Miss Universe

Berpacu dengan waktu: Kisah ‘ianfu’ mengenang masa kelam penjajahan Jepang

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Berpacu dengan waktu: Kisah ‘ianfu’ mengenang masa kelam penjajahan Jepang
Satu per satu penyintas kasus perbudakan seks semasa tiga tahun pendudukan Jepang tutup usia. Mereka adalah korban kejahatan perang yang tak pernah diakui secara terbuka

 

SOLO, Indonesia — Ngadirah melelehkan air matanya saat bercerita tentang tragedi yang merenggut masa kanak-kanaknya. Nenek 85 tahun asal Wonosari, Gunungkidul, itu diculik tentara Jepang saat usianya masih 12 tahun. Ia ditawan di markas sebagai ianfu— perempuan yang dijadikan budak seks oleh tentara Jepang.

Suaranya tercekat seolah Ngadirah masih trauma saat mengingat kembali bagaimana tentara-tentara Negeri Nippon secara beringas dan tanpa ampun memerkosanya secara bergiliran. Ia dijadikan ‘ransum syahwat’ tentara yang bersenjata bayonet.

Sebagai bocah perempuan, Ngadirah tak kuasa melawan. Ia hanya bisa berteriak, menangis, dan meronta.  Tetapi tentara-tentara itu tak punya sedikit pun rasa iba.

Ia mengalami kerusakan organ reproduksi akibat pemerkosaan massal oleh tentara Jepang yang hingga sekarang menyebabkan dirinya tak pernah bisa mengandung dan melahirkan anak. Di usia senjanya, Ngadirah hidup sendiri sejak bercerai dengan suaminya.

“Saya sudah dirusak. Setiap hari dipaksa ‘begitu’ berkali-kali, dan tidak hanya oleh satu tentara, berganti-ganti orang, sampai saya kesakitan,” ujar Ngadirah saat menghadiri peringatan Hari Ianfu di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, pada Senin malam, 14 Agustus.

“Saya sudah dirusak. Setiap hari dipaksa ‘begitu’ berkali-kali, dan tidak hanya oleh satu tentara, berganti-ganti orang, sampai saya kesakitan.”

Tentara Jepang mencari ianfu tidak hanya dengan cara menculik, tetapi juga dengan iming-iming pekerjaan. Seperti yang menimpa Mardiyem atau yang lebih populer dengan nama Momoye, gadis dari Yogyakarta yang dijanjikan pekerjaan sebagai pemain drama tetapi ditipu dan dibawa ke Telawang, Kalimantan Selatan. Ia menjadi penghuni ianjo—rumah sekap dengan kamar-kamar mirip rumah bordil untuk para budak seks di mana tentara Jepang memakai karcis untuk mengantre kamar.

Ngadirah dan Mardiyem pernah berjuang bersama menyuarakan tuntutan agar pemerintah Jepang meminta maaf secara langsung kepada para ianfu yang masih hidup. Namun, hingga Mardiyem meninggal, tuntutan mereka tak pernah membuahkan hasil.

Kisah serupa juga dialami seorang nenek bernama Sri Sukanti yang pernah menjadi korban pelampiasan nafsu biologis serdadu Nippon di tahun 1945. Ia diambil paksa dari keluarganya di Grobogan saat usianya sembilan tahun dan dibawa ke Gedung Papak—bekas gedung Belanda di Purwodadi yang dijadikan markas tentara Jepang. Keluarganya diancam akan dibunuh jika menolak menyerahkan anak perempuannya.

Sukanti disekap di dalam sebuah kamar dan menjadi budak seks seorang komandan bernama Ogawa. Setiap hari ia dimandikan sendiri oleh sang komandan lalu diperkosa berulang-ulang hingga merasa kesakitan dan mengalami pendarahan pada organ genitalnya. 

“Tak ada ampun dan belas kasihan sama sekali. Rasanya saat itu saya ingin mati saja,” kata Sukanti mengenang.

Saat Jepang menyerah pada Tentara Sekutu, Ogawa mencampakkannya begitu saja tanpa kompensasi atas kebrutalan yang ia lakukan. Seperti Ngadirah, Sukanti mengalami kerusakan organ reproduksi parah yang menyebabkan ia tak bisa punya anak.

Hingga kini, ia masih menjalani pengobatan karena nyeri perut bagian bawah dan pusing kepala masih sesekali kambuh. Sukanti sekarang tinggal bersama suaminya di Salatiga.

Tuminah, suara ianfu pertama

IANFU. Sebagaimana diceritakan lewat karya visual dalam pameran Kitab Visual Ianfu. Foto oleh Jennifer Sidharta

Peringatan Hari Ianfu keempat yang digelar di Solo ini didedikasikan oleh para aktivis perempuan dan kemanusiaan kepada mendiang Tuminah, seorang ianfu Indonesia yang pertama kali berbicara di depan publik tentang perbudakan seks semasa pendudukan Jepang.

Tuminah yang tinggal di Kampung Baru, Solo, juga diambil paksa dan dijadikan budak seks di markas tentara Jepang. Heni Saptaningsih, keponakan Tuminah, menceritakan bibinya yang sering mengisahkan tragedi yang menimpa masa gadisnya sebagai seorang ianfu.

“Budhe bercerita banyak kawan-kawannya yang juga dijadikan budak seks, tetapi mereka  semua malu menceritakannya karena dianggap aib. Hanya budhe yang berani mengungkap,” kata Heni.

