-jalan ke Pondok Indah Mall karena letaknya cukup strategis dari rumah saya dan teman-teman. Itupun janjiannya harus dari seminggu sebelumnya. Karena saya pemalu, saya cuma bisa mandangin gebetan dari jauh saja (meskipun sekelas) dan berakhir ditolak ketika saya ngaku ke yang bersangkutan.

Sedangkan, para cast ‘Anak Artis’ ini terlihat percaya diri, good looking, dan cukup populer di media sosial. Kayaknya kehidupan percintaan mereka juga cukup produktif. Ada beberapa episode di mana sesama anak artis ini saling naksir atau PDKT (pendekatan). Sedangkan saya pertama kali pacaran usia 18 tahun, waktu itupun saya sudah kuliah.

Bagi saya pribadi, webseries ‘Anak Artis’ adalah potret kehidupan remaja ibu kota yang privileged. Rumah mewah, pendidikan yang bagus, gaya yang modis dengan kaus rancangan desainer yang mungkin harganya sama dengan uang makan siang saya di kantin sebelah kantor selama sebulan; semua ini nggak mungkin ada kalau tanpa peran orang tua (artis) yang dapat menyediakan itu semua.

Setahu saya, beberapa cast juga pernah membintangi film atau sinetron. Produser di sini nampaknya menganggap nama besar orang tua mereka dapat mengangkat film mereka.

Either way, hal ini juga lumrah terjadi di luar dunia entertain (seperti yang biasa diucapkan oleh presenter acara infotainment di televisi). Teman-teman saya juga banyak yang mendapat pekerjaan melalui koneksi orang tuanya. Masalahnya, mereka kerjanya bagus atau nggak? 

Sama halnya dengan para ‘Anak Artis’ ini: kalau jalan sudah dibukakan selebar-lebarnya, kini tergantung mereka apakah mereka akan terus berusaha menjadi aktor, penyanyi, rapper, businesswoman atau bintang reality show yang baik atau biasa-biasa saja? Pilihan ada di tangan dedek-dedek itu.

Mungkin di luar sana ada dedek-dedek yang menginginkan kehidupan seperti ini, makanya mereka nonton ‘Anak Artis’. Apalah hiburan tanpa menjual impian, benar begitu? Tapi kenyataannya Dek, kalau mau jadi mereka, kamu juga harus menghadapi haters yang jumlahnya nggak sedikit. Semua dikritik, dari gaya bicara sampai harta keluarga kamu. Padahal, kamu nggak minta ke Tuhan untuk dilahirkan jadi anak artis!

Saya pribadi sih senang menjadi diri saya sendiri, meskipun kadang harus nabung untuk beli lipstick impian yang katanya tahan 12 jam. Mengapa? Karena saya nggak harus menghadapi haters yang mengkritik gaya bicara saya. – Rappler.com

Nadia Vetta Hamid adalah social media producer untuk Rappler Indonesia. Penggemar berat cappuccino dan terkadang suka begadang untuk nonton FC Bayern München ditemani kucingnya. Nadia bisa disapa di @nadiavetta.

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!