
JAKARTA, Indonesia — Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Fadli Zon menjadi sorotan netizen Indonesia lantaran suratnya ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) New York bocor ke publik.
Dalam surat tersebut, ia meminta “penjemputan dan pendampingan” untuk putrinya, Shafa Sabila Fadli, yang akan mengikuti pelatihan teater Stagedoor Manor 2016 di Amerika Serikat.
Foto surat yang beredar sejak Senin, 27 Juni, ini dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang oleh Fadli. Meski ia sendiri membantah meminta tolong, politisi Partai Gerindra ini akhirnya mengirimkan ganti “uang bensin” sebesar US$ 100, atau setara Rp 2 juta, kepada Kementerian Luar Negeri.
Balasan Fadli ini sendiri justru membangkitkan kecaman lain, karena ia dianggap tidak paham akar masalah. Netizen menilai bukan uang, tetapi perlakuannya terhadap KJRI yang menjadi masalah.
“Penjemputan dan pendampingan” dari kedutaan besar atau konsulat jenderal terhadap anggota DPR ataupun pejabat lain bukan pertama kali ini terjadi. Sebelumnya, anggota parlemen lainnya, Rachel Maryam, juga mengajukan permintaan serupa ke Kedutaan Besar RI (KBRI) Paris saat ia berkunjung ke Perancis.
Tugas KBRI dan KJRI
KBRI dan KJRI memang memiliki tugas untuk mendampingi dan melayani kebutuhan WNI di luar negeri. Namun, apakah termasuk mengantar dan menjemput?
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, mengatakan lembaganya sudah memiliki protap sendiri terkait hal ini. Untuk pejabat aktif, non-aktif, keluarga pejabat, hingga warga biasa, masing-masing memiliki protokolnya sendiri.
“Tetapi, yang diutamakan tentu yang memiliki kegiatan dinas, karena suratnya akan masuk ke unit terkait,” kata Arrmanatha pada Rabu, 29 Juni.
Namun, apakah protokol ini bisa diketahui oleh publik? “Tidak bisa,” katanya tanpa menjelaskan alasan.
Pria yang akrab disapa Tata itu juga enggan mengomentari lebih jauh masalah permintaan fasilitas oleh pejabat negara.
Bukan masalah
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Riant Nugroho, menilai ada kekeliruan etika anggota dewan, yakni mencampuradukkan urusan pribadi dan negara.
Warga negara yang bepergian ke luar negeri memang berhak meminta bantuan KJRI, asal dalam batasan wajar. “Semua aset Indonesia di luar negeri itu milik rakyat Indonesia. Jadi, orang Indonesia itu kalau ke luar negeri boleh meminta itu, asalkan bukan meminta duit,” kata Riant.
Ia pun menceritakan pengalamannya ketika harus mengikuti rapat di Den Haag, Belanda. Lantaran tidak mengetahui denah dan lokasi rapat tersebut, ia akhirnya meminta bantuan ke KBRI Den Haag, Belanda.
“Jadi saya e-mail ke kedutaan Indonesia di Den Haag, minta dibantu kalau ada orang di kedutaan tolong jemput saya di Bandara Amsterdam. Karena waktu itu enggak ada mobil, saya dijemput sama orang,” kata dia.
Karena itu, ia tidak sepakat jika ada seseorang yang justru dipojokkan jika ada meminta bantuan dari perwakilan kedutaan. Riant berharap, semua pihak dapat melihat persoalan tersebut secara bijak.
Namun, pengamat kebijakan lain, Agus Pambagio, memiliki pandangan berbeda. “Bukan tidak wajar lagi, tapi di luar nalar. Dewan kok minta jemput,” kata dia saat dihubungi Rappler.
Bahkan, bila Fadli Zon meminta tolong tidak dengan surat bertanda resmi DPR pun, itu tetap tidak menjadi haknya. “Kan sudah tahu fasilitas bukan buat anak cucu pejabat,” kata dia. – Rappler.com
BACA JUGA:
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.