Singapore

Mengapa saya sangat benci para perokok

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa saya sangat benci para perokok

AFP

Mungkin kamu (para perokok) tidak sadar, kebiasaan merokok bisa berbahaya bagi orang-orang yang kamu sayang

JAKARTA, Indonesia — Pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang jatuh setiap 31 Mei ini, saya jadi teringat kembali dengan hal-hal yang membuat saya benar-benar enggak suka sama para perokok. Iya, orang-orang yang suka menghisap tembakau sepanjang 10 cm sumber penyakit itu.

Saya bersyukur banget, di rumah saya tidak ada yang merokok. Ada sih, si Pak Sopir yang selalu duduk-duduk di luar saja. Tapi anggota keluarga terdekat saya satu-satunya yang masih merokok saat ini adalah nenek saya (OK, she’s almost 80 and healthy, but that doesn’t make me tolerate any smokers—including her—from my hatred towards smokers).

Di tulisan ini saya memutuskan untuk enggak akan membahas bahaya merokok dari segi kesehatan para perokok. Mereka sudah cukup pintar untuk membaca sendiri dari berbagai literatur apa saja bahaya merokok. Ditambah lagi, saya masih punya nenek yang sehat di usia 80-an dan ia merokok sejak usia 50-an. Pasti tulisan ini akan terlalu mudah untuk dipatahkan.

Saya akan membahas kebencian saya terhadap para perokok dari sisi saya sebagai perokok pasif. Dan bisa saya pastikan, kami sebagai perokok pasif merasa para perokok aktif adalah orang-orang yang egois. Mau bukti? Saya sebutkan beberapa, ya.

Pertama, sekitar tiga minggu lalu ada kabar yang membuat saya semakin yakin dengan pendapat saya bahwa para perokok itu kadang-kadang memang empati-nya nol.

Seorang adik kelas saya semasa SMA meninggal dunia akibat penyakit bronchopneumonia yang ia derita.

Hampir satu tahun lalu, tepatnya pada 31 Juli 2015, ia sempat menuliskan sebuah pesan dalam akun LINE-nya, yang ia tujukan untuk para perokok aktif di luar sana, sambil menjelaskan keadaan kesehatannya. Kurang lebih begini yang ia sampaikan:

“Kemarin saya didiagnosa sakit bronchopneumonia. Ada flek di paru-paru saya, salah satu penyebabnya adalah rokok yang saya hirup sebagai perokok pasif. Saya sedih sekali. Melalui tulisan ini saya minta tolong agar Anda semua yang merokok di sembarang tempat agar sadar bahwa udara adalah milik kita semua, bahwa bisa saja ada perokok pasif yang sakit gara-gara Anda.”

Saya tidak terlalu kenal personal dengan adik kelas saya ini, hanya sempat bertegur sapa dan mengobrol beberapa kali. Tapi rasanya sedih sekali, ia baru berusia 21 tahun, dan harus meninggal dunia karena kotoran yang ada di paru-parunya.

Apa salah dia? Oh, dia enggak salah apa-apa. Dia cuma salah karena terpaksa hidup di lingkungan orang-orang egois bernama perokok.

Mungkin dia salah, karena dia bisa pergi dari lingkungan itu, atau marah pada orang-orang egois di sekitarnya agar tidak terlalu banyak asap rokok yang masuk ke paru-parunya.

Tapi yang lebih jahat adalah ketika asap rokok itu dihirup oleh anak-anak kecil yang kebetulan berada di tempat yang sama.

Seorang teman lain beberapa waktu lalu pernah bercerita, kebetulan ia bisa dikategorikan sebagai orang yang benci juga sama rokok, seperti saya.

“Kemarin aku habis marahin bapak-bapak yang ngerokok. Lagian enggak mikir banget, di sampingnya ada anak kecil, dia malah ngerokok dan asapnya kemana-mana.”

Oh ya, betul banget. Para perokok itu entah memang enggak punya otak, malas berpikir, atau simply enggak peduli aja.

TIDAK PEDULI. Seorang perokok merokok di bawah papan reklame berisi kampanye anti-rokok. Foto oleh Adek Berry/AFP

Ada juga cerita lain yang sempat viral di media sosial. Saya lupa sumbernya dari mana, tapi kisah ini tentang ayah yang menyesal karena merokok dan membuat anaknya yang masih bayi meninggal dunia.

Sang Ayah tidak pernah sekalipun merokok di dalam rumah, tidak pernah sekalipun merokok di depan anaknya. Ia selalu mencuci tangan ketika pulang dari kantor, sebelum kemudian menggendong anaknya sambil melepas rindu.

Ternyata, sisa-sisa asap racun yang dikonsumsi sang ayah tak hanya menempel di tangan yang sudah dicuci. Asap juga menempel di pakaian Sang Ayah, yang belum sempat diganti ketika menggendong anaknya.

Akhirnya Sang Ayah pun menyesal telah menjadi perokok yang mementingkan kenikmatan pribadi lebih dari kesehatan sang anak.

OK, kalau contoh-contoh ekstrim di atas belum bisa membuat kamu (para perokok aktif) berpikir ulang, saya kasih kalian contoh simpel. Sekitar pekan lalu, Social Media Producer Rappler Indonesia Nadia Hamid bercerita bahwa mantannya adalah seorang perokok.

Setiap habis pergi bersama, dia enggak suka banget karena harus mencuci rambutnya, hasil nongkrong bareng si  cowok yang selalu memilih smoking area agar bisa bebas merokok. How selfish is that?! (Untung udah putus ya, Nad! Hehe :p)

Para perokok biasanya beralasan kalau rokok adalah alat bersosialisasi. “Minta korek” atau “ngerokok bareng” adalah salah satu ice breaker paling mudah. Bahkan, sebelum memutuskan jadi jurnalis saya sempat agak takut tidak bisa berbaur dengan wartawan-wartawan lain karena saya enggak merokok.

Tapi ternyata enggak begitu kok. Beberapa jurnalis di Rappler yang sudah lama berkecimpung sebagai jurnalis, bisa menulis dengan baik dan mempunyai banyak kontak tanpa harus menjadi perokok.

Menurut saya, semua itu cuma alasan saja. Intinya, kamu (perokok aktif) senang merokok dan tidak mau tidak merokok. Otak dan hatimu mungkin sudah terkotori sama racun-racun dari rokok yang membuat kamu sulit menerima, bahwa kebiasaan merokok itu berbahaya bagi orang-orang yang kamu sayang.

Sorry not sorry for this hateful writing. —Rappler.com

Sakinah Ummu Haniy adalah multimedia reporter untuk Rappler Indonesia. Selain hobi menulis, Haniy juga suka membaca buku, jalan-jalan, ngobrol, dan menikmati makanan enak. Simak kegiatannya lewat Twitter @hhaanniiyy.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!