fashion shows

Prof Bustanul: Jumlah penggilingan beras besar hanya 1%

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Prof Bustanul: Jumlah penggilingan beras besar hanya 1%
Pemerintah perlu dukung investasi swasta dengan buat aturan klasifikasi harga dan jenis beras

JAKARTA – Pemerintah harus memperhitungkan perkembangan yang terjadi berkaitan dengan pola konsumsi beras masyarakat.  “Angka konsumsi beras secara rata-rata nasional menurun,” kata Profesor Bustanul Arifin, gurubesar ekonomi Pertanian IPB.   

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Bustanul menyampaikan pada tahun 2006 tingkat konsumsi beras  tercatat 139 kilogram per kapita per tahun.  

Pada tahun 2017, tingkat konsumsi beras langsung oleh rumah tangga menurun jauh ke angka 90 kilogram per kapita, atau setara dengan 124 kilogram per kapita per tahun. 

“Dengan catatan  mempertimbangkan konsumsi beras oleh industri pangan, hotel, restoran dan lainnya,” kata Bustanul kepada Rappler di Jakarta, 2 Agustus 2017.

Bustanul juga memaparkan fakta bahwa  swasta telah melakukan investasi besar di industri penggilingan beras. “Mereka mampu memproduksi 10-15 ton per jam dengan mesin giling modern,” ujar Bustanul. Beras yang dihasilkan utuh 100% patah. Ini yang disebut beras premium.

(BACA: Membahas 15 Poin Keterangan di Facebook Mentan soal Beras)

Kendati swasta gencar investasi, jumlah industri penggilingan beras skala besar ini hanya 2.000 unit (1%), industri penggilingan menengah 8.600 unit (5%). Industri penggilingan kecil masih mayoritas, yaitu sebanyak 171.500 unit (94%).  

“Tantangannya adalah apakah industri skala besar mampu mendapatkan pasokan gabah secara terator dari petani?,” kata Bustanul, yang ditemui dalam acara halal bi halal alumni IPB.

Data penggilingan bersumber dari satu-satunya sensus yang pernah dilakukan pada tahun 2012, dan disebut Pendataan Industri Penggilingan Padi (PIPA). Data konsumsi dari BPS yang sumbernya dari susenas dan dikombinasikan dengan Survei Badan Ketahanan Pangan tahun 2013. 

“Bayangkan, data saja hasil kompromi beberapa pihak terkait, lewat debat.  Ujungnya yang dipakai adalah angka kesepakatan,” kata Bustanul.  Dia menyayangkan lemahnya soliditas dan metodologi pengumpulan data pangan di Indonesia, yang kerapkali jadi debat soal apakah akan impor atau tidak.

Menurutnya, pemerintah harus memfasilitasi minat swasta ke industri pangan termasuk beras. “Caranya dengan misalnya, membuat klasifikasi harga berdasarkan spesifikasi produk beras yang dihasilkan,” ujar Bustanul.  

Hal ini penting untuk membantu industri beras nasional bersaing dengan industri beras di kawasan ASEAN, seperti Thailand dan Vietnam.  Minimal, harus ada acuan beras ragam kualitas, meliputi dua atau tiga kualitas: premium, medium 1 dan medium 2.

(BACA: Setelah heboh, Mendag batalkan aturan HET beras)

Pemerintah menurut Bustanul, juga perlu merevisi dasar kebijakan beras, sebagaimana diatur dalam Inpres 5 Tahun 2015 yang sebenarnya juga mengatur stabilisasi komoditas pangan yang lain, untuk mampu menjadi acuan pengembangan industri dan tata niaga beras yang lebih maju dan adil bagi semua pemangku kepentingan. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!