“Kami sedang berpacu dengan waktu, karena beliau-beliau ini sudah sepuh. Kesehatannya raga dan jiwanya terganggu oleh trauma masa lalu.”

Di masa tuanya, pada 1992, Tuminah bersaksi bahwa kejahatan tentara Jepang benar-benar terjadi di Jawa dan menimpa para perempuan usia anak-anak dan gadis remaja. Testimoni itu menguatkan kesaksian Kim Hak-soon kepada publik pada 14 Agustus 1991, yang kemudian diperingati sebagai Hari Ianfu Internasional oleh forum Asian Solidarity ke-11 di Taipei pada 2013.

Hak-soon adalah seorang ianfu dari Korea Selatan dan pertama kalinya di dunia yang berani mengungkap perbudakan seks oleh tentara Jepang pada masa Perang Dunia II. Ia juga mengajukan gugatan tuntutan hukum kepada pemerintah Jepang atas kejahatan perang itu.

Kesaksian Tuminah akhirnya menginspirasi ianfu lainnya di Jawa untuk memecah kebisuan sejarah, seperti Mardiyem yang berbicara setahun kemudian kepada LBH Yogyakarta. Satu per satu ianfu muncul dengan kisahnya masing-masing dan mulai berani mempertanyakan tanggung jawab pemerintah Jepang atas tragedi itu.

Tidak ada jumlah pasti berapa ianfu di dunia. Ada yang menyebut 30.000, tetapi versi lain mengklaim hingga 200.000 perempuan di Jepang, Korea, Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Indonesia menjadi korban perbudakan seks oleh tentara Jepang semasa Perang Dunia II. Terlepas dari itu, jumlah penyintas di Indonesia semakin sedikit dan semuanya kini berusia di atas 80 tahun.

Para aktivis kemanusiaan berusaha mendokumentasikan para ianfu, seperti lewat film dokumenter, buku, dan lukisan wajah, selagi mereka masih hidup. Seperti yang dilakukan Dewi Candraningrum, seorang seniman dan pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, yang membuat syal lukisan wajah para ianfu yang hasilnya ia donasikan untuk mereka.

“Kami sedang berpacu dengan waktu, karena beliau-beliau ini sudah sepuh. Kesehatannya raga dan jiwanya terganggu oleh trauma masa lalu,” kata Dewi.

Permintaan maaf

CITA-CITA. (Lukisan deretan atas) dirampas tentara Jepang, yang menjadikan mereka Ianfu. Impian itu kontras dengan kenyataan yang mereka alami (lukisan deretan bawah).  Foto oleh Jennifer Sidharta/Rappler

Kasus ianfu yang tak pernah diakui secara terbuka oleh pemerintah Jepang telah menjadi ganjalan diplomasi negara itu dengan negara-negara Asia Timur dan Tenggara selama 70 tahun. Salah satu yang mencolok adalah hubungan Jepang-Korea yang sempat naik-turun karena ianfu.

Rakyat Korea sangat militan menolak tawaran kesepakatan di mana Jepang bersedia memberikan uang ganti rugi dalam jumlah besar pada 2015 lalu sebagai bentuk permintaan maaf. Bagi mereka, uang tak bisa menghapus luka akibat kejahatan perang.

Sebagai bentuk penolakan, masyarakat Korea membuat patung perunggu seorang gadis dengan pakaian tradisional sebagai simbol ianfu, yang diletakkan persis di depan Kedutaan Jepang di Seoul dan Konsulat Jepang di Busan. Pemerintah Jepang di bawah Shinzo Abe sempat menarik duta besarnya di Korea sebagai buntut protes masyarakat Korea yang menolak menggeser patung ianfu. 

Berbeda dengan Korea Selatan yang menjadikan ianfu sebagai isu utama hubungan bilateral, Indonesia masih terkesan adem ayem. Pemerintah belum terlihat serius untuk mengungkap kembali luka lama dan menyelesaikannya dengan Jepang. Sementara, masih banyak masyarakat Indonesia yang masih buta sejarah perbudakan seks yang melecehkan martabat kaum perempuan bangsanya.

“Faktor utama yang mempersulit Indonesia untuk meminta pertanggungjawaban politik atas kasus perbudakan seks adalah daya tawar Jepang yang terlalu kuat, sebagai negara donor dan investor,” kata Eka Hindra, peneliti independen dan pembela hak-hak ianfu.

Meski tahu bahwa pemerintah Indonesia melempem dalam menyuarakan hak-hak korban perbudakan seks, para penyintas tetap menuntut tiga hal, yakni permintaan maaf pemerintah Jepang secara langsung kepada korban perbudakan seks yang masih hidup, pemberian kompensasi, dan yang tak kalah penting adalah pengakuan tragedi itu sebagai bagian dari sejarah ekspansi Jepang—dan bukan penyangkalan seperti selama ini yang berusaha mengaburkan ianfu dengan wanita pekerja seks.

Hingga sekarang, generasi muda di Jepang tidak pernah tahu bahwa tentara Negeri Matahari—atau mungkin kakek-kakek mereka—di masa lalu pernah melakukan kejahatan perang. Potret gelap itu sengaja disangkal dan disembunyikan, dan tak masuk dalam pendidikan sejarah bangsa Jepang.

“Saya sudah kehilangan segalanya sejak remaja. Harus ada permintaan maaf dan pengakuan,” ujar Ngadirah menuntut. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!