SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
UBUD, Indonesia —Menjadi komika bukanlah hal yang mudah, terlebih lagi bagi Sakdiyah Ma’ruf yang merupakan wanita Muslim. Keterbatasan ruang dan minimnya jumlah acara menjadi segelintir tantangan yang ia hadapi. Namun, hingga kini Sakdiyah masih berjuang untuk mengutarakan pesan-pesannya melalui komedi.
Saat diwawancarai dengan Rappler usai menjadi salah satu panelis dalam sesi Funny Bones pada Minggu, 29 Oktober 2017 di gelaran Ubud Writers and Readers Festival, Sakdiyah mengungkapkan bahwa tema materinya berasal dari kegelisahan banyak orang di Indonesia seperti kekhawatiran akan meningkatnya konservatisme dan radikalisme.
“Pada ujungnya dan utamanya, kekhawatiran itu akan berdampak pada perempuan seperti semakin terbatasnya ruang gerak perempuan dan direstuinya kekerasan terhadap perempuan,” ujar Sakdiyah usai berdiskusi mengenai humor dan budaya di Funny Bones UWRF 2017.
Memiliki kepedulian begitu dalam akan isu-isu wanita, Sakdiyah mengatakan, wanita adalah sumber inspirasi dan juga hal yang mendorong ia untuk terus berupaya.
Tanggung jawab, bukan beban
Menjadi wanita yang beragama Muslim dan kerap tampil di panggung untuk menyampaikan lawakan, Sakdiyah sering dianggap terbeban karena representasi yang harus ditanggung di pundaknya. Ia merepresentasikan wanita, dan juga agamanya.
Namun bagi Sakdiyah, ia hanya harus bertanggung jawab terhadap apapun yang ia katakan di panggung. “Bukan hanya karena saya berhijab, tapi pada dasarnya karena saya manusia yang tidak boleh sembarangan berbicara dan harus bisa bertanggung jawab atas perkataan serta perbuatan saya,” katanya.
Sakdiyah menghindari lelucon-lelucon tidak senonoh dan tidak pernah menggunakan makian dalam performanya. Baginya, banyak teman-teman komika yang diberi kesempatan untuk menggunakan ruang berbicara namun malah menyampaikan lelucon tidak senonoh demi tepuk tangan dan tawa penonton. Sakdiyah berjanji pada dirinya untuk terus menghasilkan materi yang memiliki makna dan tidak hanya ditujukan untuk mengundang tawa.
Komedi sebagai media ekspresi
Sejak kecil, Sakdiyah terbiasa dengan komedi akibat suasana keluarga yang sering bercanda. Ia selalu menyempatkan diri untuk menonton serial Barat seperti Full House, komedi tradisional seperti Srimulat, bahkan menonton film Warkop DKI di bioskop setiap Lebaran tiba.
Sakdiyah tumbuh besar sebagai pribadi yang selalu mencari cara untuk mengekspresikan diri, seiring perjalanan hidupnya, ia menyadari bahwa ia selalu memiliki aspirasi, kegelisahan, dan mencari cara untuk menyampaikannya.
Pada 2009, pemikiran Sakdiyah berubah usai menonton tayangan stand-up comedy Robin Williams lewat layar kaca. “Orang selalu mencari media ekspresi yang paling cocok bagi dia dan agresivitas yang tersamar dalam komedi membuat saya merasa harus mencobanya,” jelasnya.
Ketika kemudian Sakdiyah memutuskan untuk mencoba, ia berspekulasi bahwa inilah jalan hidupnya. Ada dorongan yang besar dari keindahan dan kemampuan bentuk seni ini menyuarakan kegelisahan serta aspirasinya, sesuatu yang sudah lama ia cari.
BACA JUGA:
- Impian Rachel Ang dari dunia komik
- Menyebarkan empati melalui karya-karya Nusrat Durrani
- Menyampaikan kejujuran dalam tulisan nonfiksi
- Menemukan kembali seni surat-menyurat dalam ‘Women of Letters’
- LIVE UPDATES: Dari gelaran ‘Ubud Writers and Readers Festival 2017’
- Mengolah sudut pandang dan berbicara sastra Indonesia bersama Intan Paramaditha
- Penulis muda Taufiqurrahman berfilsafat dengan imajinasi sastrawi
- Pengalaman Rebecca Henschke menjadi koresponden asing di Indonesia
- Membudayakan tulisan sastra anak di Indonesia
—Rappler.com
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.